Nostalgia Layar Tancap di Indonesia
Layar tancap nyaris mati digerus film digital. Namun hingga kini tradisi kuno itu masih dilestarikan oleh segelintir penikmat film lawas yang bersikeras menjajakan bioskop keliling sebagai hiburan buat kaum pinggiran.
Nostalgia Bioskop Terbuka
Kecintaan Kamaluddin pada film lawas 35 milimeter hampir tak mengenal batas. Maka saban pekan ia rajin memutar lakon klasik untuk acara pernikahan atau hajatan sejenis di Jakarta dan sekitarnya. Buatnya, bisokop keliling alias layar tancap membawa nostalgia dan juga hiburan buat kaum miskin ibukota.
Kualitas Unik Teknologi Lawas
Format film 35 mm sejatinya sudah lama ditinggalkan industri perfilman. Sineas muda kini lebih memilih format digital, karena lebih murah dan mudah, serta punya resolusi lebih baik. Tapi buat sebagian, teknologi lawas memiliki kualitas yang unik. "Lebih artistik dan suaranya juga lebih bagus ketimbang digital," kata Kamaluddin. "Jika anda menonton tiga film berturut-turut, anda tidak lekas lelah."
Bioskop Pes di Era Kolonial
Layar Tancap sudah menjadi tradisi di Indonesia sejak era penjajahan Belanda. Kala itu pemerintah kolonial menggunakan layar tancap untuk program penyuluhan, antara lain untuk membangun kesadaran terhadap penyakit menular berbahaya. Sebab itu penduduk menamainya "bioskop pes," merujuk pada penyakit sampar yang sempat merajalela di tanah air.
Primadona Hiburan Kaum Urban
Di era keemasannya, layar tancap adalah primadona hiburan kaum urban. Terutama pada dekade 1970 hingga 1990an, bioskop keliling menjadi kesempatan buat kaum muda untuk berkumpul dan bercengkrama. Namun menyusul kehadiran televisi, bioskop modern dan film digital, layar tancap mulai ditinggalkan penggemarnya.
Melestarikan Tradisi Kuno
Kini tradisi kuno itu masih hidup di tangan sebagian kecil penikmat film lawas seperti Kamaluddin. Perlengkapannya terdiri atas layar raksasa, tenda, proyektor 35mm dan sistem pengeras suara yang ia angkut dengan mobil bak terbuka. Ia bersikeras melestarikan layar tancap dengan menggelar pertunjukan keliling dari kampung ke kampung.
Duit Tidak Lagi Berputar
"Tahun 1997, satu malam saya bisa membuka empat layar di empat tempat berbeda," kata Kamaluddin. Ia menaksir pendapatan hariannya saat itu bisa mencapai 4 juta Rupiah dalam kurs saat ini. "Sekarang saya disebut beruntung kalau bisa membuka layar dua kali sebulan dan mendapat 1,5 juta dalam semalam," imbuhnya.
Investasi Mahal buat Hiburan Murah
Padahal membuka usaha layar tancap tidak murah. Sebagian besar proyektor harus diimpor dari Jepang. Setiap unit dibanderol antara 50-70 juta Rupiah. Sebab itu sebagian pengusaha berkocek tipis lebih suka membeli proyektor bekas. Saat ini terdapat sekitar 7.500 judul film berbentuk lembaran seluloid yang disewakan kepada pengusaha layar tancap.
Dari Hollywood ke Bollywood
Jika dulu film laga barat atau film silat Cina yang rajin diputar, maka kini film Bollywood India yang merajai pagelaran layar tancap. "Selain gratis, kita juga bisa nonton film tua yang sudah jarang dijumpai," kata salah seorang pengunjung layar tancap milik Kamaluddin, Nurul Fitriyah, kepada kantor berita Reuters.
Hidup Lewat Gairah Masa Lalu
Terancam mati perlahan, tradisi layar tancap mencoba bertahan hidup lewat gairah masa lalu, menjadi semacam bahasa perlawanan terhadap digitalisasi yang membekap dunia sinema dan hiburan saat ini. Namun buat kaum miskin, bisokop keliling seperti milik Kamaluddin tetap bernilai sama seperti beberapa dekade silam, yakni sebagai ajang hiburan sekaligus berkumpul dan bercengkrama.