Pekerja Seks Dolly Ingin Solusi Permanen
24 Juni 2014Dolly – yang dipercaya diambil dari nama seorang germo pada masa kolonial Belanda – seharusnya ditutup pada 18 Juni, namun daya tarik utama, perempuan muda dengan rok mini ketat dan hak tinggi terus memikat para tamu ke kamar yang hanya diterangi lampu merah dan jambon.
Para mucikari tidak berusaha sembunyi-sembunyi saat berdiri di luar, dan menyapa calon pelanggan. Ketika seorang pekerja seks mendapati seorang wartawan lewat, ia berlari keluar dengan tangan terkepal ke atas sambil berteriak ”Dolly akan tetap buka!“
Walikota Surabaya Tri Rismaharini telah bersumpah menutup wilayah ini, dan pemerintah menawarkan Rp 5 juta bagi masing-masing pekerja seks yang diperkirakan jumlahnya mencapai 1.500 orang, untuk keluar dari industri seks.
Tri Rismaharini memberi keringanan bagi para perempuan pekerja seks saat mereka keluar kelak, dengan memberi mereka kesempatan hingga Senin mendatang untuk mengumpulkan uang. Ia tidak berusaha menggunakan paksaan namun walikota Surabaya itu mengatakan dia ingin seluruh kompleks itu ditutup pada akhir bulan Ramadhan, akhir Juli mendatang.
Kompensasi terlalu kecil
Namun para pekerja seks, mucikari dan para pemilik bisnis di sekitar Dolly telah melancarkan protes, menyatakan kompensasi yang ditawarkan pemerintah terlalu kecil, jauh dari kebutuhan hidup mereka.
“Pemerintah tidak perduli dengan kami,” kata Suyatmi, 43, seorang pekerja seks. “Kami butuh solusi yang lebih permanen, Mereka tidak bisa menyelesaikan masalah prostitusi dengan membagi-bagikan uang kepada para pekerja seks.”
Jaringan prostitusi beroperasi secara terbuka di hampir semua kota-kota besar Indonesia meski mendapat tentangan dari kelompok konservatif Islam, yang beberapa diantaranya ingin menerapkan syariat Islam di negara berpenduduk Muslim terbesar dunia tersebut.
Tri Rismaharini, walikota perempuan pertama Surabaya, telah berjanji akan menutup semua rumah bordil di kota nomor dua terbesar Indonesia tersebut.
ab/hp (afp,ap,rtr)