Pengungsi Bosnia yang Terlupakan
16 Mei 2012Ajsa Hukic sudah terbiasa hidup sendirian. Tidak banyak orang yang datang berkunjung ke Drafinci, satu kawasan kecil di timur laut Bosnia. Di sini terutama tinggal perempuan lanjut usia – dan mereka tidaklah secara sukarela memilih tempat in. Ajsa Hukic dan tetangganya merupakan pengungsi perang. Suami dan anak mereka tewas dalam konflik Balkan. Jika ada yang berkunjung, Ajsa Hukic selalu menyuguhi tamu dengan kopi tradisonal Bosnia: pekat dengan gula. Menurutnya, kopi ini baik untuk jantung.
Ajsa Hukic merasa beruntung, dalam usia 73 tahun masih mampu beraktifitas. Ia berasal dari Sase, satu desa dekat Srebrenica. Di desanya ia hidup sebagai orang tua tunggal dengan lima putra dan seorang putri. Tahun 1992, saat pasukan Serbia yang dipimpin Ratko Mladic berusaha untuk merebut wilayah timur Bosnia dan untuk mengusir warga Muslim, desa kecil Sase berubah menjadi medan pertempuran. Kelima putranya tewas dalam waktu dua bulan dalam pertempuran sekitar Srebrenica. “Tidak ada siang dan malam yang saya lewatkan tanpa menangisi putra-putra saya. Mereka begitu baik. Sekarang mereka semua pergi,” dikatakan Ajsa dengan air mata di matanya.
Tidak Ada Belas Kasihan dan Pengampunan
Pada bulan Juli 1995, pasukan Mladic menguasai Srebrenica dan membantai sekitar 8.000 pria dan anak lelaki Muslim. Bersama putrinya Hajra dan cucunya Fuad, Ajsa tiba di kamp pengungsi. Setelah 17 tahun, Ajsa dan putrinya masih tinggal di sini.
Fuad kini telah tumbuh dewasa dan Hajra memiliki pekerjaan di toko roti dekat kamp. Hajra tidak dapat melupakan masa lalunya. “Saya tidak akan pernah melupakan saudara saya. Saya tidak akan pernah lupa, apa yang telah terjadi. Masa muda saya dirampas,“ dikatakan Hajra yang kini berusia 40 tahun.
Ampunan bagi Ratko Mladic tidak bisa diberikan Hajra. “Pengadilan Den Haag seharusnya tidak memberikan dia seorang pengacara. Dia harus menerima hukuman terberat. (Persidangan) harus terbuka sehingga semua tahu agar semuanya berakhir,“ dikatakannya.
Pengungsi Diterlantarkan
Tinggal di kamp pengungsi merupakan hidup sementara yang berkepanjangan. Daerah ini tidak memiliki jalan beraspal dan tidak ada air yang mengalir. Namun ibu dan anak ini tidak berniat untuk kembali ke desa mereka dekat Srebrenica. “Tidak ada yang tersisa yang membuat kami ingin pulang,“ dikatakan Ajsa, dan dengan perasaaan pahit menambahkan, “Saya tidak lagi sebodoh dulu untuk kembali ke sana, di mana orang Serbia berada. Lebih baik saya langsung terjun ke sungai!“ Hajra, mengangguk mengiyakan ibunya.
Tidak terdapat pekerjaan di kamp pengungsi – hampir tidak ada prospek bagi masa depan di sini. Di negara dengan angka pengangguran mencapai 43 persen, setiap orang lebih mengurusi kehidupan mereka sendiri. Hampir tidak ada lagi yang memperhatikan para pengungsi.
Berbakti pada Bosnia
Tidak mengherankan bahwa anak Hajra, Fuad, pergi meninggalkan kamp pengungsi. Pemuda berusia 20 tahun ini sekarang tinggal di Sarajevo. Fuad berusia tiga setengah tahun saat ia menumpang bis meninggalkan kampung halamannya. “Saya tidak mengingat banyak. Tapi saya masih ingat, waktu itu saya berhenti bicara,“ kenang Fuad. “Saya duduk di bis bersama ibu saya. Ketika seorang pria naik, saya bertanya siapa dia. Dan ibu berkata: ‘Diam! Kalau tidak orang akan menyembelih kamu!' Setelah itu, selama tiga tahun saya tidak mengatakan satu katapun.“
Fuad kuliah teologi Islam dan ingin menjadi Hafiz. Berbeda dengan ibu dan neneknya, setelah menampatkan kuliah dan menjadi Imam, Fuad berniat untuk kembali ke tempat di mana Ratko Maldic berusaha untuk mengenyahkan keluarganya – kembali ke Srebrenica.”Insya Allah mimpi saya dapat menjadi kenyataan. Dan saya akan bekerja di kota kelahiran saya, di Srebrenica. Saya merupakan bagiannya, saya berasal dari sana, di sana tinggal orang-orang saya,“ dikatakan Fuad dengan senyum penuh harapan. Ia ingin memberikan sesuatu kepada warga Muslim Bosnia. Dan baginya merupakan satu kesempatan untuk menunjukkan bahwa rencana Ratko Mladic untuk “membersihkan etnis“ telah gagal.