Perlindungan Hutan dan Gorila di Rwanda
6 Januari 2012Taman Nasional Volkano Rwanda terletak di sebuah pulau berhutan di tengah ladang. Pakar biologi Ian Redmond pertamakali datang ke sini tahun 1976. Bersama ahli zoologi Dian Fossey, mereka mempelajari gorila gunung yang langka.
Setelah satu jam perjalanan, mulailah memasuki kerajaan gorila. Saat yang menyenangkan, bahkan bagi Redmond, yang sudah bertahun-tahun menghabiskan waktu dengan kera besar. Sambil berjalan ia menjamah beberapa tanaman, "Lokasi kIta sudah sangat dekat dengan keluarga gorila. Mereka baru saja makan di sini. Kita bisa melihat dimana-mana, ini sejenis seledri kecil. Merka kupas dan makan bagian dalam batangnya. Rasanya mirip seledri. "
Berinteraksi dengan Gorila
Tak mudah menemukan gorila gunung di hutan ini. Ketika bertemu, gorila tidak mengganggu orang-orang yang datang. Kini banyak pariwisata yang berkontribusi pada pelestarian habitat mereka. Para kera besar itu dengan damai menghabiskan sebagian harinya dengan makan. Sisanya berinteraksi sosial dan bersantai tengah hari. Orang-orang menunggu kesempatan melihat mereka. Kadang gorila-gorila itu berkelahi. Gorila yang terkuat akan tampil sebagai pemenang.
Ekoturisme
30 tahun lalu, jumlah gorila gunung ada 280 ekor. Kini jumlahnya 800 ekor. Sebuah kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tapi tantangan terbesar masih menghadang. Redmond menceritakan, "Gorilla gunung adalah jenis kera, yang jumlahnya meningkat. Ini disebabkan oleh konservasi alam yang didanai oleh pariwisata. Mereka dapat melindungi taman nasional di dunia. namun jika iklim berubah, vegetasi mati, maka mati akan pula gorila-gorila tersebut. Ini merupakan masa yang kritis. Eksistensi ribuan manusia juga tergantung pada turisme gorila. Dan juga lahan pertanian di wilayah ini membutuhkan air untuk menyirami ladang.“
Perlindungan habitat gorila hakikatnya juga menguntungkan rakyat. Pemerintah Rwanda mengakui pelestarian ekosistem ini sangat penting bagi masa depan. Di negara paling padat penduduknya di Afrika ini tanahnya subur. Tapi erosi di Tanah Seribu Bukit telah menghancurkan kehidupan. Pertambahan penduduk berarti semakin kurangnya lahan dimana orang harus berbagi.
Partisipasi Masyarakat Batwa
Namun orang-orang juga ingin melindungi habitat gorila di taman nasional ini. Diantaranya warga asli, Matthew Munyarazi, anggota keluarga Batwa, pemburu dan pengumpul makanan. Ia hidup di hutan berkabut di perbukitan. Di sana ia berburu kerbau dan mengumpulkan madu. Kini tak ada tempat baginya dan gorila. Oleh sebab itu Batwa menawarkan proyek alternatif. Ketimbang berburu atau mengumpul madu di hutan, mereka mengembangkan sendiri usaha sarang lebah. Madunya dapat dijual ke koperasi. Ia tak mau lagi mengganggu hutannya, "Tidak, saya sebenarnya tidak sedih bahwa tak dapat lagi tinggal di hutan. Tentu saja, di sana saya mendapat berbagai sumber makanan, yang tak saya peroleh di sini. Oleh sebab itu saya membangun gubuk dan dapat ambil bagian dalam proyek, untuk mendapat penghasilan. Saya tidak ingin kembali lagi ke hutan.”
Batwa kini berbagi dalam bagian kecil dari hutan, dimana mereka menanam sendiri. Kayu dimanfaatlkan untuk bahan bangunan atau bahan baku keranjang. Sehingga hutan yang letari tetap dapat menyerap CO2. Seberapa cepat kerusakan ekosistem hutan menjadi akibat konkrit atas keseluruhan kegiatan ekonomi manusia, telah menjadi pengalaman bagi negara Rwanda.
Kepentingan Bersama
Sebenarnya mereka tidak kekurangan air. Lahan pertanian dapat menyediakan sendiri pembangkit listrik tenaga air. Namun pernah tahun 2003 mendadak menjadi kering. Dengan cepat pemerintah menyadari bahwa restorasi lahan basah Rugezi merupakan solusi berkelanjutan. Redmond menuturkan, "Pemulihan ini tak terlalu sulit. Pertama, petani harus menyerahkan lahan illegal mereka di lahan basah, denagn demikian air terhimpun kembali. Kemudian petani mengambil tindakan untuk mengatasi erosi di sepanjang bukit. Mereka menanam bambu, rumput dan pohon di sekitar lahan sehingga erosi berkurang dan lebih banyak menyimpan air. Dengan metode ini akhirnya situasi terpulihkan.“
Lahan basah juga mengikat metana, gas rumah kaca. Bahkan jika petani menginginkan lahan mereka, Rwanda menyadari bahwa harus memikirkan jangka panjang ekosistem itu dan harus pandai-pandai dalam mengatasi kepentingan individu. Redmond mengatakan, "Saya yakin bahwa contoh ini menunjukan bagaimana intervensi yang disasar pemerintah terhadap penduduk, dapat memecahkan masalah. Jadi tidak kehilangan segalanya. Bahkan dalam menghadapi perubahan iklim, ada cukup banyak proyek yang dilaksanakan dengan cepat dan tidak hanya didiskusikan bertahun-tahun. Ini tampak menjadi transformasi bagi masa depan berkelanjutan.“
Sebuah masa depan, yang diharapkan Redmond sendiri: bahwa manusia dan gorilla saling berbagi ruang hidup. Hutan, air dan tanah adalah bagian dari ekosistem yang menjaga keseimbangan dalam mempertahankan iklim.
Gierstorfer/Purwaningsih
Editor : Permadi