Perempuan Asia dan Politik
19 Oktober 2009Pada bulan Oktober ini, lebih dari 30 aktivis, peneliti dan pakar politik dari berbagai negara Asia bertemu di Universitas Hildesheim, Jerman. Mereka membahas berbagai pengaruh terhadap peran perempuan dalam Konferensi Internasional Perempuan dan Politik di Asia.
Alkisah dalam sebuah penelitian baru di India, seorang perempuan, sebut saja bernama Dewi, terkaget-kaget ketika menerima undangan sebuah LSM lokal untuk mengikuti lokakarya bagi anggota Dewan Pembangunan Desa di negara bagian Uttar Pradesh.
Dewi tidak tahu-menahu bahwa ia terpilih sebagai anggota Dewan. Ternyata sejak awal, mulai dari proses pendaftaran, kampanye hingga penerimaan jabatan itu, suaminyalah yang bertindak sendiri. Tanpa memberitahukan Dewi. Tujuan sang suami pun bukanlah demi kebaikan Dewi, melainkan untuk memenuhi kepentingannya sendiri.
Terbongkarnya kasus itu hanya kebetulan saja, karena LSM yang mempersiapkan lokakarya itu melihat namanya pada daftar anggota Dewan dan mengirim undangan. Adanya perempuan di dalam parlemen tidak merupakan jaminan terbentuknya demokrasi. Demikian kritik Hala Kindelsberger, pengajar di Universitas Berlin yang berasal dari Mesir.
Dengan alasan yang berbeda-beda, kritik serupa tadi berulang kali terdengar dalam berbagai sesi Konferensi Internasional Perempuan dan Politik di Asia yang berlangsung di Hildesheim awal Oktober 2009. Menurut amatan Wakil Direktur Pusat Studi Pembangunan Perempuan di New Delhi, Indu Agnihoti, demokrasi justru penting sebagai pijakan bagi penguatan hak-hak perempuan.
"Bagi kita semua yang pernah hidup dalam situasi, atau pernah mengalami tidak adanya demokrasi atau kebebasan apapun, maka pasti tak perlu didorong untuk menerima bahwa keberadaan demokrasi bisa membuka jalan untuk peningkatan hak-hak perempuan,“ ungkap Induu Agnihhotii.
Tahun 1993, parlemen India menetapkan amandemen konstitusi ke-73. Legislasi ini menjamin 30% kursi parlemen daerah bagi perempuan. Meski gerakan perempuan di India sudah bergulir sejak jaman kolonial, sebelumnya peluang perempuan untuk turut menentukan kebijakan hanya terdapat di kota-kota besar. Di daerah dan pedesaan, perempuan dilarang berpartisipasi dalam diskusi publik. Mereka dihambat oleh aturan-aturan feodal yang patriarkal dan sistim kasta yang keras. Amandemen itu membuka jalan bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam poltik.
Dan setahun kemudian, sejak 1994, lebih dari satu juta perempuan terpilih untuk mengisi parlemen-parlemen daerah di India. Namun ini tak berarti perubahan sosial itu terjadi tanpa kesulitan. Dalam proses pelaksanaannya, bukan saja kubu konservatif dan fundamentalis yang menentangnya dengan dalih tradisi atau bahkan dengan menggunakan kekerasan dan berbagai bentuk intimidasi. Meskipun gerakan perempuan India penuh dengan kisah sukses, sampai kini masih banyak yang perlu diatasi.
Menurut Andrea Fleschenberg, peneliti dan pengajar di Universitas Hildesheim, sistim reservasi banyak digunakan di negara-negara Asia Selatan, termasuk di Afghanistan, Pakistan, India dan Nepal. Ia juga melihat sejumlah kelemahan padanya, "Misalnya di Pakistan, kursi-kursi itu direservasi dalam sistim pemilihan tidak langsung, para calon terpilih atau dipilih, dan ada saja politisi lelaki yang menggunakan perempuan-perempuan dalam partainya atau bahkan dari keluarganya sendiri, sehingga apabila mereka gagal dan tidak terpilih lagi, kepentingan mereka masih terlindungi melalui kandidat perempuan yang sudah terjamin mendapatkan kursi.“
Menurut Andrea Fleschenberg, yang baru merampungkan penelitian mengenai pemilu Afghanistan, sebenarnya sistim resevasi dikembangkan karena dalam sistim kuota umumnya yang menekankan daftar caleg yang berimbang gender, kesetaraan peluang memang bisa dijaga, namun hasil akhirnya tidak terjamin. Di Afghanistan misalnya, sistim reservasi sengaja menjamin sekian persen kursi parlemen untuk kelompok khusus yang dinilai perlu berpartisipasi, seperti kelompok tokoh-tokoh suku, kaum nomaden, dan juga untuk kelompok perempuan.
"Hal ini mengubah dinamika politik yang berlangsung, karena bisa jadi persaingan untuk mendapatkan kursi-kursi tersebut tidak terlalu besar, jadi lebih mudah untuk memenangkannya karena tidak perlu bersaing secara terbuka dengan calon-calon lain – melainkan hanya dengan calon-calon dari kelompok yang sama,“ tambah Andrea Fleschenberg.
Ketimpangan ini menimbulkan kritik-kritik tersendiri. Kritik yang dari satu sisi ada benarnya, namun di sisi lain seringkali sengaja dilontarkan untuk melemahkan legitimasi posisi perempuan dalam lembaga-lembaga pemerintahan atau ruang publik.
Kenyataan ini membuat sebagian besar partisipan konferensi mengeluh, termasuk Vasundhara Mohan Rallapalli, Direktur Pusat Studi Masyarakat dan sekularisme di India. Ia menyampaikan hasil penelitian yang lumayan kelam mengenai peran perempuan Islam dalam politik India. “Jadi, apa solusi akhirnya? Adakah sebuah demokrasi di mana permasalahan gender terselesaikan secara tuntas, karena bisa saja setiap negara, setiap wilayah, bahkan setiap budaya memiliki ciri-ciri tersendiri. Dan oleh sebab itu juga punya permasalahan yang khas, yang mungkin hanya berlaku di tempat itu. Cuma saya pikir, bila dalam suatu demokrasi semua pihak yang berkepentingan duduk bersama untuk mencari jalan keluar maka peluang untuk menemukan solusinya itu ada.”
Duduk bersama mencari jalan keluar memang merupakan bentuk ideal sebuah demokrasi. Namun dalam Konferensi Internasional Perempuan dan Politik di Hildesheim, partisipan berada dalam tahapan duduk bersama menggambarkan perkembangan dan persoalan di masing-masing negara. Selain laporan dari India dan kawasan Asia selatan, ditampilkan pula permasalahan di Cina, Jepang, Kamboja, Thailand, Mesir, Suriah, Kuwait, Malaysia dan Indonesia. Tantangan yang dihadapi seringkali serupa, tapi tak pernah sama.
Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk