Negara Industri Didesak Serius Tangani Emisi Mulai 2020
9 November 2017"Kami datang ke sini sebagai penekan yang (ingin) mempercepat, bukan sebagai remnya," kata juru bicara utama Brazil Antonio Marcondes kepada kantor berita Reuters di sela-sela Konferensi Iklim PBB COP23 di Bonn, Jerman.
Tahun 2015, Perjanjian Iklim Paris disetujui oleh hampir 200 negara. Tujuannya untuk mengakhiri era bahan bakar fosil pada tahun 2100. Kebanyakan industri menyatakan akan tetap mempertahankan target itu, juga setelah Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa isu perubahan iklim hanya tipuan dan menggiring AS keluar dari Kesepakatan Paris.
Berdasarkan Perjanjian Paris, kebanyakan pemerintahan di negara industri lalu menetapkan target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2030. Sedangkan dari saat ini hingga tahun 2030, tidak aka kebijakan penanggulangan perubahan iklim yang jelas.
Brasil dan negara-negara berkembang dan di ambang industri lainnya, termasuk India, China dan Iran, sekarang menuntut lebih banyak tindakan dari negara-negara industri untuk periode 2020-2030. Terutama karena negara-negara industri yang paling banyak mengkonsumsi energi.
"Sementara kebijakan di bawah Perjanjian Paris telah mendapat momentum, diskusi mengenai tindakan pra-2020 justru tertinggal," kata juru bicara utama India Ravi S. Prasad awal pekan ini.
Tapi negara-negara industri maju mengatakan mereka sudah bertindak. Pejabat Uni Eropa menunjuk pada proposal Uni Eropa untuk target emisi mobil yang lebih ketat, termasuk bantuan kredit lunak untuk produsen mobil yang mendorong produksi mobil listrik. Proposal itu baru saja diperkenalkan minggu ini.
Nazhat Shameem Khan, juru runding utama untuk Fiji, yang bertindak sebagai penyelenggara Konferensi Iklim PBB di Bonn, mengatakan: "Jelas ada keinginan kuat untuk diskusi yang konstruktif dan terfokus tentang kebijakan pra-2020."
"Saya pikir ini adalah pandangan umum, bahwa belum ada diskusi yang cukup mengenai apa yang harus dilakukan sebelum 2020," katanya.
Secara keseluruhan, dia mengatakan bahwa perundingan di Bonn saat ini sedang menyusun sebuah buku peraturan terperinci untuk penerapan Perjanjian Paris. Ada kemajuan dalam diskusi, bahkan delegasi Amerika Serikat sangat "konstruktif dan membantu", kata Khan.
Delegasi Amerika Serikat memang turut hadir di COP23, sekalipun Presiden Trump bulan Juni lalu menyatakan bahwa dia akan menarik Amerika Serikat keluar dari Perjanjian Paris dan akan mempromosikan penggunan batubara dan minyak yang lebih efisien.
Dengan penarikan diri itu, Amerika Serikat akan makin terisolasi, sejak Suriah, satu-satunya negara di luar Perjanjian Paris, hari Selasa (7/11) menyatakan akan bergabung.
Namun Perjanjian Paris baru akan berfungsi tahun 2020 dengan fokus pada kebijakan yang akan mulai diterapkan tahun 2030. Ini berarti, ada celah yang kosong hingga tahun 2030. Hal ini dulu disepakati di Paris, karena ketika itu diperkirakan negara-negara peserta akan perlu waktu lebih lama untuk meratifikasi perjanjiannya. Ternyata, prosesnya berlangsung lebih cepat.
Camilla Born, dari lembaga think tank E3G, mengatakan bahwa Perjanjian Paris sekarang menjadi korban kesuksesannya sendiri. "Sekarang memang harus ada sorotan lebih besar dan tindakan lebih nyata yang harus dimulai pada 2020," katanya.
Tekanan terhadap negara-negara industri makin meningkat, setelah para ilmuwan menyatakan bahwa pada tahun 2100, suhu udara diprediksi akan naik sampai 3 derajat Celcius. Padahal semua agenda penangggulangan perubahan iklim menargetkan kenaikan suhu maksimal hanya 2 derajat Celcius pada 2100.
hp/vlz (rtr, dpa)