Perdebatan Pasca Putusan ‘Kesusilaan’ MK
20 Desember 2017Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46 tahun 2016 menuai perdebatan. Perdebatan terjadi akibat substansi materi putusan, atau yang diajukan pemohon, terkait dengan delik kesusilaan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 284 (ayat 1-4), ayat 285 dan 292.
Permohonan diajukan secara sadar diajukan dengan dalil konstitusi oleh para Pemohon ke MK sejak 2016. Atas pengajuan tersebut, berlangsung sesi demi sesi sidang pemeriksaan. Cukup hangat prosesnya, berbagai pihak hadir memberikan keterangan, kesaksian dan harus diakui perang pengaruh dalil terjadi dalam forum pemeriksaan di MK.
Pemohon mendalilkan melihat banyaknya praktik seks bebas dan berakibat pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat. Oleh karenanya juga mengancam lingkar keluarga mereka. Sementara itu, KUHP, terutama pasal-pasal yang diajukan di atas, terkait dengan kesusilaan, tidak lagi dianggap mampu memidana pelaku seks bebas. Hal ini dikarenakan, pasal-pasal tersebut hanya memidana pelaku seks yang telah berstatus ikatan perkawinan atau pernikahan. Oleh karenanya, Pemohon berargumentasi bahwa faktor ‘akibat' menjadi penting untuk dilihat.
Dalam concern para pemohon, akibat buruk muncul karena ‘tata cara' seks yang bebas. Bebas bisa dilihat tanpa harus ada status hubungan perkawinan bagi pelaku seks (bebas). Bebas, dalam dalil Pemohon, pertama, harus dilihat pada bagian identitas biologis, laki-laki, perempuan. Kedua, bentuk hubungan seks berupa laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan.
Pengajuan di atas oleh Pemohon ke MK atas pasal-pasal KUHP dalam secara tegas ingin menyatakan pelaku seks bebas, sebagaimana disebutkan di atas, harus dipidana. Dipidana artinya menjadi musuh masyarakat, diasingkan dari masyarakat dan dibatasi gerak atau kebebasan personalnya dalam penjara. Oleh karenanya nama mereka pun dipublikasikan secara terbuka ke tengah masyarakat. Setidaknya hal ini adalah gambaran praktik pemidanaan yang berlaku saat ini.
Melanjutkan Perdebatan Nasional
Pasca putusan, 14 Desember 2017, perdebatan masih berlanjut. Apakah putusan MK artinya ‘menghalalkan' praktik kesusilaan yang terjadi selama ini? Masih dalam perdebatan, juga ada yang melihat pada faktor komposisi hakim mengingat pola perpecahan suara sangat sengit 4 berbanding 5 hakim. Hal ini pernah pula terjadi dalam putusan MK lainnya, seperti soal Hukuman Mati.
Kita perlu ingat bahwa sesungguhnya tanpa adanya putusan MK, isu kesusilaan—apalagi soal LGBT—selalu menuai perdebatan, sering kali bahkan berujung saling menghina, stigma berbagai pihak atau kelompok, pro dan kontra. Tidak jarang, justru menunjukkan kegagalan mendidik dan kehilangan tema awal yang diperdebatkan.
Pasca putusan MK, perdebatan tidak harus dihentikan, melainkan perdebatan harus terus dilakukan. Namun perdebatan harus menghasilkan konvensi (kesepakatan) untuk tidak lagi bertindak dengan cara-cara yang memaksakan kehendak, perlu mendengarkan berbagai pihak, menjadikan perdebatan sebagai proses saling uji dan berproses bersama. Bisa terbuka didiskusikan di berbagai kalangan dan pihak bukan sekedar atau membutuhkan ruang-ruang megah seperti Mahkamah Konstitusi.
Perdebatan patut masuk pada ruang atau bahkan materi pendidikan. Di satu sisi aras argumentasi, sebagaimana disampaikan oleh Pemohon, ada kandungan moralitas publik, karena keimanan. Namun juga harus dilihat secara komprehensif misalnya pada faktor kesehatan. Maka harus bisa dijelaskan secara logis dan mudah dipahami kepada kalangan seluas mungkin.
Kemampuan dalam proses ini akan menunjukkan kapasitas pengusung argumen dan bisa diuji. Itu lah konsekuensi dari demokrasi. Sebagaimana pilihan ke Mahkamah Konstitusi, sekaligus menggunakan pasal-pasal Konstitusi dalam argumentasi dalam pengajuan permohonan di MK, juga merupakan manifestasi dari komitmen pada demokrasi.
Peran Teknologi Komunikasi dan Geliat Populisme
Sering kali kita merasa lelah dan optimal dalam membela sebuah posisi. Apalagi jika sudah dibalur dengan sebuah keyakinan, ideologi atau identitas. Hal ini bisa dipahami, meskipun harus berani mengevaluasi diri di saat bersamaan. Akan tetapi yang perlu kemudian diuji adalah sejauh mana dedikasi pada sebuah posisi bisa berkoresponden pada pihak lain yang berbeda, bukan melulu pada kelompok sejenis. Sampai di sini hukum bukan menjadi instrumen utama. Apalagi pemidanaan, misalnya terhadap pelaku seks bebas. Hal ini justru mendorong pada mentalitas permusuhan.
Untuk itu, melanjutkan poin di atas, adalah menguji kapasitas situasi kita di Indonesia hari ini dalam mendiskusikan norma kesusilaan. Kemajuan teknologi sosial media, perang wacana dan perlombaan popularitas telah membelah masyarakat. Padahal secara diam-diam yang terjadi adalah krisis aktivitas hingga identitas. Misalnya, masyarakat atau setiap orang yang mencari pekerjaan harus beridentitas pada kelompok tertentu; untuk mendapatkan jabatan tertentu harus dekat dengan kelompok politik atau sosial tertentu. Masih banyak contoh lainnya.
Ketrampilan, profesionalitas dan integritas rasional sudah tidak laku lagi. Sebaliknya, di kalangan elite massa atau elite organisasi, salah satu syarat mereka adalah kemampuan mengumpulkan, mengendalikan atau memobilisasi massa. Ada proses trade-off, pertukaran kepentingan. Isu-isu tertentu sering digunakan untuk pemantik mobilisasi massa atau mobilisasi wacana. Dengan kata lain, isu kesusilaan dalam perdebatan hari ini rentan masuk pada masifnya teknologi komunikasi dan populisme (pragmatisme).
Lebih jauh, hal ini memudahkan terjebak pada, pertama, perdebatan yang tidak mendalam (emosional). Kedua, pada peralihan pada tema atau wacana baru. Rumus ini berlaku bukan hanya pada kelompok (bawah) tertentu, melainkan hampir pada seluruh kalangan. Bukan hanya para elite, tapi juga penguasa. Kita harus hati-hati pada situasi seperti ini untuk mendiskusikan sebuah norma yang menjadi pijakan banyak aturan hukum.
Efek Jera dan Rehabilitasi
Selain perlu kritis terhadap kapasitas kondisi kita saat ini, salah satu substansi perdebatan yang harus didiskusikan adalah soal Pemidanaan seks bebas. Dalam hukum pidana, mengutip dari Eddy O.S. Hiariej (2016), dikenal sejumlah ‘teori tujuan pidana kontemporer'; efek jera, edukasi, rehabilitasi, pengendali sosial dan keadilan restoratif. Efek jera, dimaksudkan agar pelaku kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Mirip dengan tujuan edukasi, agar tindakan tersebut tidak dilakukan oleh masyarakat lainnya.
Sementara dalam teori rehabilitasi, pelaku kejahatan harus diperbaiki kearah yang lebih baik agar bisa kembali masyarakat. Sedangkan teori pengendali sosial menyatakan bahwa pelaku harus diisoliasi agar tidak merugikan masyarakat. Yang menarik adalah konsep restoratif, dimana pendekatan pemidanaan bukan sekedar pada si pelaku atau korban, akan tetapi pada keseluruhannya aspek, si pelaku, korban, keluarga, masyarakat, untuk bersama-sama mengembalikan kondisi semula sebelum kejahatan terjadi. Dari gambaran diatas harus bisa dijawab, dibuktikan, dalam pemidanaan atas seks bebas, siapa pelaku, siapa korban, apa bentuk kejahatan yang mengancam, siapa korban, dst.
Masih banyak ahli pidana lainnya. Bahkan bisa dan perlu diperluas pada ahli hukum dan ahli-ahli lainnya. Bahkan harus diperluas pada tataran catatan praktik penegakan hukum. Patut diingat, penegak hukum di Indonesia memiliki berbagai ragam catatan tidak-profesional, kesalahan prosedur, bermuatan pesanan dalam kerjanya. Bahkan kejahatan atau kesalahan ini dialamatkan ke para pemimpin yang notebene mewakili kelompok pro-kontra dalam isu seks bebas.
Oleh karenanya, Norma baru bukan sesuatu yang haram, namun harus dicermati pula kemampuan dalam penerapannya. Kesalahan dalam penerapan norma baru (dalam bentuk delik), justru berpotensi memunculkan kejahatan baru lagi. Mari kita cerdas bersama mendiskusikan masalah ini. Sebaliknya bukan untuk menempuh cara-cara yang emosional dan pragmatis.
Kembali ke putusan MK, kita sebagai bangsa sudah memiliki dokumentasi perdebatan. Sesi pemeriksaan, dokumen permohonan dan dokumen lainnya telah disimpan dan bisa diakses oleh masyarakat luas. Hal ini adalah sesuatu yang patut diapresiasi kepada para pihak, saksi ahli dan MK itu sendiri, setuju ataupun tidak.
Haris Azhar (rzn/vlz)
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation
Haris Azhar adalah pegiat Hak Azasi Manusia yang sempat aktif sebagai Koordinator di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Ia mengenyam pendidikan hukum di Universitas Trisakti dan program Magister Hak Azasi Manusia dan Keragaman Budaya di Universitas Essex, Inggris. Saat ini Haris Azhar menjabat Direktur Eksekutif Yayasan Lokataru yang menyediakan layanan hukum dalam kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia.