Nasib Buruh Garmen Asia Masih Mengenaskan
3 November 2010Sejak tahun lalu, serikat-serikat buruh di Asia yang tergabung dalam Asia Floor Wage meluncurkan kampanye yang mendesak pembebasan buruh dari eksploitasi dan upah hidup layak, bukan lagi upah minimum.
Banyak kasus perburuhan yang terjadi di Asia, khususnya di sektor garmen. Di Jakarta, hampir setiap hari para mantan buruh sebuah pabrik pakaian bayi yang memproduksi merk Le Monde mendatangi pabrik tempat mereka bekerja, yang ditutup bulan Juni lalu. Mereka menuntut upah yang belum dibayarkan perusahaan sejak mereka dirumahkan tanpa alasan jelas.
Setelah bertahun-tahun dibayar dengan upah di bawah standar yang ditetapkan, pada tahun 2009 lalu, puluhan buruh, yang memproduksi pakaian bayi merek Le Monde itu, membentuk serikat buruh dan memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pekerja. Gaji mereka kemudian dinaikan sesuai standar upah minimum provinsi menjadi sekitar satu juta rupiah perbulan. Namun hanya setengah tahun mereka merasakan itu, hingga akhirnya Juni lalu, perusahaan menutup pabrik yang mengekspor pakaian dan asesoris bayi tersebut.
Salah seorang buruh, Rita Hayati menceritakan, "Pengusaha berkilah, ingin memberangus serikat namun akhirnya kami diliburkan selama enam bulan dan tak digaji. Yang di PHK hanya yang bagian produksi.“
Mereka dilarang berserikat, tak memiliki asuransi kesehatan dan upah pun tak dibayar. Mereka hanya segelintir dari sekian banyak buruh garmen di Indonesia yang nasibnya mengenaskan.
Di Bangladesh, situasinya tak jauh berbeda. Para buruh yang mencoba untuk berserikat, tak jarang berujung dengan pemecatan. Seorang aktivis perburuhan di Bangladesh, Khorshed Alam, menceritakan lemahnya serikat buruh di negaranya, “Ada banyak alasan lemahnya serikat buruh, keanggotaan yang kurang, tekanan dari pemerintah, kesadaran pekerja akan hak mereka payah. Ini situasi sulit, tak seperti serikat di negara lain. Mereka butuh dikembangkan lebih lanjut. Bila ada buruh yang menuntut sesuatu, dengan mudah dipecat begitu saja.”
60 persen produksi garmen di dunia, yang dihasilkan di Asia, tersebar pembuatannya di Cina, Indonesia, Bangladesh, Kamboja, Sri Lanka. Namun yang menjadi keprihatinan adalah para buruhnya tetap dililit kemiskinan, meski produk yang dihasilkan dijual dengan harga selangit.
Rantai produksi sebuah produk tekstil yang panjang hanya memakmurkan pengusaha, sementara buruh semakin terperosok dalam jurang kemiskinan, ujar Rita Tambunan dari Trade Union Rights Center TURC, "Kebanyakan buruh garmen bekerja 10-12 jam per hari untuk upah yang cukup untuk hidup hanya dua minggu. Bayangkan satu tshisrt merek Adidas misalnya, harganya bisa 60 euro, atau 700 ribu rupiah. Itu nyaris sebesar gaji mereka sebulan. Tidak adil.“
Berbagai serikat buruh di Asia, dibantu mitra kerja dari Eropa dan Amerika Serikat, membangun aliansi yang terdiri dari berbagai serikat buruh di Asia. Mereka membangun jaringan sejak tahun 2005 dan meluncurkan kampanye mereka yang dimulai tahun lalu dan masih berlangsung hingga kini. Dalam diskusi publik yang berlangsung di Bonn, Jerman, mereka menyuarakan perlunya upah untuk hidup layak. Karena upah minimum yang ditetapkan pemerintah selama ini hanya semakin memiskinkan buruh.
Rita Tambunan dari Trade Union Rights Center TURC menambahkan, "Upah layak menurut aliansi kami upah yang bisa menghidupi kebutuhan buruh secara layak sebulan penuh, bukan upah minimum. Upah bukan hanya pas untuk membeli makanan. Karena upah sejuta di Jakarat separuhnya habis untuk makan, padahal mereka masih butuh untuk keperluan lainnya, seperti transport, pendidikan anak-anak dan lain-lain. Upah yang diharapkan bisa untuk memenuhi kebutuhan buruh dan keluarganya. Selama ini upah minimum ditetapkan dengan diproyeksikan dari upah hidup satu orang, bukan keluarga.“
Apabila para pemerintah di Asia saling bekerjasama dan menetapkan upah sesuai standar hidup layak, niscaya menurut Tambunan, pemerintah tak perlu ketakutan para investor asing lari mencari negara lain yang menawarkan ongkos produksi yang rendah.
Ayu Purwaningsih
Editor: Agus Setiawan