Memindahkan ibu kota—Jakarta—bukan perkara gampang. Apalagi dengan niat mengembangkan kota baru seluas lebih dari 200 ribu hektar. Bakal didirikan di pulau yang menjadi paru-paru planet kita pula. Sejumlah soal muncul di ruang publik menyimak kecepatan pemerintah dalam menentukan lokasi, hitungan ongkos dan model pembiayaan, hingga desain. Meski kecepatan kerja membangun infrastruktur menjadi khas pemerintahan Joko Widodo, pindah ibu kota tentu tak semudah pindah rumah BTN.
Pemerintah dianggap kesusu karena mengabaikan proses dengar pendapat publik, debat parlemen, sepi konsultasi ahli perencanaan wilayah dan bangunan, ahli lingkungan, kajian tata negara; bahkan tak terdengar sayembara-sayembara yang seyogianya membuat pelibatan lebih banyak orang dalam rencana pemindahan ibu kota makin terlihat dan terasa. Sebanyak 180-an ribu aparatur sipil negara plus keluarganya yang bakal pindah pertama pun tak punya pilihan, kecuali: ikut atau pensiun dini.
Anggapan itu sangat mungkin benar. Pembicaraan resmi rencana pindah ibu kota berlangsung pada 29 April lalu. Hari itu, Presiden memimpin rapat terbatas dengan menteri-menterinya. Dari judul rapat kita boleh menebak bahwa ini bukan ide baru: Tindak Lanjut Rencana Pemidahan Ibu kota. Ada tiga alternatif yang ditawarkan Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan PerencanaanPembangunan Nasional(Bappenas), Bambang Brodjonegoro. Satu, mengubah peruntukan wilayah Istana Negara dan sekitaran Monumen Nasional (Monas). Kedua, memindahkan pusat pemerintahan (saja) ke lokasi dekat Jakarta. Usul kedua pernah ada pada masa pemerintahan Suharto, sehingga harga tanah di kawasan Jonggol yang disebut bakal pusat pemerintahan merangkak naik. Pemerintah Kota Bekasi—kota tetangga—sampai sempat merancang stadion olah raga yang megah di dekat Jonggol. Tawaran ketiga dari Menteri PPN adalah pindah ke luar Pulau Jawa.
Presiden Joko Widodo suka dengan usul ketiga. Pada masa lalu, Presiden Sukarno pernah menyebut bahwa Palangka Raya cocok menjadi ibu kota menggantikan Jakarta. Dan yang dimaksud luar Pulau Jawa, akhirnya memang di Kalimantan, tapi bukan Palangka Raya. Pada Senin lalu (26/8), pemirsa tahu bahwa sebagian wilayah kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, adalah kawasan yang telah dipilih. Kata ‘telah dipilih' penting digarisbawahi.
Ada tiga kekeliruan—bukan kesalahan—mendasar dalam rencana yang telah diumumkan tersebut.
Pertama, wacana pindah ibu kota tak pernah muncul dalam forum resmi. Misal, pada debat calon presiden 2019-2024 atau pada pidato-pidato Joko Widodo, baik sebagai presiden maupun calon presiden. Saat menyampaikan visi prioritas pembangunan Indonesia di depan pendukungnya di Sentul, 14 Juli, isu ini juga tak disinggung. Yang pernah usul memindahkan ibu kota saat masa kampanye justru capres Prabowo Subianto, 22 Februari. Di depan warga Tionghoa, Medan, Prabowo mengungkapkan perlunya ibu kota negara dipindah dari Jakarta dengan sejumlah alasan. Diantaranya sumber air bersih yang langka dan naiknya permukaan air laut tiap tahun. "Mungkin kita harus berpikir memindahkan ibu kota. Mungkin,” kata Prabowo.
Bila orang-orang terdekat Prabowo, seperti Wakil Ketua DPR Fadli Zon, dalam hari-hari belakangan mengkritik keputusan Presiden Joko Widodo, bisa kita anggap mereka hanya sedang menjalankan peran oposisi. Tapi, absennya wacana pindah ibu kota pada masa debat capres sungguh disayangkan. Betapapun, rencana ini menyangkut suatu keputusan besar. Demokrasi kerap mensyaratkan konsultasi publik dalam pengambilan-pengambilan keputusan.
Kedua, publik belum mendapat penjelasan memadai mengenai alasan pindah ibu kota. Sejumlah asumsi bisa saja muncul di kepala kita mengenai fakta di depan mata keadaan Jakarta, namun kajian yang memperkuat alasan perlulah dipaparkan. Ketika sejumlah moda transportasi publik baru diresmikan dan dibangun terus, publik menyangka bahwa ada rencana besar menata Jakarta sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan. Bukan dikosongkan.
Saya harus menyampaikan bahwa saya adalah salah seorang yang setuju ibu kota dipindahkan. Saya dapat mengira alasan-alasan betapa tidak memadainya lagi Jakarta sebagai pusat segala-gala. Namun, alasan lingkungan, kelayakan hidup, beban keuangan negara, dan sejenisnya perlu diungkapkan secara lebih memadai. Sebab, jangan-jangan masih ada alternatif lain mempertahankan Jakarta.
Ketiga, minim komunikasi politik dan konsultasi publik. Sebagai presiden yang dicitrakan dekat dengan rakyat, sederhana dalam berkomunikasi, Joko Widodo seperti enggan memancing polemik pro-kontra dengan bekerja diam-diam menyiapkan calon ibu kota baru. Betul ada ungkapan Jawa, sepi ing pamrih rame ing gawe, tak mau ribut-ribut yang penting menunjukan hasil kerja, tapi proyek migrasi jutaan orang ke tempat baru cerita lain.
Kerangka waktu yang disajikan pemerintah seperti sudah serba pasti. Paling cepat tahun 2023 atau selambatnya 2024, pegawai-pegawai pemerintah sudah mulai dipindahkan ke lokasi baru. Presiden seperti cemas bahwa penggantinya kelak akan meninjau ulang rencana sehingga waktu pemindahan dipilih pada masa akhir pemerintahannya. Tanpa perlu diikat dengan usul memiliki kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), kecemasan tersebut sebetulnya tak perlu bila proses komunikasi dan konsultasi dilakukan secara terbuka dan tak terburu-buru melemparkan kerangka waktu.
Seperti penetapan kembali Jakarta sebagai ibu kota pada 1964, melepas status Jakarta sebagai ibu kota negara perlu ditetapkan oleh undang-undang. Kapan pelepasan status dilakukan, di mana lokasi yang baru, dan mulai kapan lokasi baru itu ditetapkan sebagai ibu kota, harus dibahas bersama dengan parlemen. Dengan begitu, pengumuman Presiden pada 26 Agustus lalu harus dipandang sebagai usulan. Bila judul-judul media massa telanjur mengesankan sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara telah resmi sebagai lokasi baru, tidak terlalu salah. Namun, perlu dipahami bahwa pernyataan Presiden masih sebatas usulan.
Kita boleh menduga Presiden akan mengajukan rencana legislasi mengenai penetapan ibu kota baru pada periode sidang pertama DPR baru setelah dilantik Oktober kelak. Tapi kamera televisi harus dialihkan ke suasana ruang-ruang dengar pendapat publik. Ruang yang diisi oleh sejumlah ahli, peneliti dan perwakilan masyarakat sipil. Agar layar kita tak terus menerus menyaksikan truk-truk besar lalu lalang di jalan-jalan yang katanya menuju calon ibu kota baru. Lagipun belum tentu truk-truk besar itu benar mengangkut material bagi calon metropolitan di Borneo.
@Airlambang, bekas wartawan, penulis dan praktikus behaviour change & communicty engagement.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.