Porträt Gbowee
7 Oktober 2011Leymah Gbowee baru berusia 17 tahun ketika pecah perang saudara di Liberia pada tahun 1989. Ia baru saja lulus sekolah menengah ketika Charles Taylor menggulingkan presiden Liberia waktu itu, Samuel Doe. Dunia serasa runtuh, demikian yang terpikir oleh seorang gadis yang bercita-cita menjadi dokter itu. Sejak itu banyak hal yang terjadi, baik di Liberia maupun dalam kehidupan Leymah Gbowee.
Berjuang demi Perdamaian
Ketika Charles Taylor menjadi presiden Liberia tahun 1997 dan konflik brutal di negara itu terus meruncing, Gbowee bertekad untuk berjuang demi perdamaian di Liberia, bersama dengan kaum perempuan di negaranya.
Wanita muda yang sebelumnya bekerja sebagai pembimbing anak-anak dan pengungsi perang saudara yang menderita trauma, cepat mendapatkan pendukung dalam mencapai cita-citanya, baik dari kalangan Kristen maupun Islam. Mereka bertemu dalam berbagai rapat dan menggelar demonstrasi damai.
Ketika mengadakan unjuk rasa, para perempuan itu mengenakan kaus putih, sebagai lambang perdamaian. "Sepasukan perempuan berbaju putih yang angkat suara, di mana yang lain tidak berani," ungkap Gbowee dalam otobiografinya. "Kami tidak takut, karena hal terburuk yang dibayangkan, sudah lewat." Banyak warga Liberia yakin, perang saudara bisa saja berlanjut hingga sekarang, jika "Perempuan Berbaju Putih" tidak muncul.
Politik Puasa Seks
Pada tahun 2002, Gbowee membentuk gerakan Women of Liberia Mass Action for Peace, gerakan perempuan Liberia untuk perdamaian. Salah satu aksi kontroversialnya adalah "aksi mogok seks". Aksi para perempuan berpuasa seks agar pasangannya ikut tergerak dalam politik damai. Pada tahun 2004 Gbowee mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Liberia, meniru Afrika Selatan untuk menciptakan dialog dan stabilitas. Dua tahun kemudian, ia ditunjuk menjadi penasihat Women Peace and Security Network Africa di Accra, Ghana. Saat ini Leymah Gbowee memimpin organisasi yang berpusat di Ghana tersebut.
Katrin Ogunsade/Luky Setyarini
Editor: Christa Saloh