Pertemuanku Dengan Para Pengungsi di Jerman
25 Oktober 2019Musim gugur tahun 2015, kedatangan para pengungsi ke Jerman sering jadi bahan pembicaraan oleh semua kalangan di sekitarku. Berbagai kasus diperbincangkan oleh mereka yang seolah menjadi konsekuensi atau kena imbas para pengungsi yang menerima asylum. Entah urusan visa semakin diperketat atau para pengungsi yang kerap diberitakan berbuat onar di mana-mana. Tapi, sebuah kisah tidak bisa dicerna dengan bijak jika hanya melihat dari jauh.
Saat menempuh pendidikan bachelor di semester 4, aku yang sedang semangat-semangatnya kuliah memutuskan untuk mengambil modul semester 5, untungnya jurusanku yang unik itu memberi kebebasan bagi semua mahasiswa untuk bisa mengambil kelas dari semester berapapun. Modul yang kuambil adalah modul lanjutan berjudul Medien- und kulturwissenschaftliche Forschungsmethoden atau metode riset dengan perspektif media dan budaya. Hanya ada satu pilihan kelas di modul itu, beberapa dari kami banyak yang menunda ke semester berikutnya. Alasannya, kalau memang tidak suka dan tertarik, untuk apa dipelajari? Nggak apa-apa nunda. Sayang sekali kalau masuk hanya untuk dapat nilai supaya bisa lulus tanpa mempelajari dengan antusiasme. Awalnya, aku tidak mengerti apa yang akan kami pelajari secara konkret di kelas ini, tetapi lagi-lagi, begitu juga semua modul di jurusanku yang kadang terlalu abstrak.
Forschungsmethoden, riset? Sore itu kami duduk di ruang kelas yang tidak terlalu besar. Kelas berlangsung pukul 18:30-20:00, namun tidak disangka yang datang cukup banyak, bervariasi dari mahasiswa semester bawah dan atas di jurusanku.
Singkat cerita, kami sepakat mengorganisir acara untuk para pengungsi yang di tahun itu baru saja berdatangan. Di mana bagian penelitiannya? Ya, kelas ini dijadwalkan seminggu sekali selama satu semester, dari persiapan sampai proses acara berlangsung, itu penelitiannya. Dan tentunya disertai berbagai literatur dan teori tentang orientalisme, migrasi, subaltern, rasisme, penindasan ras (cultural oppression), dll sebagai landasan. Para mahasiswa di jurusanku memang kritis. Menanggapi kelas ini, ada yang bilang itu kejam, karena menjadikan tragedi sebagai bahan riset dan pengungsi sebagai objek. Ada juga yang skeptis dan tetap mengikuti kelas namun mengkritik di tiap rapat, atau seperti aku yang berusaha mengambil pandangan dari perspektif lain.
Di suatu Kamis, dosen kami menunjukkan sebuah film dokumenter tentang proses bagaimana para pengungsi itu bisa sampai di Jerman. Sungguh menyakitkan melihat seorang ayah dari Suriah harus melepas anak sulung dan anak bungsunya yang masih kecil untuk kabur ke negara tetangga, karena uang yang ada tidak cukup untuk perjalanan sekeluarga. Mereka menaiki sebuah mobil jeep bersama escapees dengan berbagai latar belakang; dari lansia sampai anak laki-laki yang terpaksa harus pergi sendiri. Tiap menit terdengar ledakan di mana-mana, bahkan sebelum mereka meninggalkan negara asal. Tidak sedikit yang meninggal sebelum sampai di Jerman, bahkan sebelum menginjak Turki.
Dalam kepanitiaan persiapan acara ini aku tergabung di tim desain, kami melakukan brainstorming yang cukup panjang karena para pengungsi ini tidak bisa bahasa Inggris maupun Jerman dan bahasa yang mereka gunakan pun berbeda-beda, bagaimana membuat poster yang efektif tanpa bahasa? Kami hanya bisa bermain dengan gambar dan warna, dengan bantuan dari penerjemah bahasa Arab dan Persia—yang pada tahun itu begitu susah ditemukan di sekeliling kami.
Kemudian aku bertugas survei tempat, lokasi tujuan sebenarnya agar kami tahu kondisi dan lokasi penjemputan di hari H, tapi di sana aku melihat lebih. Bukan citra pengungsi yang banyak diberitakan media, atau yang dihujat oleh orang-orang, atau yang membuat kerusuhan pada malam tahun baru 2015 di Köln. Aku melihat ruangan besar di Finanzamt, kantor pajak, yang telah disulap menjadi kamar tidur dengan mungkin lebih dari 40 kasur. Di tempat lain kondisi bisa lebih parah, kata seorang volunteer di pengungsian yang menemani kami, tidak ada yang berbahasa Jerman atau Inggris selain dia di sana.
Aku mulai berkeliling. Ya Tuhan, orang tua dan kedua anaknya hanya tidur di dua ranjang ukuran 90x200. Terlihat banyak cerita di ruangan itu. Anak-anak yang tertawa bermain, entah belum mengerti keadaan mereka atau justru ingin melupakan apa yang terjadi, bayi menangis, lansia dengan tatapan kosong, mereka yang duduk menyendiri. Pastinya, mayoritas dari mereka terlihat begitu cemas.
Banyak orang berkomentar pengungsi hanya memenuhi negara ini, katanya mereka sering berbuat onar, ada pula yang bilang pemerintah Jerman hanya merasa bersalah atas Perang Dunia II, ada juga yang menuduh bahwa ini hanya pencitraan Jerman di mata dunia. Mungkin ada benarnya perkataan dari pandangan ketiga ini, namun bisa juga salah.
Perbedaan budaya dan demografis mungkin memicu beberapa tingkah laku onar yang buat mereka dipandang sebelah mata di negara baru ini. Namun, salahkah jika ada orang mencari rasa aman? Saat di negara asalnya, di mana ledakan mungkin terjadi setiap sekian menit dan jika keluar rumah ada perasaan khawatir tidak akan bisa pulang lagi. Bukankah tiap individu perlu rasa aman?
Kurasa, tinggal di sebuah negara yang lebih maju menimbulkan harapan akan kehidupan yang lebih baik, setidaknya, itu lah yang aku rasakan. Kuanggap dengan tinggal di Jerman bisa memberiku pengalaman dan pendidikan yang mungkin tidak bisa didapatkan di Indonesia. Namun tetap ujian kerap datang dan hidup tidak selamanya mudah, apalagi jauh dari rumah. Pekerjaan, pendidikan dan well-being tidak semudah itu didapatkan. Begitu juga dengan para pengungsi yang mengajukan visa asylum. Karena kenyataannya, banyak dari mereka yang kesulitan mendapat pekerjaan, bahasa menjadi salah satu faktornya. Bahkan kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka bergantung pada dana dan donasi, dan menimbulkan rasa tidak aman. Bisakah kita membayangkan hidup penuh kekhawatiran setiap hari? Bahkan ketika sudah sampai di negara yang tidak ada ledakan di tiap menitnya.
Di hari H, kami bersosialisasi dan mencoba menyampaikan rencana acara yang kami organisir. Datang padaku sepasang kakek-nenek yang sudah sangat tua dan terlihat sakit bersama cucu mereka, Gordana. Mereka meminta izin apakah Gordana tetap boleh ikut tanpa pendamping—salah satu syarat yang kami berikan. Mereka tidak kuat untuk pergi keluar di musim gugur itu. Sejujurnya, aku jarang menyukai anak kecil, terutama yang tidak kukenal, apalagi harus momong dan menemaninya sepanjang malam? Tapi di situ, aku begitu sedih melihat si kakek dan nenek. Memang setiap datang ke pengungsian, berkali-kali aku menahan air mata dengan sendirinya. Aku akhirnya menyanggupi dan bilang aku akan menemani Gordana dan memastikan dia kembali ke Finanzamt.
Rasanya cukup aneh ketika aku harus menggandengnya sepanjang malam saat menuju ke universitas. Gordana anak yang manis, aku kurang tahu darimana negara asalnya, yang aku tahu dia bicara bahasa Serbia. Kami terus berusaha mengobrol, sempat kami menyerah karena hanya berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan akhirnya dengan bantuan aplikasi penerjemah. Aku duduk di sebelahnya sepanjang malam sambil tersenyum sendiri, ia terlihat begitu senang, ia tertawa sembari memakan popcorn di tangannya. Sedih rasanya jika harus menerka bagaimana perjalanannya hingga sampai ke Jerman. Apakah orang tuanya tidak ikut? Atau berada di pengungsian lain? Tak ku sangka berada sedekat ini buat bulu kudukku merinding seolah aku merasakan apa yang telah dia lalui. Gordana memang hanya anak kecil, dia mungkin belum mengerti kekhawatiran orang-orang dewasa di sekitarnya, di tempat penampungan, tapi apa yang sejauh ini ditempuhnya mungkin tidak sebanding dengan keluhanku sehari-hari.
Yang sedih, ketika aku menyampaikan bahwa aku harus pulang, Gordana bilang aku tidak boleh pulang, dia tidak mau aku pergi. Aku mencoba jelaskan bahwa tidak ada trem ke arah rumahku jika makin larut. Dia hanya cemberut sambil menyilangkan tangan. Aku mencoba membujuknya dan mengajaknya keluar Hörsaal yang telah kami sulap menjadi bioskop. Aku menemaninya ke WC dan dia baru menyadari topinya hilang. Dia semakin terlihat sedih. Aku berkata padanya pelan-pelan, aku akan berikan topi dan syal yang cantik untuknya saat aku mengunjunginya di pengungsian nanti. Di situ Gordana tersenyum, "promise?” dan aku mengangguk, "ya, aku pasti akan kunjungi kamu nanti ya. Sekarang aku pulang dulu, nanti kita ketemu lagi.” Seorang teman yang akan menggantikanku menemani Gordana sudah berdiri di sebelah kami. Gordana memelukku begitu erat dan bersikeras mengantarku sampai ke pintu gedung. Ia memelukku sekali lagi, "you promise?”
Setelah hari itu, aku kembali ke rutinitas kuliah dan bekerja. Seperti biasanya, aku tidak punya banyak waktu luang. Tidak lama, tempat pengungsian di Finanzamt telah dipindah dan aku kesulitan untuk menemui Gordana. Aku merasa sedih, karena tidak bisa menepati janjiku padanya. Kini hampir empat tahun pengalaman itu telah berlalu, dan aku masih bisa mengingatnya dengan jelas sampai detik ini. Aku merasa bersyukur bisa belajar sedekat itu, tidak semata-mata karena pengalaman ini mengubah pandanganku terhadap hidup, bagaimana memandang orang bukan dari ras atau latar belakang hidupnya, tapi sebagai manusia. Kita semua pasti pernah mengalami hari-hari berat, kita tidak tahu apa yang telah dilalui seseorang. Yang aku tahu, kita semua hanya ingin bertahan hidup.
*Caesarianda Kusumawati, 25 tahun, tinggal di Düsseldorf. Setelah menyelesaikan studi di Heinrich-Heine-Universität Düsseldorf di bidang Medien- und Kulturwissenschaft (Ilmu Media dan Budaya), sekarang melanjutkan studi master di Universitas Bonn, jurusan Transkulturelle Studien/Kulturanthropologie (Studi Transkultural dan Antropologi Budaya)
**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di luar negeri. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: [email protected]. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.