Muslim Patani di Bawah Pengawasan Militer Thailand
5 Januari 2022Sejak baru-baru ini, Wannawawee Waeyoh tidak lagi bisa menggunakan telepon genggamnya lantaran kartu SIM yang diblokir oleh penyedia layanan seluler. Penyebabnya tidak sepele. Wannawawee belum mencantumkan data biometriknya dalam pendaftaran kartu SIM.
Data biometrik biasanya menyimpan informasi bentuk atau karakter tubuh manusia seperti sidik jari, tinggi badan, warna mata, atau bentuk wajah.
Di Thailand, kewajiban mencantumkan data biometrik berupa sidik jari dan bentuk wajah pada kartu SIM berlaku sejak 2019, hanya bagi penduduk di tiga provinsi muslim di selatan.
"Kartu SIM ini sudah didaftarkan dengan data-data dari Kartu Identitas Nasional saya,” kata Wannawawee, "kenapa mereka masih membutuhkan data biometrik juga?” tukasnya.
Tiga penyedia layanan seluler terbesar Thailand dikabarkan membekukan ribuan nomor yang belum terdaftar. Namun kendati aturan berlaku bagi semua penduduk, mayoritas yang terdampak adalah warga muslim Melayu.
"Pemerintah berpikir semua orang di sini terlibat dalam separatisme atau aktivitas anti-nasional, dan memprioritaskan keamanan di atas hak dasar dan privas kami,” kata Anchana Heemmina, pendiri Duay Jai Group, sebuah kelompook HAM lokal.
"Kami tidak tahu siapa saja yang bisa mengakses data kami, atau bagaimana data-data itu digunakan,” imbuhnya.
"Memaksakan pencantuman data biometrk pada kartu SIM hanya untuk penduduk di selatan adalah diskriminasi, dan mengarah pada pembingkaian rasial.”
Pengumpulan DNA
Perbatasan selatan Thailand sejak lama dilanda konflik separatisme yang digalang kelompok Melayu-Patani. Sejauh ini perang sudah menelan lebih dari 7.000 korban jiwa. Akibatnya tiga provinsi dan sejumlah distrik di Songkhla ditempatkan di bawah pengawasan ketat.
Di sana, militer dikabarkan mulai mengumpulkan sampel DNA dari etnis Melayu sejak 2012. Pemerintah berdalih sampel tersebut akan memperkaya bank data yang mempermudah investigasi serangan kelompok bersenjata.
Pengambilan sampel dilakukan tanpa persetujuan di pos-pos pengawasan atau saat penggerebekan, kata Pornpen Khongkachonkiet, Ketua Yayasan Lintas Budaya, sebuah organisasi HAM lokal.
Dia dan kelompoknya mengklaim memiliki bukti sebanyak 140 insiden pengambilan sampel secara paksa antara buan Januari dan September 2019 saja. Pemerintah sebaliknya membantah sampel diambil tanpa persetujuan.
Hingga tahun 2021, pemerintah Thailand tercatat sudah memasang sebanyak 8.000 kamera, lapor Pornpen. Sistem ini dilengkapi dengan kecerdasan buatan dan terkoneksi dengan sistem pengawasan pusat, khusus untuk tiga provinsi di selatan.
Infrastruktur serupa sering dilaporkan juga digunakan Cina untuk menjalankan program identifikasi wajah di wilayah separatis seperti di Xinjiang.
Keberimbangan
Undang-undang Kejahatan Komputer 2016 dan UU Keamanan Siber 2019 memberikan otoritas Thailand kewenangan mutlak untuk menjalankan pengawasan, atau meminta dan menyita data, atau perlengkapan jika dinilai membahayakan keamanan nasional.
Namun, tanpa perlindungan data dan ditambah dengan UU Anti Separatisme, kewenangan besar ini menjadi petaka bagi penduduk muslim di selatan. "Penggunaan teknologi pengenalan wajah melanggar privasi dan kebebasan warga,” kata Pornpen.
"Pengawasan luas membuat penduduk merasa hidup di penjara. Keberadaannya merupakan sebuah kesewenang-wenangan.”
Seorang juru bicara Komando Operasi Keamanan Nasional Militer Thailand, teknologi pengenalan wajah dan data biometrik merupakan bagian penting dari "sistem pengawasan dan peringatan dini risiko keamanan” untuk mengidentifikasi kelompok separatis.
Hal senada diungkapkan kepolisian Thailand, yang bersikeras sistem biometrik berguna untuk meredam pencurian identitas dan penggunaan kartu SIM gelap untuk tindak terorisme.
rzn/ha (Reuters)