190911 Palästina Flüchtlinge Rückkehrrecht UNRWA
19 September 2011Presiden Palestina Mahmud Abbas mengumumkan akan mengajukan permohonan pengakuan bagi negara Palestina, di hadapan sidang PBB yang akan datang. Jika Sidang Paripurna memutuskan untuk mengakui batas dari tahun 1967 sebagai batas negara Palestina yang baru, hal itu bukan alasan untuk bersorak sorai gembira bagi seluruh rakyatnya.
Bagi pengungsi Palestina di Libanon, negara dengan batas seperti di tahun 1967 berarti pupusnya harapan untuk kembali ke kampung halaman mereka di Akko atau Haifa.
Badan PBB untuk pengungsi Palestina di Timur Tengah, UNRWA, memperkirakan, jumlah pengungsi di Libanon mencapai 455.000 jiwa. Kebanyakan dari mereka hidup di kamp-kamp pengungsi, yang dimulai oleh Palang Merah Internasional sebagai kota tenda dan kini, berpuluh tahun kemudian, tumbuh bersama dengan kota-kota Libanon.
Ain El Helweh tampak seperti kawasan kumuh. Jalan-jalannya gelap dan sempit. Bagian yang beraspal dan sering dilalui motor, berlubang-lubang. Bangunan tempat tinggal dua sampai tiga tingkat, berselang seling dengan warung bahan makanan. Lapisan dindingnya mulai rontok. Gedung-gedung itu tampak seperti bangunan sementara.
Diskriminasi bagi Pengungsi
Ain El Helweh adalah kamp pengungsi Palestina terbesar di Libanon. Sekitar 40.000 orang hidup di sini, berdesakan di kamar-kamar sempit. Kamp itu terletak di dekat Sidon, Libanon selatan, dan selama berpuluh tahun terakhir tumbuh bersama-sama kota tersebut. Riham Ali lahir di kamp ini.
"Tidak ada yang bagus di sini. Bagi saya ini neraka. Tidak ada jalan sungguhan, semua sempit dan lembab. Aliran listrik dan air sering putus. Lalu di jalan masuk ada tentara Libanon. Saya sering bertengkar dengan mereka karena mereka mau memeriksa saya dan meminta kartu identitas“, kata Riham.
Seperti kebanyakan penduduk Ain El Helweh, Riham keturunan warga Palestina yang harus meninggalkan tanah air mereka tahun 1948, setelah didirikannya negara Israel. Kakek dan nenek Riham berasal dari Safad, kota yang kini berada di wilayah utara Israel. Perempuan 21 tahun itu bertekad bulat, suatu hari kelak ia harus kembali ke sana.
Mimpi yang diwariskan
Pulang ke tanah asal leluhur ibarat mimpi yang dwariskankan dari orang tua kepada anak-anaknya. Mimpi yang membantu para pengungsi dalam menjalani kehidupan di pinggir terluar masyarakat Libanon.
Perempuan muda itu sudah lulus dari sekolah kejuruan tata buku dan sebentar lagi menamatkan pendidikan kejuruan sebagai aisisten insinyur. Tetapi ia hampir tak punya harapan akan dapat pekerjaan.
Ia mengatakan, "Masa depan saya suram. Kami belajar dan belajar, tapi tanpa hasil. Tidak ada yang mau mempekerjakan saya, karena saya orang Palestina. Karena saya sudah lulus tapi tidak dapat kerja, jadi saya sekolah lagi dan menempel ijasah saya di dinding. Tapi suatu saat saya pasti frustasi.“
Bagi pengungsi Palestina di Libanon berlaku aturan khusus. Banyak pekerjaan yang tidak bisa mereka lakukan di luar kamp. Mereka juga tak boleh punya kepemilikan di luar kamp.
Diskriminasi secara hukum ini ditetapkan para politisi Libanon agar para pengungsi tidak menetap seterusnya di negara itu. Besar ketakutan bahwa muslim Palestina yang kebanyakan Sunni, dapat mengubah komposisi di Libanon.
Rencana pemerintah otoritas Palestina untuk memohon pengakuan dari PPBB sebagai negara merdeka dengan garis batas dari tahun 1967, dicermati pengungsi Libanon dengan perasaan campur aduk.
Lebih tua, lebih skeptis
Banyak kaum muda seperti Riham Ali berharap, proklamasi negara baru akan memperbaiki situasi kehidupan mereka. Sebagai warga negara Palestina, mungkin mereka juga akan menikmati status yang sama seperti warga negara-negara Arab lainnya.
Banyak wakil dari generasi yang lebih tua, lebih skeptis. Mereka sudah kehilangan kepercayaan kepada politik. Termasuk Abu Salih. Pria 88 tahun ini harus meninggalkan desanya di dekat Akko, saat ia berusia 25 tahun.
Ia mengatakan, "Saya tak punya harapan untuk kembali. Anak-anak saya masih berharap. Mereka lahir di sini dan tidak tahu apa-apa tentang Palestina, tapi mereka akan mengorbankan segalanya untuk hidup di sana. Sebuah negara Palestina yang merdeka tidak akan bermanfaat apa-apa bagi para pengsungsi tua."
Para pengungsi inilah yang menanggung kekalahan terbesar dari kesepakatan damai Palestina-Israel tahun 1993 dalam perjanjian Oslo dan pembentukan pemerintah otonomi Palestina. Perundingan tentang masa depan mereka tidak dimasukkan. Perundingan berikutnya gagal.
Sampai saat ini tidak jelas, apa akibat dari pengakuan sebuah negara Palestina, yang terdiri dari Tepi Barat dan Jalur Gaza, bagi para pengungsi yang berasal dari luar dua wilayah itu.
"Diskusi di kalangan rakyat Palestina, akademisi dan media, tentang dampak hukum rencana ini belum sungguh-sungguh dimulai. Jika negara Palestina yang baru mengeluarkan paspor, apa akibatnya bagi kami para pengungsi dari tahun 1948? Apakah kami kehilangan status pengungsi dan tidak boleh kembali ke desa yang harus kami tinggalkan 63 tahun lalu? Bagaimana sikap Libanon? Masih banyak pertanyaan terbuka" , kata Jabar Sleiman.
Pulang ke tempat asal
Pria 66 tahun ini berasal dari desa di selatan Jaffa dan sejak puluhan tahun tinggal di Sidon, Libanon. Ia ikut mendirikan organisasi "Aidoun", artinya pulang kembali, yang berjuang bagi hak-hak pengungsi di Libanon. Komitmen agar pengungsi bisa kembali ke tanah asal mereka tetap merupakan prioritas baginya.
Ia mengatakan, "Bagi kami tetap, langkah pertama dan paling penting adalah agar Israel mengakui hak kami untuk kembali. Usaha kami terfokus di situ. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan tekad politik dunia internasional. Kami bersandar pada resolusi PBB nomor 194 yang menjamin ganti rugi dan pengembalian semua hak milik kepada kami para pengungsi yang kembali. Hukum internasional juga ada di pihak kami."
Kembali ke desa asal, bukan ke tempat lain, tandasnya.
Mona Naggar/ Renata Permadi
Editor: Hendra Pasuhuk