Perpres TNI Tangani Terorisme Buka Pintu Supremasi Militer?
6 Agustus 2020Saat ini pemerintah bersama DPR telah membahas draf rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme. Pemerintah mengangap bahwa TNI perlu terlibat dalam hal-hal tertentu dalam memberantas terorisme, sebab ada fungsi dan situasi tertentu yang secara khusus hanya dimiliki dan bisa dilakukan TNI.
Meski dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) disebutkan, bahwa salah satu tugas pokok TNI yang tergolong ‘operasi militer selain perang‘ adalah ‘mengatasi aksi terorisme‘, sejumlah pihak menilai hal tersebut dalam konteks 'bantuan' dan tidak terlibat sepenuhnya dalam mengatasi terorisme.
Menanggapi ini, peneliti pertahanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Haripin berpendapat, diajukannya rancangan Perpres tentang pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme sudah sesuai dengan amanat undang-undang.
“Alasannya dari sisi legal formal diizinkan oleh UU 34 tahun 2004, kemudian yang terakhir revisi UU 15 tahun 2003. Perpres sekarang ini ‘kan memang amanat amandemen UU 15 tahun 2003 itu (UU No. 5 Tahun 2018), keterlibatan TNI itu akan diatur oleh regulasi lainnya dalam hal ini Perpres,“ papar Haripin saat diwawancarai DW Indonesia, Kamis (06/08) sore.
Namun, ia menyayangkan dalam rancangan Perpres tersebut tidak diatur secara jelas terkait batasan-batasan wewenang TNI dalam menangani aksi terorisme. “Semestinya memuat ketentuan yang jelas tentang periode, jangka waktu, kemudian batas kekuatan, dan command and control,” ungkapnya.
Dalam praktik di lapangan, sejauh ini TNI juga sudah turut terlibat dalam pemberentasan aksi terorisme di Indonesia melalui “operasi intelijen dan teriorital.” Yang paling anyar, dibentuknya Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI gabungan tiga matra pada Juli 2019 lalu, yang bertugas melakukan operasi khusus dalam memberantas aksi terorisme baik di dalam maupun luar negeri.
Menurut Haripin, hal tersebut memunculkan kekhawatiran akan adanya tumpang tindih tugas-tugas TNI dengan aktor-aktor keamanan lain seperti Polri, Densus 88, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). “Yang ingin kita pastikan bahwa pelibatan TNI itu dalam koridor yang proprosional,” katanya.
Amplifikasi serangan teror
Haripin menilai adanya amplifikasi serangan teror dalam beberapa waktu terakhir, menjadi peringatan bagi pemerintah untuk meningkatkan strategi keamanan Indonesia. Aksi terorisme yang menonjol antara lain serangan teror bom Thamrin (2016), bom bunuh diri Kampung Melayu (2017), tragedi bom di tiga gereja di Surabaya (2018), bom di Mapolrestabes Surabaya (2018), hingga teror bom di Mapolrestabes Medan (2019).
“Jadi adanya kegentingan di pemerintah, ancamannya berubah ancamannya berkembang, respon negara tentu harus juga berubah. Makanya negara mulai serius lagi membenahi atau merevisi pendekatannya terhadap ancaman,” ujar Haripin.
Saat disinggung pengaruh Menteri Pertahanan Prabowo dalam pengajuan rancangan Perpres ini, Haripin enggan berkomentar banyak. Namun, ia menilai mantan danjen Kopassus tersebut saat ini memang terlihat fokus menjalankan tugasnya dalam meningkatkan pertahanan Indonesia.
Meski begitu, ia mengakui bahwa pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme merupakan suatu pendekatan yang bersifat koersif. Dengan metode pendekatan ini, dikhawatirkan menimbulkan antipati dari kelompok masyarakat yang dicap sebagai teroris. “Justru bisa berpotensi meningkatkan serangan.”
Haripin menilai masih ada metode lain bersifat persuasif yang bisa digunakan untuk memberantas aksi terorisme di Tanah Air, antara lain dengan pendekatan pendidikan, sosial kemasyarakatan, dan keagamaan.
“Misalkan penanaman toleransi, multikultur, tenggang rasa antar penganut beda agama. Itu sebetulnya agenda kontraterorisme juga ‘kan,” pungkasnya.
Mundurnya reformasi sektor keamanan?
Sementara itu, Ketua Setara Institue, Hendardi, mengkritik rancangan Perpres tentang pelibatan TNI dalam aksi terorisme yang disebutnya sebagai kemunduran reformasi sektor keamanan. Ini terlihat dari pelibatan TNI dalam jabatan-jabatan sipil dan impunitas dari tuduhan pelanggaran HAM berat dalam banyak kasus sebelumnya. Menurutnya, pintu supremasi militer pun kembali terbuka.
”Kepemimpinan Jokowi justru terus menerus memanjakan TNI dengan berbagai privilege pelibatan dalam berbagai kehidupan sipil tanpa batas-batas yang jelas, sebagaimana pelibatan tanpa batas dan tanpa akuntabilitas dalam draf Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Terorisme,“ terang Hendardi dalam pernyataan tertulisnya kepada DW Indonesia.
Hendardi menilai pelibatan TNI dalam menangani terorisme sudah melampaui tugas pokok TNI itu sendiri. “Pelibatan itu bersifat permanen dan melampaui tugas pokok TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) yang semestinya hanya ditujukan pada level penindakan dan pada obyek tertentu dimana Polri, sebagai unsur utama dalam criminal justice system sudah tidak mampu menangani tindakan terorisme tersebut (beyond the police capacity),” jelasnya.
Saat ini diketahui draf rancangan Perpres tersebut sudah ada di DPR. Hendardi pun mengimbau agar DPR “tidak tergesa-gesa memberikan persetujuan tanpa pembahasan yang detail dan terbuka.“
Kepada tirto.id, anggota Komisi I DPR RI, Willy Aditya, mengatakan pihaknya siap mengawasi TNI jika Perpres ini disahkan nantinya. "DPR melalui Komisi I juga akan mengawasi bagaimana nanti perpres ini diterjemahkan secara detail oleh peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Panglima TNI," jelas Willy.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa suatu kerugian jika pasukan elite TNI tidak terlibat dalam memberantas aksi terorisme. “Kalau kita lihat, akan sangat rugi kalau ada pasukan hebat tidak digunakan untuk mengatasi terorisme. Denjaka, Kopassus dan pasukan elite lainnya, punya kemampuan penanggulangan terorisme. Tentu sesuai dengan skala, jenis kesulitan, dan situasi tertentu,“ ujar Mahfud saat berkunjung ke Markas Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (29/07).
rap/as (dari berbagai sumber)