Pariwisata dan Wajah Buram Indonesia
6 Maret 2013
Bagi Indonesia, pariwisata memberi kontribusi signifikan. Pemasukan dari sektor ini mengalahkan nilai ekspor pakaian jadi, barang elektronik, tekstil dan kertas.
Setiap tahun jumlah turis asing yang datang ke Indonesia terus bertambah. 2012 jumlahnya mencapai 8 juta, naik dari 7,6 juta wisatawan pada tahun 2011. Tahun ini, Indonesia menetapkan target ambisius untuk memikat 9 juta turis.
Tapi pameran pariwisata ITB Berlin tak hanya menampilkan wajah Indonesia yang indah. Sebelum malam pembukaan, Watch Indonesia, sebuah LSM Jerman menggelar poster di depan pintu masuk pameran ITB. Gambar Indonesia yang hijau dan sering dipakai kampanye pariwisata, disandingkan dengan hutan-hutan yang mulai gundul.
"Di sini (ITB-red) kita melihat Indonesia yang menjual keindahan alam, hutan tropis yang masih utuh dan menjadi tempat tinggal orang utan. Padahal faktanya, itu hanyalah sebagian kecil yang masih tersisa, sebab banyak hutan telah ditebang habis dan orang utan tak bisa lagi tinggal di sana," kata Koordinator Watch Indonesia Alex Flor kepada Deutsche Welle.
"Yang dijual di pameran ini adalah sebuah taman safari yang luasnya terbatas. Orang barat harus tahu, ada banyak hal yang sudah berubah di Indonesia," kata Flor.
Indonesia dipandang sebagai salah satu negara yang paling memiliki keanekaragaman hayati di dunia. Ironisnya, negara dengan percepatan kerusakan lingkungan dan laju deforestasi tertinggi di dunia, terjadi di Indonesia. Pemerintah Indonesia mencatat hingga 2006, setiap tahun lebih 1 juta hektar hutan berkurang akibat penebangan liar, perluasan perkebunan sawit dan penambangan di wilayah hutan lindung. Terakhir angka itu turun menjadi 500 ribu hektar per tahun.
Indonesia Tidak Lagi Seperti Dulu
Tak hanya alam yang rusak, masyarakat juga mulai berubah. Syafiq Hasyim, Ketua Rois Syuriah atau Dewan Penasihat Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul Ulama di Jerman, sedang merampungkan studi doktoral tentang Islam Indonesia di Freie Universität Berlin. Ia cemas karena 10 tahun terakhir masyarakat Indonesia semakin tidak toleran, dibanding yang dulu sering dipandang oleh barat.
"Kalau satu atau dua tahun mendatang intoleransi tidak menurun, maka Indonesia tak layak lagi disebut negara toleran," kata Syafiq kepada DW. Ditambahkannya, "Publik Eropa dan dunia tidak bodoh, jika yang dijual dalam pameran ITB tidak sesuai kenyataan, maka jualan itu tidak akan ada nilainya."
Pekan lalu, organisasi HAM Human Rights Watch menyerukan agar masyarakat internasional berhenti memberi contoh Indonesia sebagai negara yang toleran dan membeberkan data terkait meningkatnya kekerasan sektarian di Indonesia.
Menyebut Indonesia sebagai negara toleran, tidak akan mendukung Indonesia untuk melakukan perubahan menangani masalah intoleransi, demikian Human Rights Watch.
Sebuah peristiwa sempat terjadi di depan mata DW, saat seorang pria berbadan tegap dengan rambut cepak menghampiri Alex Flor dengan nada mengancam: "Hati-hati, saya tahu siapa anda. Jangan macam-macam". Laki-laki berjas rapi itu kemudian pergi dan menghilang.
Tapi Alex Flor tak peduli. Ia berharap, ITB akan membuat dunia lebih melihat Indonesia. "Mudah-mudahan para turis yang datang menjalin kontak langsung dengan masyarakat Indonesia, agar mereka melihat langsung persoalan yang sedang terjadi," pungkas Koordinator LSM Watch Indonesia, Alex Flor.