Pengungsi Bencana Iklim
29 Januari 2013Kekeringan, banjir, badai. Semakin banyak warga yang melarikan diri dari dampak perubahan iklim. Di kamp pengungsi Kenya diperkirakan ada sekitar 200.000 pengungsi iklim asal Somalia. Tidak hanya perang yang memaksa mereka pergi melewati perbatasan, tapi juga kekeringan dan kelaparan. Banyak keluarga yang kini menetap di kamp pengungsi, sebelumnya hidup secara nomaden. Namun, hewan yang menjamin pangan bagi mereka juga mati kelaparan. Tidak ada perspektif yang lebih baik, karena dunia internasional hingga kini tidak berhasil mengeluarkan konsep bagi para pengungsi iklim.
Negara barat turut menanggung tanggung jawab moral atas derita ini. Pakar urusan hukum negara Walter Kälin dari Swiss yakin akan hal itu. Bagaimana pun juga negara-negara Eropa lah yang beperan dalam perubahan iklim lewat emisi CO2-nya. Prognosa pesimis badan urusan pengungsi PBB (UNHCR) memperkirakan, tahun 2050 sekitar 150 juta orang akan menjadi pengungsi sebagai dampak dari perubahan iklim global.
Tidak Diakui Sebagai Pengungsi
Akhir Januari Kälin menjadi tamu di konferensi internasional pengungsi iklim di Berlin. Tujuan pertemuan tersebut adalah tukar informasi antar negara yang terkena dampaknya dan menetapkan peraturan penanganan pengungsi iklim. Walter Kälin menganggapnya sebagai hal yang penting. "Banyak negara yang menentang kesepakatan resmi masalah pengungsi." Khususnya, negara yang menjadi tujuan pengungsi khawatir harus menerima lebih banyak pengungsi lagi.
Saat ini, pengungsi iklim tidak berdaya. Sementara pengungsi politik memiliki mekanisme perlindungan resmi, pengungsi karena bencana lingkungan dan iklim hanya memiliki instrumen terbatas. Bagi korban ini hal yang fatal. Tidak jelas apakah negara tetangga wajib menerima pengungsi, dan dukungan apa yang menjadi hak para pengungsi.
Mengembangkan Strategi Pas
Pada konferensi iklim PBB di Durban Afrika Selatan 2011 lalu, negara anggota memutuskan untuk mendirikan "dana iklim hijau". Dana dimulai dengan modal awal 30 milyar Euro. Kini pendanaan dinaikkan menjadi 100 milyar Euro per tahun hingga 2020.
Wakil direktur lembaga HAM Jerman Michael Windfuhr juga menegaskan pentingnya strategi penyesuaian kepada Deutsche Welle. Di Belanda misalnya, adalah hal yang lumrah mengembangkan skenario penanganan warga yang karena meningkatnya permukaan air harus kehilangan tempat tinggal mereka. Pemerintah di negara-negara selatan juga harus memikirkan dampak perubahan iklim bagi warganya.
Aktif di Lokasi
Misalnya di Uganda. Karena suhu yang terus meningkat, perkebunan kopi para petani semakin sulit panen. "Jika Uganda tidak mengurus masalah ini, suatu saat mereka semua akan menjadi pengungsi", demikian spekulasi Windfuhr. "Jika menangani masalah ini dengan sumber nasional dan internasional, maka ini kemungkinan tidak akan terjadi."
Windfuhr antara lain menuntut pertanggungjawaban sendiri negara yang khususnya terancam perubahan iklim. Ini termasuk kelompok penduduk yang miskin dan marjinal yang menderita karena bencana iklim. Mereka harus mendapat bantuan dan dukungan dari pemerintah negaranya.
Namun, ini tidak berarti negara barat bebas dari pertanggungjawaban. Di Uganda bahkan masih belum ada badan metereologi yang bisa memantau perubahan iklim dan turut bereaksi. Tanpa bantuan dana dari negara-negara industri, sulit untuk bisa menangani masalah pengungsi iklim.