Permintaan dari Portugal dan Masalah Pengungsi Afrika Utara
8 April 2011Harian Perancis La Marseillaise memandang Portugal sebagai korban spekulasi.
"Setelah Yunani dan Irlandia sekarang Portugal juga terkena masalah. Negara-negara ini adalah korban bunga kredit yang terlalu tinggi, yang dituntut pasar uang. Mereka juga mendapat angka buruk dari lembaga pemeringkat kredit, yang tergantung pada spekulasi di pasaran, ibaratnya hujan tergantung pada awan. Dan setelah negara-negara itu melemah akibat cara ini, mereka kemudian tidak dapat meminjam uang dan tidak dapat membayar utang, kecuali jika mereka membayar bunga gila-gilaan. Memang benar jika orang marah, karena Uni Eropa tidak punya ambisi lain selain menenangkan pasar-pasar keuangan, dengan memenuhkan kas-kas kosong lewat jerih-payah rakyat."
Harian Perancis lainnya, Sud-Ouest juga memberikan komentar senada.
"Di Athena, politik keuangan yang salah yang dilaksanakan untuk waktu lama juga pengeluaran yang ditutup-tutupi menyebabkan intervensi Uni Eropa dan Dana Moneter Internasional (IMF). Rencana penyelamatan bagi Irlandia tahun lalu adalah reaksi atas tindakan foya-foya sebuah negara, yang dianggap serius, tetapi terperangkap godaan spekulasi di sektor properti. Situasi Portugal sangat berbeda. Setelah menjadi anggota Uni Eropa tahun 1986, negara itu berhasil - dengan usaha besar - untuk memperbaiki situasi sehingga sama dengan negara anggota lainnya. Kondisinya lebih kuat lagi setelah ikut dalam zona mata uang Euro tahun 2002. Kesulitan, yang tidak berhasil diatasi Portugal, juga mengancam semua negara Eropa, yaitu pengangguran, beban mata uang yang kuat dalam menghadapi persaingan besar di seluruh dunia, semakin besarnya jumlah penduduk yang berusia lanjuta dan masalah dalam pelaksanaan reformasi."
Harian-harian Eropa juga mengomentari masalah gelombang pengungsi yang datang dari Afrika utara.
Harian Perancis Ouest France memberikan tanggapan tentang sengketa antara Perancis dan Italia berkaitan dengan masalah ini.
"Kritik Roma terhadap Brussel, yang lambat mengambil keputusan, bukannya tanpa alasan, dan kemudian memberikan sendiri ijin tinggal atas dasar kemanusiaan. Itu menyebabkan kejengkelan pemerintah Perancis, yang ingin mengirim para warga Tunisia kembali ke Italia. Pemerintah di Paris dan Roma juga menekankan dengan cara mereka sendiri dan dari pertimbangan serupa agar tidak kehilangan dukungan dari rakyat, bahwa pembatasan antara kedua tepi Laut Tengah harus tetap ada. Seolah-olah Eropa tidak ada. Seolah di bagian selatan Laut Tengah tidak ada sesuatu yang penting yang sedang terjadi. Seolah-olah serangan di Libya tidak pernah terjadi dan mantan Presiden Tunisia Zine el Abidine Ben Ali tetap berkuasa. Dan seolah Tunisia tidak membutuhkan bantuan agar pembangunan dapat maju. Sebenarnya itulah jalan satu-satunya untuk menghentikan gelombang pengungsi."
Harian Italia La Stampa menilai, Presiden Perancis Nikolas Sarkozy menggunakan masalah pengungsi untuk kampanye pemilu.
"Orang sudah tahu, bahwa perjuangan menekan imigrasi, bukan saja yang ilegal, menjadi hal penting bagi Sarkozy. Bersama tema keamanan itu menjadi bahan bakar pendorong dinamika politiknya. Masalah itu timbul dan berkembang akibat konfrontasi dengan kubu ekstrem kanan di bawah Marine Le Pen. Jadi tidak ada solidaritas dengan Italia, tidak ada toleransi dengan rakyat Tunisia, walaupun pengaruh Perancis besar di negara itu. Itulah hasil dari apa yang dalam debat-debat di Perancis disebut pengaruh Le Pen dalam cara berpikir. Setahun sebelum pemilu presiden berikutnya, Sarkozy sudah menjalankan kampanye. Monarki partai republik di negara itu tidak mengenal kata istirahat. Jajak pendapat tidak kenal ampun, sebagian besar rakyat Perancis tidak puas dan presiden terkepung."
Marjory Linardy/dpa/afp
Editor: Hendra Pasuhuk