Pakistan Berjibaku Cegah Bencana Susulan
5 September 2022Danau Manchar, yang menyimpan cadangan air terbesar di Pakistan, kini berstatus bahaya seiring muka air yang nyaris meluap. Minggu (4/9) kemarin, pemerintah melepas sejumlah besar air dengan harapan mecegah rusaknya dinding bendungan. Luapan air danau menggenangi kota-kota kecil di sekitar degan jumlah penduduk 100.000 orang. Hal ini dilakukan demi menyelamatkan kawasan pemukiman yang lebih luas.
Namun kedati begitu, ketinggian air di Danau Manchar dilaporkan masih berada dalam level berbahaya. "Muka air danau belum juga turun," kata Jam Khan Shoro, Menteri Irigasi di Provinsi Sindhi. Dia enggan memastika apakah pemerintah akan kembali melepas air dari danau.
Curah hujan ekstrem yang diperkuat oleh pencairan gletser di Pegunungan Karakorum meciptakan bencana banjir yang sejauh ini menewaskan 1.314 orang, termasuk 458 anak-anak, menurut Badan Penanggulangan Bencana Pakistan.
Bencana banjir menyusul kekeringan ekstrem dan gelombang panas yang sempat melanda Pakistan beberapa bulan silam. Pemeritah di Islamabad dan PBB meyakini eskalasi bencana terkait cuaca ekstrem merupakan dampak dari perubahan iklim.
Pada Senin, pesawat-pesawat milik Badan Pengungsi PBB (UNHCR) terus mendarat di kota Karachi, utuk membawa bahan bantuan bagi korban banjir. Provinsi Sindhi di selatan Pakistan menampung jumlah korban paling banyak dan menanggung kerugian terbesar.
"Banjir meninggalkan anak-anak dan keluarga menjadi rentan, tanpa akses kebutuhan pokok," kata Abdullah Fadil, perwakilan UNICEF di Pakistan.
Beban ekonomi
Bencana banjir menciptakan kerugian yang semakin membebani kas negara. Tanpanya, Pakistan sudah kewalahan menghadapi krisis ekonomi yang mengundang intervensi Badan Moneter Internasional (IMF).
PBB sejauh ini sudah mengumpulkan dana darurat sebesar USD 160 juta untuk membantu korban banjir. Bantuan untuk Pakistan didatangkan langsung dari negara-negara terdekat, antara lain Turkmenistan, Turki, Qatar dan Uni Emirat Arab. Dana bantuan PBB terutama digunakan untuk menyediakan bahan panga, air bersih, sanitasi dan layanan kesehatan bagi sekitar 5,2 juta penduduk
"Skala kebutuhan meningkat terus layakya air banjir. Ia membutuhkan perhatian kolektif dan terprioritaskan oleh dunia internasioal," kata Sekretaris Jendral PBB, Antonio Gutteres.
Menteri Keuangan Pakistan, Miftah Ismail, mengaku kerugian yang harus ditanggung jauh lebih besar. "Total nilai kerusakan yang terjadi mecapai USD 10 militar, bahkan mungkin lebih," kata dia kepada stasiun televisi AS, CNBC.
"Jelas uang yang ada tidak cukup. Meski sumber daya yang terbatas, Pakistan akan harus menanggung beban terbesar."
Pekan lalu, IMF menyanggupi pengiriman pinjaman tahap awal sebesar USD 1,17 miliar untuk Islamabad. Jumlah tersebut merupakan bagian dari paket bantuan ekonomi senilai USD 6 miliar yang sudah disepakati sejak tahun 2019. Belum jelas bagaimana kerugian akibat banjir akan mengubah prioritas anggaran.
Pakistan tergolong salah satu negara dengan jumlah emisi paling rendah di dunia. Sejak 1959, negeri di Basin Sungai Indus itu hanya menyumpang 0,4 persen terhadap emisi gas rumah kaca global. Sebagai perbandingan, AS bertanggungjawab atas 21,5 persen, Cina untuk 16,5 persen dan Uni Eropa untuk 15 persen emisi global.
Sebab itu, KTT Iklim di Mesir, November nanti, didesak untuk meyepakati skema pembiayaan kerugian dan kerusakan akibat bencana iklim di negara-negara berkembang oleh negara kaya.
"Tahun ini, Pakistan menerima curah hujan tertinggi dalam tiga dekade terakhir," kata Abid Qaiyum Suleri, anggota Dewan Perubahan Iklim Pakistan. "Pola cuaca ekstrem menjadi semakin sering dan Pakistan bukan pengecualian," imbuhnya.
rzn/hp (rtr,ap)