Perdebatan Seputar Tes Kesehatan Kelamin Calon Prajurit TNI
13 Agustus 2021Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa baru-baru ini menyatakan kepada media bahwa tes keperawanan bagi para calon prajurit perempuan perempuan kini sudah tidak berlaku lagi. Tapi ia mengatakan tetap ada pemeriksaan genitalia luar, abdomen, genitalia dalam.
Selama puluhan tahun, ribuan calon prajurit perempuan di Indonesia telah mendapatkan perlakuan yang dinilai diskriminatif dalam proses perekrutan. Mereka perlu menjalani 'tes keperawanan' yang dianggap para aktivis hak-hak perempuan sebagai perlakuan yang menghina dan tidak punya dasar ilmiah.
Tes keperawanan dinilai sebagai praktik invasif memasukkan dua jari ke dalam vagina untuk dapat menilai apakah seorang perempuan sebelumnya pernah berhubungan seks - suatu tes yang dilakukan TNI dan lembaga kepolisian selama puluhan tahun untuk menilai moralitas seseorang.
Keputusan meniadakan tes ini disambut baik oleh banyak pihak, salah satunya oleh aktivis perempuan yang juga purnawirawan polisi wanita dan pernah menjalani tes kontroversial tersebut.
"Tentu saja saya bersyukur. Meski sebetulnya sangat terlambat. (Kalau) di zaman begini masih ada tes keperawanan perempuan untuk menentukan kelulusan rekrutmen profesi, itu pasti absurd dan menjadi tertawaan orang.... Nah itu 'kan merusak dan menjatuhkan citra," kata purnawirawan polwan itu kepada DW Indonesia.
Puluhan tahun berlalu, rasa sebal masih ada
Andreas Harsono, peneliti di lembaga nonpemerintahan Human Rights Watch, menjelaskan bahwa tes keperawanan tidak hanya menciptakan rasa malu, tetapi juga memiliki efek jangka panjang dan berdampak buruk terhadap kepercayaan diri orang yang menjalaninya.
Kepada DW Indonesia Andreas menceritakan kisah seorang pensiunan perwira Angkatan Udara (AU) yang mengatakan bahwa empat tahun setelah menjalani tes keperawanan, traumanya muncul kembali saat dia menjalani bulan madu di Bali. Badannya menjadi kaku sekali dan dia menangis sepanjang malam, tutur Andreas.
Dampak psikologis tidak hanya memengaruhi kepercayaan diri perempuan, tetapi juga kepercayaan mereka terhadap sistem hukum di Indonesia, kata Andreas. "Kepercayaan mereka terhadap sistem hukum di Indonesia jadi apatis. Mereka tidak percaya bahwa sistem ini akan adil pada perempuan," Andreas mengatakan kepada DW Indonesia.
Perasaan telah diperlakukan secara tidak adil juga masih kerap menghampiri Irawati Harsono, purnawirawan Polwan yang pernah menjalani tes keperawanan puluhan tahun yang lalu. Di tahun 1964, Irawati Harsono mengaku pernah menjalani tes keperawanan di RS Polri Kramat Jati. "Sejak awal saya sebel dan penuh tanda tanya karena merasakan diperlakukan tidak adil, karena laki-laki tidak melakukan tes keperawanan," ujar Irawati.
"Mengapa tidak melakukan tes psikologis yang bisa diterapkan bagi calon perempuan maupun pria? Apa yang harus bermoral itu cuma polisi wanita dan polisi laki-laki tidak?" kata Irawati kepada DW Indonesia.
Tes genitalia masih tetap dilakukan
Pada Juli lalu Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI Andika Perkasa mengatakan kepada para komandannya di jajaran TNI AD bahwa pemeriksaan dalam proses rekrutmen untuk prajurit Korps Wanita TNI AD harus sama dengan tes kesehatan prajurit pria. Selain itu, para calon istri prajurit pun tidak perlu menjalani pemeriksaan tes keperawanan sebagai persyaratan untuk menikah.
Walau disambut positif oleh banyak pihak, perdebatan tentang perlu atau tidaknya tes genitalia ini tetap terjadi di antara kalangan aktivis hak asasi. Irawati Harsono yang telah berjuang selama bertahun-tahun untuk menghapuskan tes keperawanan merasa bersyukur atas keputusan ini. Namun dia mengingatkan bahwa tes genitalia sebetulnya masih dilakukan di TNI sebagai rangkaian tes kesehatan organ reproduksi.
"Test genital itu perlu dan berlaku bagi perempuan dan laki-laki, artinya penis laki-laki juga diperiksa dengan teliti karena tidak boleh ada penyakit yang bisa ditularkan," kata Irawati.
Sementara itu Ketua Komnas Perempuan Andi Yentriani mengatakan bahwa tes kesehatan terkait genitalia hanya boleh dilakukan dengan bertanggung jawab dan hanya untuk memeriksa kehamilan, kanker, atau infeksi seksual menular. Dia mempertanyakan mengapa TNI tidak menyediakan fasilitas pemeriksaan ini untuk seluruh prajurit perempuan, tapi hanya ada pemeriksaan wajib bagi calon prajurit.
"Saya berharap bahwa tes serviks itu bisa disediakan bagi semua perempuan secara gratis dan massal karena kanker serviks itu paling banyak dialami oleh perempuan tetapi kanker ini paling sedikit disadari," ujar Andi Yentriani kepada DW Indonesia.
Berbeda dengan Irawati dan Andi, Andreas Harsono justru mengatakan bahwa tes ini tidak diperlukan sama sekali, kecuali calon prajurit memberi keluhan medis terkait sistem reproduksinya.
Panglima TNI diminta terbitkan kebijakan tertulis
Meski langkah KSAD menghapuskan tes keperawanan sudah diambil, beberapa kalangan masih meragukan bahwa kebijakan ini akan tetap berlaku di masa depan. Karena itu, aktivis perempuan berharap adanya peraturan tertulis dari panglima TNI untuk menetapkan kebijakan ini.
Irawati Harsono mengenang bahwa pada tahun 1980-an tes keperawanan di kalangan kepolisian pernah dihapuskan. Namun peraturan ini hanya bertahan dua tahun, lalu pada tahun berikutnya praktik diskriminatif tersebut kembali berlaku.
Andi Yentriani dari Komnas Perempuan pun mendorong agar panglima TNI bersikap tegas terkait ini. "Pernyataan KASAD disampaikan sebagai bentuk arahan tetapi arahan verbal. Kami berharap itu ada bukti tertulis seperti surat edaran. Kami ingin dokumen kebijakan ini diterbitkan panglima TNI supaya jadi rujukan lintas matra," tegas Andi. (ae)