Oxfam: Penghijauan Demi Iklim Ancam Ketahanan Pangan Global
4 Agustus 2021Reforestasi hutan yang rusak sejatinya menjadi salah satu jurus kunci menanggulangi krisis iklim. Namun organisasi bantuan internasional, Oxfam, mewanti-wanti terhadap solusi murahan yang akan menciptakan masalah baru.
Menurut laporan lembaga yang bermarkas di Nairobi, Kenya, itu, jika hanya mengandalkan alih fungsi lahan untuk mencapai 'nol emisi' pada 2050, dunia membutuhkan area hutan seluas 1,6 miliar hektar - lima kali lipat luas India, atau lebih dari semua lahan pertanian di Bumi saat ini.
Skema padat lahan itu juga diyakini bisa membuat harga pangan dunia melonjak sebesar 80 persen. Akibatnya negara miskin terancam bencana kelaparan, sementara negara industri maju dan perusahaan multinasional bisa melanjutkan "bisnis kotornya dengan normal.”
Meski tidak meyakini skenario reforestasi sebagai satu-satunya cara menanggulangi bencana iklim, Oxfam menilai laporannya menohok langgam negara industri maju dan perusahaan multinasional yang dinilai mulai tergoda menggunakan metode penanaman pohon sebagai jalan cepat memenuhi komitmen iklim.
"Karena pada saat yang sama, mereka gagal memangkas emisi sendiri secara cepat dan dan dalam volume yang tepat untuk mencegah kiamat iklim,” tulis para peneliti dalam laporan yang dirilis Selasa, (3/8).
Belum lama ini, Oxfam melaporkan harga pangan global meningkat sebanyak 40 persen pada 2020. Sebagai buntutnya sebanyak 20 juta penduduk Bumi jatuh ke bawah garis kemiskinan, dan terancam bencana kelaparan.
Penanaman pohon secara masif dan tak terkendali dikhawatirkan bakal menggusur lahan pangan, dan mencuatkan harga pangan dunia sebanyak 80 persen di tahun 2050.
Reforestasi sebagai "alibi" untuk terus mengotori Bumi
"Status nol emisi harusnya dicapai lewat pemotongan dan penghematan emisi, pengurangan bahan bakar fossil dan investasi di sektor energi terbarukan,” kata Direktur Perubahan Iklim di Oxfam International, Nafkote Dabi.
"Skema pengurangan emisi berbasis renaturalisasi lahan dan hutan adalah bagian yang sangat penting untuk menanggulangi emisi global,” imbuhnya. "Tapi cara ini harus dijalankan dengan kehati-hatian.”
Menurutnya tanpa strategi yang jelas, metode ini "adalah pertaruhan yang berbahaya bagi masa depan planet kita,” imbuh Nafkote.
Dia menyontohkan Swiss yang berniat memindahkan 12,5% emisinya melalui kredit karbon di sejumlah negara, semisal Peru atau Ghana. Untuk mencapai sasaran itu, Oxfam menilai dibutuhkan kawasan hutan seluas Costa Rica yang setara dengan luas Provinsi Jambi.
Sejumlah perusahaan multinasional juga ingin memangkas catatan emisinya lewat kredit karbon berbasis proyek penghijauan lahan. Menurut catatan Oxfam, rencana pengurangan karbon pada empat raksasa energi terbesar dunia membutuhkan wilayah dua kali luas Inggris.
"Lahan di Bumi tidak cukup untuk mewujudkan rencana mereka,” kata Nafkote Dabi. "Rencana ini akan memicu lebih banyak kelaparan, perebutan lahan dan pelanggaran HAM, ketika negara kaya dan perusahaan besar menggunakan cara ini sebagai alibi untuk tetap menciptakan polusi.”
"Kami tidak menentang aforestasi atau reforestasi, dan kami tidak ingin orang berhenti melakukan hal-hal ini,”pungkasnya, sembari menambahkan penghijauan kembali tidak seharusnya dikerjakan dalam skala besar dan sebaiknya dilengkapi dengan metode wanatani yang menggabungkan hutan dan lahan pertanian.
Artikel ini disadur dari keterangan pers Oxfam International
rzn/pkp