Nepotisme atau Sayang Keluarga?
8 November 2016Idiom memalukan ini sempat meriuhkan perbendaharaan bahasa Indonesia pada awal-awal Reformasi. Wajar, tentu. Reformasi pecah, toh, salah satunya karena kemuakan publik melihat satu keluarga—keluarga Cendana—mengacak-acak satu Indonesia. Satu anak Cendana dimandati lisensi mengimpor kebutuhan pangan vital, monopoli pembelian komoditas dari petani, dan kilang minyaknya sendiri. Anak yang lain dimandati kepemilikan televisi nasional, hak untuk mereboisasi hutan, dan juga kilang minyaknya sendiri.
Dan mereka semua menunaikan tugas yang dimandatkan negara, yang sebenarnya adalah bapaknya sendiri, dengan sangat buruk. Semua institusi dan lisensi negara yang mereka pegang, dengan sendirinya, menjadi mesin ATM mereka. Sumber uangnya? Rakyat yang kehilangan hutannya, kerja kerasnya disia-siakan, dan anggaran negaranya dikuras tepat di depan matanya.
Namun, nyaris dua dekade selepas hari-hari mengesalkan tersebut, saya tak tahu idiom nepotisme persisnya menguap ke mana. Dan bersama dengannya nampaknya menguap pula ingatan publik tentang menggerahkannya menatap tak berdaya gurita keluarga melilitkan tentakelnya ke mana-mana. Kita kini menoleransi ketua partai yang satu menunjuk anaknya menduduki jabatan menteri yang strategis, dan ketua partai yang lain menyerahkan tiket emas untuk anaknya maju di pemilihan kepala daerah. Dan itu, tentu saja, baru yang terlihat.
Apakah Anda tahu bahwa DPR-RI 2014-2019 sejak awal didesain menjadi wadah silaturahmi keluarga? Prananda Paloh, anak Surya Paloh, adalah caleg di Dapil Sumatera Utara I. Ahmad Hanafi Rais, putra Amien Rais, maju di Dapil DI Yogyakarta. Ibas—saya tak perlu lagi menyebutkan siapa figur yang satu ini—nomor urut satu Dapil Jawa Timur VII. Dan kesemua nama ini punya satu kesamaan luar biasa. Mereka ditempatkan sebagai caleg nomor urut pertama di daerah pemilihannya. Kesemuanya, kendati katanya nomor urut tak berpengaruh pada keterpilihan, kini duduk di kursi dewan perwakilan kita yang terhormat.
Saya bahkan baru menyebut tiga nama. Sempatkan diri Anda memeriksa figur-figur yang terpilih menduduki DPR dan bahkan menempati jabatan terhormat di dalamnya, Anda akan memperoleh nama-nama yang awalnya mungkin asing tetapi ternyata bukan orang asing bagi figur sentral partai-partai. Kalau bukan istri atau saudara kandung sang figur, ia dipastikan adalah ipar, keponakan, atau sepupunya.
Dinasti politik
Dan, lucunya, para pengkritik situasi ini pun tak menggunakan lagi terminologi nepotisme. Mereka mempergunakan istilah "dinasti politik” yang, kendati mengganggu para politisi pelakunya, tak bisa dikatakan setajam istilah yang datang sebelumnya. Ia tak mengingatkan kita dengan trauma kepada fenomena keluarga berpolitik sebagaimana nepotisme.
Sialnya, betapapun kita mencibir nepotisme dalam kehidupan bernegara, saya sulit membayangkan tiba-tiba satu jalan keluar merekah dan kita bisa melarikan diri dari kesemerawutan ini dalam sekejap. Pertama-tama, keluarga adalah bentuk hubungan yang masih menguasai sekujur seluk-beluk kehidupan kita. Kita harus akui ini.
Anda mungkin ingat, beberapa puluh tahun lalu Prabowo—benar, kandidat presiden kita itu—menjadi bintang muda bersinar di angkatan bersenjata. Pangkatnya melesat secara tidak lazim. Jabatan-jabatan baru diadakan hanya agar kariernya naik selekasnya. Tapi, semua yang menyaksikannya melazimkannya. Siapa, toh, pada saat itu yang tak tahu pernikahannya dengan Titiek Suharto?
Mengapa orang-orang melazimkannya?
Sederhana. Karena demikianlah hukum dari kehidupan yang mereka jalani—cara dunia Anda dan saya bekerja bahkan sampai dengan detik ini. Orang-orang akan memupuskan impian mereka untuk naik jabatan tinggi-tinggi kala di suatu instansi, partai katakanlah, ada anggota keluarga dari figur sentral instansi bersangkutan. Mereka sudah naik ke gerbong yang salah sedari awal dan tak akan mengutuk siapa-siapa kecuali nasib naasnya sendiri. Misalnya, "Ah! Mengapa saya ada di dapil yang sama dengan anak ketua partai?”
Dan bahkan, dunia politik kita tak pernah enggan menggambarkan koalisi, relasi, intrik yang bergulir di dalamnya dengan hubungan keluarga. Perbendaharaannya diliputi idiom-idiom kekeluargaan. Anda, tentu, sudah mendengar nama koalisi termutakhir di ranah politik kita—"koalisi kekeluargaan.” Longok lebih ke belakang lagi, Anda akan menemukan kita mempunyai cara yang unik untuk menamai organisasi-organisasi politik besar di negeri ini. Apa sebutan bagi Partai Golkar sekaligus setiap organisasi sayapnya? "Keluarga Besar Golkar.” Lantas, sebutan bagi ABRI dan setiap organisasi afiliasinya? "Keluarga Besar ABRI.”
Dan perihal sapaan "bapak” terhadap pejabat—pernahkah kita berpikir ini bukan hal yang dengan sendirinya wajar? Kendati kita pernah dijajah Belanda dan sapaan yang lazim dipergunakan terhadap pejabat adalah "mijnheer” atau "meneer,” kita tak menyerap istilah yang netral dari konotasi kekeluargaan ini menjadi sapaan selepas kemerdekaan. Kita malah mempergunakan "bapak” yang mengandung arti "orang tua laki-laki.”
Pernah, memang, pada satu periode kita memanggil presiden kita "Bung.” Kita pun tak memanggil para pejabat seperti perdana menteri, menteri dengan bapak melainkan "Mr.” "Mr. Sjahrir,” "Mr. Amir Sjarifuddin,” "Mr. Mohammad Roem.” Namun periode ini hanya selingan yang amat ringkas dalam sejarah Indonesia. Suharto lantas menjabat presiden dan citra diri yang diangkatnya, Anda tahu, adalah "Bapak Pembangunan.” Panggilannya sehari-hari dalam siaran berita adalah "Pak Harto.”
Dan hal-hal buruk pun terjadi mengikutinya. Yang merebak selanjutnya adalah ia memperlakukan Indonesia seakan properti keluarga. Urusan-urusan negara berjalan dengan asas-asas kekeluargaan dan masalahnya kian pelik tatkala segenap pejabat di bawahnya mencontoh keteladanannya dengan baik. Di mana-mana semua persoalan menjadi bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan—"dibicarakan baik-baik.” Di mana-mana selalu ada "jatah untuk keluarga.”
Dus, ketika hari ini kita mengeluhkan maraknya gurita keluarga dalam dunia politik Indonesia, saya jadi berpikir, barangkali kita yang keliru. Barangkali kita adalah anak-anak dari kebudayaan luar Indonesia yang terlalu muluk-muluk, yang kelewatan naif tak mau menerima, demikianlah memang aturan permainannya. Anda bukan bagian dari keluarga? Anda kurang beruntung. Sesederhana itu.
Jadi, delapan belas tahun setelah Reformasi, apa yang akan terjadi bila Anda menyambitkan tudingan "nepotisme” ke pihak-pihak tertentu yang jelas-jelas melakukannya? Yang tindak-tanduknya memenuhi kata per kata definisi KBBI tentang "nepotisme?”
Mungkin Anda akan dikenai pasal pencemaran nama baik.
Penulis: Geger Riyanto (ap/rzn)
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di Universitas Indonesia. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.