Pemerintah Pakistan Akan 'Mengislamkan' Kurikulum Sekolah
27 Mei 2021Pemerintah Pakistan siap untuk menerapkan sistem pendidikan seragam di seluruh negeri. Namun, para kritikus mengkhawatirkan langkah itu dapat meningkatkan Islamisasi sekolah dan universitas.
Pelaksanaan tahap pertama melibatkan siswa sekolah dasar di kelas satu sampai kelas lima. Rencana tersebut mengamanatkan siswa untuk membaca seluruh Alquran dengan terjemahan, mempelajari doa-doa Islam dan menghafal sejumlah hadis.
Keputusan ini juga menetapkan bahwa setiap sekolah dan perguruan tinggi harus mempekerjakan Hafiz bersertifikat (penghafal Alquran) dan Qari (seorang yang mahir seni baca Alquran) untuk mengajar mata pelajaran ini.
Pihak-pihak yang mengkritik percaya bahwa langkah tersebut akan meningkatkan pengaruh ulama Islam, mempertajam garis sektarian dan sangat merusak tatanan sosial.
Bahasa Urdu, Inggris dan studi sosial telah sangat diislamkan, ujar Abdul Hameed Nayyar, seorang akademisi yang berbasis di Islamabad, kepada DW. Dia menambahkan bahwa siswa juga akan mempelajari Alquran 30 bab dan terjemahan seluruhnya pada tahap selanjutnya, selain buku tentang studi Islam.
Nayyar mengatakan bahwa berpikir kritis adalah prinsip dasar pengetahuan modern, tetapi pemerintah tampaknya mempromosikan ide-ide yang bertentangan dengan ini melalui silabus.
Tunduk pada kekuatan Islam
Sejak pembentukan Pakistan pada tahun 1947, ada aliansi antara negara dan konservatif Islam.
Islamisasi merayap secara bertahap selama tahun 1950-an dan 60-an, dan meningkat pesat pada tahun 1970-an, dan semakin meningkat pada tahun 80-an, di bawah kediktatoran Jenderal Zia-ul Haq.
Haq meluncurkan dorongan yang kuat untuk mengubah sifat liberal dari konstitusi. Dia juga memperkenalkan hukum Islam, mengislamkan kurikulum pendidikan, membuka ribuan lembaga pendidikan agama di seluruh negeri, menempatkan para Islamis ke dalam peradilan, birokrasi dan tentara, serta menciptakan lembaga yang dipimpin oleh ulama Islam untuk mengawasi urusan pemerintahan.
Pemerintah saat ini, di bawah Perdana Menteri Imran Khan, juga dianggap tunduk pada lembaga Islam.
Menimbulkan 'konsekuensi yang serius'
Pada 2018, partai Khan, yaitu Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI) berjanji untuk memperkenalkan sistem pendidikan yang seragam.
Banyak yang berharap kurikulum baru itu akan menekankan sains, seni, sastra, dan mata pelajaran kontemporer lainnya.
Namun, pada 2019 pemerintah Khan meluncurkan rencana yang sangat berfokus pada silabus Islam. Penerapannya ditunda selama pandemi virus corona, tetapi diperkirakan akan dimulai tahun ini.
Buku untuk siswa sekolah dasar telah diterbitkan, dengan konten Islami yang banyak ditampilkan dalam buku teks untuk bahasa Inggris, Urdu, studi sosial, dan mata pelajaran lainnya.
Pada tahap berikutnya, pemerintah bermaksud untuk memperkenalkan silabus baru yang didominasi Islam untuk siswa sekolah menengah dan mungkin untuk siswa sekolah menengah atas di kelas 11 dan 12.
Rubina Saigol, seorang pengajar yang tinggal di Lahore, mengatakan kepada DW bahwa "madrasifikasi" sekolah umum akan memiliki konsekuensi yang serius.
"Silabus tersebut kemungkinan besar akan menghasilkan siswa dengan pandangan global konservatif Islam, yang akan memandang perempuan sebagai jiwa yang patuh yang tidak pantas mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan," kata Saigol.
Lebih dari 30% konten Islami
Pervez Hoodbhoy, fisikawan nuklir yang berbasis di Islamabad, mengatakan kepada DW bahwa silabus baru dapat merusak sistem pendidikan Pakistan dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya.
"Perubahan sistemik yang tersembunyi di dalamnya jauh lebih dalam daripada yang disusun dan dijalankan oleh rezim ekstremis Jenderal Zia," kata Hoodbhoy. Analisis mendalam terhadap silabus menunjukkan bahwa "langkah itu akan memaksa lebih banyak pembelajaran hafalan materi agama di sekolah biasa daripada bahkan di madrasah," tambahnya.
Beberapa pihak menantang perubahan yang diusulkan itu ke pengadilan tertinggi negara.
Peter Jacob, seorang aktivis hak asasi manusia yang tinggal di Lahore, mengatakan kepada DW bahwa sekitar 30-40% konten mata pelajaran wajib bersifat religius.
"Banyak orang yang mendatangi pengadilan karena menganggap hal itu melanggar konstitusi," kata Jacob. Dia menambahkan bahwa anggota komunitas minoritas tidak setuju bahwa teks semacam itu harus menjadi mata pelajaran wajib.
'Kita harus belajar dari Bangladesh'
Bukan hanya akademisi liberal atau kelompok minoritas yang menyuarakan keprihatinan tentang islamisasi silabus sekolah. Bahkan beberapa sekutu pemerintah juga telah menyatakan keberatan.
Kishwar Zehra, seorang anggota parlemen dari Gerakan Muttehida Qaumi, yang merupakan bagian dari koalisi penguasa Khan, sangat menentang Islamisasi.
"Kita harus belajar dari Bangladesh, yang mempromosikan nilai-nilai sekuler," kata Zehra kepada DW, menegaskan bahwa dorongan saat ini untuk lebih mengislamkan silabus ditujukan untuk menenangkan kekuatan sayap kanan Islam.
Alih-alih meningkatkan konten agama, kata Zehra, pemerintah harus memasukkan prinsip-prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menurutnya sangat perlu diketahui oleh mahasiswa Pakistan.
Namun, pemerintah Pakistan sejauh ini menepis kritik-kritik tersebut.
Muhammad Bashir Khan, seorang anggota parlemen dari partai yang berkuasa, mengatakan Islamisasi silabus adalah langkah yang tepat.
"Pakistan adalah negara Islam ideologis dan kami membutuhkan pendidikan agama," katanya. "Saya merasa bahwa bahkan sekarang silabus kami belum sepenuhnya terislamisasi dan kami perlu melakukan lebih banyak Islamisasi silabus, mengajarkan lebih banyak konten religius untuk pelatihan moral dan ideologis warga negara kami."
Islamisasi kurikulum tidak terbatas di sekolah. Baru-baru ini, pemerintah di provinsi Punjab juga mewajibkan pengajaran Alquran dengan terjemahan wajib bagi semua mahasiswa.
Menurut pemerintah provinsi, siswa tidak akan diberikan gelar jika tidak belajar Alquran. (pkp/gtp)