Pekerja Migran Perempuan di Timur Tengah Kerap Alami Pelecehan
4 Desember 2012Sebut saja perempuan muda ini Almaz. Ia berusia 23 tahun. Dia meninggalkan kampung halamannya dengan harapan akan hidup yang lebih baik. Almaz berasal dari Ethiopia. Sejak sepuluh bulan ia bekerja di Dubai. Ia tidak mau menyebutkan nama aslinya.
Seperti banyak perempuan muda lain, Almaz tidak mendapat pekerjaan di Ethiopia. Kalaupun ada pekerjaan, bayarannya terlalu rendah, sehingga tidak cukup untuk menghidupinya. ”Saya memulai pendidikan sebagai juru masak. Setelah membayar setengah biaya pendidikan, saya tidak punya uang lagi. Saya harus membayar sewa rumah, makan, dan sekolah saya. Bagaimana saya bisa hidup dari 400 Birr”, demikian cerita Almaz. Birr adalah mata uang Ethiopia. 400 Birr sekitar 200.000 Rupiah.
Dalam kondisi itu, muncul tawaran yang menarik bagi Almaz untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Dubai: Dia bisa mendapat gaji sampai 170 Dollar, atau sekitar 1,6 juta Rupiah. Almaz gembira mendapat tawaran itu. Dia menandatangani kontrak kerja untuk dua tahun dan tidak peduli dengan cerita-cerita negatif tentang kondisi kerja di Dubai. Karena ada beberapa perempuan yang memang berhasil. Setidaknya mereka bisa mengirim uang ke rumahnya. Keluarga di rumah melihat itu sebagai bukti keberhasilan.
Bekerja Seperti Budak
Keluarga di tanah air biasanya tidak banyak tahu tentang kondisi buruk dan tidak manusiawi yang dialami para perempuan di Dubai untuk mencari uang. Pengalaman yang dialami Almaz di sana tidak jauh berbeda dengan pengalaman rekan-rekannya. Lewat telepon ia menceritakan kepada DW apa yang dialaminya sehari-hari: kekerasan, pelecehan seksual, kondisi tidak manusiawi.
Almaz harus bekerja sampai 20 jam sehari. Kalau di rumah majikan tidak banyak pekerjaan, dia dikirim ke rumah saudara majikannya, supaya Almaz mencuci dan memasak di sana. ”Saya seharusnya tidak datang ke sini”, kata Almaz. Tapi perempuan muda ini tidak bisa kembali ke Etiopia. Ketika tiba di Dubai, paspornya diambil.
Tidak Ada Perlindungan
Apa yang dialami Almaz, adalah keseharian yang pahit bagi ratusan ribu perempuan muda di Timur Tengah. Di Libanon saja, yang berpenduduk 4 juta orang, ada 200.000 pembantu rumah tangga asing. Di Saudi Arabia jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Sebenarnya, negara penerima bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak pembantu rumah tangga, tandas Nadim Houry. Ia adalah wakil ketua organisasi Human Rights Watch di Beirut, yang memantau situasi di Timur Tengah dan Afrika Utara.
”Jika ada penyalahgunaan, maka harus diusut oleh pengadian dan polisi di negara penerima.” Tapi kenyataannya lain. Sekalipun negara seperti Yordania dan Libanon punya undang-undang perlindungan pembantu rumah tangga asing, dalam prakteknya ini tidak diterapkan, kritik Nadim Houry.
”Di urutan kedua, negara pengirim yang bertanggung jawab untuk keamanan para perempuan”, sambung Houry. Ia memuji Filipina sebagai contoh yang baik. Kedutaan Besar Filipina punya nomor telepon darurat untuk perempuan yang ingin menyampaikan pengaduan. Kalau perlu, bagi mereka disediakan tempat tinggal darurat. Tapi ini adalah kekecualian. Kedutaan Besar Ethiopia di Arab Saudi tidak bereaksi atas telepon dan surat Deutsche Welle.
Pelecehan Seksual
Almaz merasa ditinggalkan sendiri dalam perjuangannya. Ia menceritakan pengalamannya: ”Waktu saya bekerja, datang seorang lelaki, yang bekerja di sana sebagai sopir, dan dia melakukan pelecehan seksual. Saya berlalu ke kamar majikan dan mengunci pintu, lalu berteriak.” Insiden itu tidak punya konsekuensi bagi sang lelaki. Ini bukan satu kasus saja. Ada rekannya yang diperkosa oleh majikan lelaki. Dia mengancam tidak membayar gaji, jika rekannya menolak.
Almaz mengatakan, satu-satunya jalan keluar baginya adalah menunggu dan bertahan. Kontraknya di Dubai akan berakhir 14 bulan lagi. Dia berharap bisa mendapat kembali paspornya dan pulang ke Ethiopia.