Pertama di Asia Selatan, Nepal Legalkan Pernikahan LGBTQ
5 Desember 2023Surendra Pandey dan Maya Gurung pada akhir November menjadi pasangan sesama jenis pertama di Nepal yang pernikahannya diakui secara resmi, setelah melalui proses hukum selama bertahun-tahun.
Pernikahan sesama jenis yang diakui secara hukum ini merupakan yang pertama kali di negara Asia Selatan, menjadikannya tonggak sejarah bagi hak-hak LGBTQ di Asia.
"Kami telah mendapatkan pengakuan hukum, sebuah kemenangan monumental tidak hanya bagi kami tetapi juga bagi seluruh komunitas LGBTQ," kata Pandey kepada DW, seraya menambahkan bahwa dirinya berterima kasih atas dukungan dari para pejabat dan masyarakat setempat.
"Kami mendapatkan keadilan. Kini kami sepenuhnya bersama," kata Gurung kepada DW.
Proses hukum di Nepal sangat panjang
Namun, perjalanan pasangan itu jauh dari kata mudah, dan lebih banyak mendapatkan penilaian sosial yang buruk serta beratnya tekanan keluarga, di atas rintangan hukum dan prosedur yang berlarut-larut.
Pada tahun 2007, Mahkamah Agung Nepal telah meminta pemerintah untuk mengubah ketentuan hukum yang ada untuk memberikan izin pernikahan sesama jenis di negara itu.
Namun, pemerintah berikutnya telah gagal mengesahkan undang-undang, yang akan memberikan mandat begi pengadilan yang lebih rendah untuk mengakui pernikahan sesama jenis secara hukum.
Pada tahun 2017, Pandey dan Gurung menikah dalam upacara pernikahan agama Hindu. Pada bulan Juni 2023, mereka mengajukan petisi ke Pengadilan Distrik Kathmandu untuk meminta pengakuan hukum atas pernikahan mereka, setelah Mahkamah Agung menginstruksikan pemerintah kota untuk menyediakan "pencatatan sementara" bagi pernikahan sesama jenis sampai undang-undangnya dapat diubah.
Pasangan ini berharap proses pendaftaran akan berjalan dengan lancar. Namun, baik Pengadilan Distrik Kathmandu maupun pengadilan tinggi lainnya menolak untuk mendaftarkan pernikahan mereka, dengan alasan bahwa hukum federal hanya mengizinkan pendaftaran pasangan heteroseksual. Penolakan ini dilontarkan pengadilan distrik dan pengadilan tinggi, walaupun ada keputusan dari Mahkamah Agung.
Pandey, berusia 27 tahun, mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki cisgender, sementara Gurung, berusia 38 tahun, merupakan seorang perempuan transgender, yang secara hukum di Nepal masih berstatus sebagai laki-laki.
Pengadilan yang lebih rendah mendasarkan putusan mereka pada hukum perdata Nepal, yang mendefinisikan pernikahan sah hanya antara laki-laki dan perempuan. Putusan Mahkamah Agung telah mencoba untuk menyiasatinya dengan membuat catatan sipil sementara, sampai hukumnya diubah. Tetapi pengadilan mengklaim hukum nasional harus diubah, sebelum mereka mengakui pernikahan Pandey dan Gurung.
Hingga pada minggu terakhir bulan November lalu, Kementerian Dalam Negeri Nepal mengatakan, semua kantor administrasi lokal diperbolehkan untuk mencatatkan pernikahan sesama jenis.
Pandey dan Gurung akhirnya menerima surat akta nikah mereka dari pemerintah desa Dordi di distrik Lamjung, Nepal barat, tempat Gurung berasal, pada tanggal 29 November lalu.
"Pencatatan ini telah membuka banyak hal bagi kami, termasuk bisa membuka rekening bank bersama, memiliki properti dan mengadopsi anak di masa depan," kata Pandey.
Komunitas LGBTQ Nepal merayakan pencapaian bersejarah itu
Komunitas lokal di distrik Lamjung, termasuk kelompok perempuan, merayakan pengesahan pernikahan pasangan ini dengan berbagai acara adat, termasuk tarian dan musik.
Pengakuan pernikahan pasangan sesama jenis ini juga dirayakan oleh komunitas LGBTQ di kota kuno Kirtipur di pinggiran Kathmandu pada hari Minggu (04/12).
"Sebagai yang pertama mendaftarkan pernikahan sejenis, kami akan terus memperjuangkan tujuan dan hak-hak orang lain di dalam komunitas ini," kata Pandey.
Empat bulan yang lalu, pasangan ini mendirikan "Mayako Pahichan" (Identitas Cinta), yakni sebuah organisasi yang bertujuan untuk mengadvokasi hak-hak komunitas LGBTQ dan menangani pernikahan paksa di kalangan minoritas seksual.
Sunil Babu Pant, seorang mantan anggota parlemen yang secara terbuka mengakui dirinya penyuka sesama jenis atau gay, ikut menghadiri perayaan pasangan tersebut, dan mengatakan bahwa acara seperti ini merupakan bagian dari pergeseran progresif dalam masyarakat Nepal.
"Masyarakat Nepal menjadi begitu liberal dan positif dalam hal ini," kata Pant kepada DW.
Dia menambahkan, pencapaian bersejarah ini akan membantu membuka jalan bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak minoritas seksual di seluruh Nepal, serta berpotensi memengaruhi negara-negara tetangga untuk kembali mempertimbangkan sikap mereka terhadap pernikahan sesama jenis.
Namun, pada bulan Oktober lalu, Mahkamah Agung India justru mengambil langkah berlawanan, dengan menolak untuk melegalkan pernikahan sesama jenis di negaranya.
Di Nepal sendiri, belum ada data resmi yang tersedia mengenai jumlah pasangan sesama jenis dan transgender yang ingin mendaftarkan pernikahan mereka. Namun, Pant mengatakan ada sekitar 200 pasangan sesama jenis dan transgender yang sudah menikah, yang dapat mendaftarkan pernikahan mereka.
Pant, yang juga merupakan pendiri Komunitas Blue Diamond, yang mengadvokasi kepentingan kaum minoritas seksual, menyerukan agar parlemen segera membuat undang-undang yang mengatur berbagai aspek mengenai pernikahan sesama jenis.
Hal ini termasuk kepemilikan properti bersama, warisan, adopsi anak, perceraian, dan perwalian jika terjadi perpisahan.
Langkah-langkah progresif Nepal terdahulu termasuk mengizinkan kategori "lainnya" dalam pilihan jenis kelamin di paspor sejak tahun 2015, dan memperkenalkan kategori gender "lainnya" pada sensus 2021, di mana 2.928 orang mengidentifikasi diri mereka sebagai "lainnya" di antara sekitar 30 juta penduduk.
Pant lebih lanjut mengatakan, minoritas seksual masih kurang terwakili dalam catatan resmi dan menyerukan perbaikan metode pencacahan dalam data sensus.
Penolakan terhadap pernikahan sesama jenis tetap ada
Perjalanan Nepal untuk mengakui pernikahan sesama jenis juga tidak lepas dari pro dan kontra. Sebagian masyarakat konservatif di Nepal masih menentang gagasan untuk melegalkan pernikahan sesama jenis, meskipun jumlah penentang secara bertahap semakin berkurang.
Gurung didukung penuh oleh keluarganya. Sementara Pandey, yang menjadi yatim piatu saat usia enam tahun dan dibesarkan oleh paman dari pihak ibunya, menghadapi tentangan dari saudara perempuannya saat awal pertunangannya dengan Gurung.
Kamal Thapa, ketua Partai Rastriya Prajatantra yang berhaluan konservatif dan mantan wakil perdana menteri Nepal, mengatakan kepada DW, "melegalkan pernikahan sesama jenis akan merusak kesucian pernikahan dan nilai-nilai keluarga dalam masyarakat Nepal yang mayoritas beragama Hindu."
"Saya mendukung hak-hak individu untuk mencintai dan bersama orang yang mereka cintai. Namun, ketika menyangkut pernikahan sesama jenis, hal itu bertentangan dengan konsep dasar kami tentang 'lembaga pernikahan,' yang secara tradisional mewujudkan persatuan suci antara seorang pria dan seorang perempuan," tegasnya. (kp/as)
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Daftarkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.