Kesengsaraan Kehidupan Migran di Arab Saudi
24 Juni 2022Abdela Mohammed menghabiskan 13 bulan "tak tertahankan" mendekam di pusat penahanan Arab Saudi yang penuh sesak sebelum dipulangkan kembali ke Ethiopia pada Mei. Dia dikurung di sel bersama sekitar 200 orang lainnya. Para tahanan tidur di lantai tanpa alas dan hampir tidak diberi makan untuk bertahan hidup.
"Tidak ada cukup makanan," kata Abdela tentang pengalamannya di Pusat Penahanan Shmeisi, sebelah timur Jeddah. "Kami hanya sarapan dan nasi yang kami dapatkan bahkan tidak cukup untuk satu suap."
Abdela menyebut para tahanan yang sakit juga tidak mendapatkan perawatan medis. "Ketika kami mengetuk pintu untuk memberi tahu mereka bahwa seseorang sakit, mereka memanggil kami 'anjing' dan menyuruh kami untuk 'membiarkannya mati'," kenang Abdela dalam sebuah wawancara telepon dari kampung halamannya di wilayah selatan Ethiopia, tempat dia tinggal dengan keluarganya sejak dia kembali.
Diabaikan oleh Ethiopia
Dia dan tahanan lainnya menelepon kedutaan besar Etiopia dari penjara, tetapi mereka "tidak membantu kami," Ungkap Abdela. "Suatu hari seorang pegawai kedutaan, yang menyaksikan kami dipukuli oleh polisi [dalam tahanan], berkata kepada kami: 'Biarkan mereka memukuli kalian'."
Tidak ada yang mengunjungi kami ketika kami memberi tahu mereka bahwa seseorang sakit. Ketika kami memberi tahu mereka tentang kematian seorang lelaki tua, mereka menolak untuk mengambil mayatnya dan menguburnya."
Abdela merasa tidak punya harapan untuk bisa keluar dari tahanan dalam keadaan hidup: "Saya pikir saya tidak akan pernah keluar dan menjadi manusia lagi." DW telah mencoba menghubungi kedutaan besar Ethiopia di Arab Saudi untuk diminati komentar tetapi sejauh ini tidak berhasil.
Tujuan populer bagi para migran
Solomon Belete menghabiskan lebih lama lagi di tahanan. Dia tidak ingin berbicara tentang 22 bulannya dikurung, selain mengatakan bahwa itu adalah pengalaman yang "mencekik".
Tetapi pria berusia 33 tahun itu dengan senang hati menceritakan mimpi yang mengirimnya ke Arab Saudi. Salah satu mimpinya untuk membangun rumah untuk keluarga sendiri dan juga unttuk orang tuanya, serta menabung untuk memulai bisnis di Ethiopia.
Setelah lukus dari universitas, meskipun telah bertahun-tahun berusaha mencarinya, ia tidak mendapatkan pekerjaan sebagai guru olahraga di negaranya. Jadi, ketika seorang teman yang tinggal di Arab Saudi mengatakan kepadanya bahwa akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pengemudi di Arab Saudi, Salomo mengambil kesempatan itu.
"Dia mengatakan kepada saya: Kamu akan hidup dengan nyaman mengendarai mobil orang kaya. Kamu berpendidikan baik. Tidak akan sulit bagi kamu untuk mendapatkan SIM'," kenang Solomon. Tetapi Salomo ditahan di bandara pada saat kedatangan dan langsung dibuang ke pusat deportasi.
Perjanjian deportasi
Solomon dan Abdela adalah dua dari sedikitnya 38.000 warga Ethiopia yang telah dideportasi dari Arab Saudi sejak 30 Maret 2022 ketika kesepakatan deportasi antara pemerintah kedua negara mulai berlaku. Sesuai perjanjian, masih lebih dari 100.000 migran Ethiopia yang saat ini ditahan di negara kaya minyak itu akan dipulangkan ke negara asalnya perjanjian.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menyebut Arab Saudi adalah tujuan populer bagi para migran Ethiopia dengan perkiraan 750.000 dari mereka tinggal di negara Timur Tengah.
Dari jumlah tersebut, sekitar 450.000 mungkin telah bermigrasi melalui "cara yang tidak lazim" dan akan membutuhkan bantuan untuk kembali ke tanah air mereka, kata IOM dalam sebuah pernyataan baru-baru ini.
Mendekam dalam tahanan
Dalam beberapa tahun terakhir, Arab Saudi telah melakukan penyisiran rutin terhadap pekerja yang tidak memiliki dokumen, menahan mereka yang ditangkap di pusat-pusat deportasi besar. Selama bertahun-tahun, organisasi hak asasi manusia telah mengkritik kondisi pusat-pusat ini.
Tahanan "dirantai berpasangan, dipaksa menggunakan lantai sel mereka sebagai toilet, dan dikurung 24 jam sehari di sel penuh sesak yang tak tertahankan," menurut investigasi Amnesty International tahun 2020 tentang perlakuan buruk terhadap tahanan Ethiopia di Timur Tengah.
"Perempuan hamil, bayi, dan anak kecil ditahan dalam kondisi mengerikan yang sama," temuan penyelidikan tersebut.
Dalam wawancara yang dilakukan pada tahun 2020, para tahanan mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa di sebuah pusat di Riyadh, sekitar 350 pria berbagi dua hingga lima toilet dan tidak memiliki akses memadai untuk membersihkan badan mereka.
Tahanan juga menceritakan bahwa mereka diserang dan dipukuli oleh penjaga, "terutama ketika mereka meminta perawatan medis atau mengeluh tentang kondisinya," organisasi hak asasi manusia melaporkan.
Perjalanan berbahaya menuju Arab Saudi
Sebelum perjalanan terakhirnya, Abdela Mohammed telah dua kali bekerja di Arab Saudi untuk mendapatkan uang guna menghidupi keluarganya. Itulah sebabnya dia memutuskan untuk melakukan perjalanan untuk ketiga kalinya pada tahun 2018. Ia membayar penyelundup 10.000 riyal (sekitar Rp. 39,5 juta) untuk membawanya dari kota pesisir Bosaso di Somalia melintasi selat Bab-el-Mandeb ke Yaman dan kemudian ke Arab Saudi.
Sebuah pertanda buruk muncul, perjalanan Abdela ketiga kalinya menjadi sebuah mimpi buruk. Empat orang tewas di kapal saat menuju Yaman karena panas, kata Abdela. Kemudian di perbatasan ke Arab Saudi, rombongan migran Ethiopia dihadang oleh penjaga.
Ketika dia akhirnya berhasil melewati perbatasan, dia mengambil pekerjaan sambilan, bekerja sebagai penggembala kambing, buruh harian dan operator buldoser. Ia menyebutkan kekerasan verbal yang diterimanya saat bekerja. "Mereka menyebut saya anjing dan keledai. Saya dihina saat bekerja." Kemudian dia ditangkap saat sedang bekerja di perkebunan mangga dan alpukat.
Kembali ke tanah air
Pemerintah Ethiopia telah mengeluarkan biaya sebesar 11 juta dolar AS (sekitar Rp. 1,63 tirilun) untuk membantu menyediakan makanan, akomodasi sementara, bantuan medis dan layanan konseling bagi mereka yang kembali.
Setelah lebih dari setahun dikurung di balik jeruji besi, Abdela mendarat di Ethiopia hanya dengan pakaian yang melekat di badannya. Dia diberi uang untuk naik bus pulang ke Alaba, sebuah kota kecil di daerah pedesaan di selatan Ethiopia.
Dia tidak punya rencana untuk kembali ke Arab Saudi lagi, kecuali mungkin untuk ibadah, kata Abdela, seorang Muslim taat.
Sementara Solomon Belete yang juga telah kembali merupakan salah satu dari mereka yang sangat membutuhkan bantuan. Dia kembali ke Ethiopia sebagai pria yang hancur dengan masalah kesehatan kronis yang timbul selama penahanannya yang lama. "Tubuh saya gemetar. Saya tidak bisa menjaga keseimbangan. Saya tidak pernah tidur nyenyak," katanya. (rs/yf)