Perkembangan Politik Afrika Utara Belum Jelas
15 April 2011Harian liberal kanan Italia Corriere della Sera menyoroti gejolak politik di dunia Arab yang sudah berlangsung beberapa bulan. Harian ini menulis:
Apa yang kita lihat sampai saat ini adalah aksi penggulingan kekuasaan dan pemberontakan. Orang akan terkecoh, kalau menyebut perkembangan ini sebagai sebuah revolusi. Mungkin saja, kaum remaja yang saat ini menguasai jalan-jalan nantinya akan mendirikan partai. Mungkin mereka akan ikut dalam kampanye pemilihan umum atau bergabung ke pihak pemerintah. Tapi sebenarnya, kaum remaja yang sedang memberontak di kawasan Afrika utara belum siap menghadapi perubahan. Mereka tidak punya proyek yang jelas. Yang tragis adalah, bahwa kaum muda di Mesir, Tunisia dan Libya, yang sekarang terlibat aksi protes maupun pemberontakan, mungkin nantinya akan menjadi lebih miskin lagi.
Harian Perancis Le Figaro menyoroti keterlibatan NATO dalam konflik di Libya dan berkomentar:
Gaddafi pada akhirnya harus meninggalkan kekuasaan. Inilah sekarang tujuan yang dideklarasikan koalisi internasional. Namun ini bukan prasyarat untuk gencatan senjata, yang tadinya ditawarkan jika pasukan pemerintah Libya mau kembali ke baraknya. Serangan udara koalisi internasional tetap akan dilanjutkan. Hal itu dilakukan untuk melindungi warga sipil, sekaligus untuk menekan agar transisi menuju pemerintahan yang demokratis segera dimulai. Untuk menerapkan strategi baru ini, NATO perlu tambahan pesawat tempur. Sampai sekarang, hanya enam dari 28 negara NATO yang terlibat dalam serangan udara. Di bidang politik, Uni Eropa sekarang mencabut sanksi terhadap mantan menteri luar negeri Libya, Mussa Kussa, yang berpaling meninggalkan Gaddafi. Langkah ini bisa menjadi dorongan bagi tokoh lainnya yang masih mendukung Gaddafi untuk beralih ke pihak lain.
Harian Jerman die tageszeitung mempertanyakan sikap barat menghadapi perkembangan di Bahrain dan Yaman. Harian ini menulis:
Berbeda dengan Suriah, di mana Presiden Bashar al-Assad mempertahankan kekuasaan dengan kekerasan, Bahrain dan Yaman adalah mitra-mitra barat. Jadi orang bisa beranggapan, seharusnya lebih mudah bagi Amerika Serikat untuk menekan kedua negara itu. Tapi kenyataannya, sementara Amerika Serikat membantu oposisi di Libya dengan kekuatan militer, para aktivis pro demokrasi di Bahrain dan Yaman dilupakan. Sebagai negara adidaya, Amerika Serikat mungkin bisa menerapkan standar ganda. Namun mereka yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, tidak boleh berdiam diri saja.
Tema lain yang jadi sorotan pers adalah perkembangan di Cina, yang kini bangkit sebagai raksasa ekonomi. Tapi kebebasan berpendapat ditindas. Harian Perancis Le Monde menulis:
Penindasan Cina terhadap para pembangkang dalam beberapa minggu terakhir makin intensif. Penangkapan seniman Ai Weiwei awal April jadi berita besar. Sejak awal Februari, sekitar 30 aktivis ditangkap di beberapa kota besar Cina, hanya karena mereka menulis pendapatnya di internet. Kebanyakan pemimpin Cina memang mengalami masa susah di bawah pemerintahan Mao. Jadi mereka sangat takut pada ketidak stabilan. Tapi sikap ini tidak baik bagi perkembangan Cina. Jika kebebasan berpendapat dikorbankan atas nama kerukunan sosial, maka perkembangan akan terhambat.
Hendra Pasuhuk/dpa/afp
Editor: Legowo-Zipperer