Penempatan Pasukan PBB di Libanon
18 Agustus 2006Pasukan perdamaian PBB yang direncanakan berkekuatan 15,000 serdadu ditempatkan secepatnya. Secara internasional, hal ini memiliki arti penting. Begitu tajuk NRC Handelsblad yang terbit di Belanda mengomentari pengerahan personel pasukan perdamaian internasional di selatan Lebanon.
"Akankah pasukan ini meraih kesuksesan, dimana pendahulu UNIFIL telah mengalami kegagalan? Sejarahnya membuat skeptis, tapi itu bukan alasan untuk tidak mencobanya sekali lagi. Pilihan penyelesaikan konflik ini amat terbatas. Tidak ada skenario sukses. Ini mempersulit manuver diplomasi. Namun bila prakteknya sesuai dengan rencana, dimana pasukan helm biru sebagai pembawa misi damai komunitas internasional, maka tujuan gencatan sejata akan segera terwujud. Konsekuensinya belum bisa diperkirakan. Tanggung jawab yang timbul dari masalah itu bersifat kolosal.”
Harian Perancis Novelle République du Centre-Ouest, berkomentar:
"Tidak perlu diperdebatkan lagi penempatan pasukan di selatan Libanon, selama tentara Libanon tidak bisa mengambil alih perannya dan tidak mampu melucuti Hisbullah. Tuntutan negara-negara yang mengambil bagian dalam pengiriman pasukan merupakan dampak dari kekhawatiran, mereka dapat terjebak diantara pihak yang bertikai. Akan tetapi hal ini merupakan penugasan dari niat bahwa pasukan helm biru PBB hanya memainkan perannya yang remeh dan menjadi penonton, seperti saat penugasan di Bosnia. Hal ini membangkitkan ingatan Jacques Chirac dan ini menjelaskan mengapa ia bersikap keras mengenai tema ini."
Salzburger Nachrichten, menyebut krisis timur tengah ini sebagai perang para pecundang.
“Faktanya, perang ini membuka jalan bagi diplomasi. Hanya keputusan politik yang tegas yang bisa menghindari babak perang berikutnya antara Israel dan Hisbullah. Kuncinya terletak ditangan pemerintah Libanon. Keputusan Beirut untuk mengirimkan 15.000 pasukan ke bagian selatan negaranya, memang merupakan inti resolusi 1701. Tapi sekarang Beirut harus mengembalikan sesuatu yang telah dilalaikan selama bertahun-tahun, yaitu merebut kembali monopoli kekuatan serta menutup kemungkinan bahwa Hisbullah sebagai 'negara dalam negara'. Hal ini menentukan politik luar negeri Libanon."