Move Forward Dibubarkan, Bagaimana Nasib Demokrasi Thailand?
9 Agustus 2024
Mahkamah Konstitusi Thailand pada Rabu (07/8) memutuskan untuk membubarkan partai oposisi Move Forward, partai pro-reformasi yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilu tahun lalu.
"Meskipun keputusan itu tidak mengejutkan, namun tidak baik untuk demokrasi," kata Punchada Sirivunnabood, profesor ilmu politik di Universitas Mahidol Thailand, kepada DW.
Pengadilan memutuskan mendukung petisi Komisi Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa Move Forward telah berusaha menggulingkan monarki dengan berjanji untuk mereformasi hukum lese majeste, yang melindungi keluarga kerajaan Thailand dari kritik.
"Ini menjadi pengingat suram bahwa warisan kudeta Mei 2014 masih tetap hidup dan sehat," kata Napon Jatusripitak, peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura.
Meskipun memenangkan kursi terbanyak dalam pemilu, pemimpin partai Move Forward, Pita Limjaroenrat, dihalangi untuk menjadi perdana menteri oleh Senat, yang anggotanya dipilih sendiri oleh mantan junta militer.
Sekarang, Pita dan 10 pemimpin partai lainnya telah dilarang berpartisipasi dalam politik selama satu dekade.
Keputusan ini merupakan "bukti nyata bahwa kelompok yang berkuasa tidak akan pernah secara sukarela menyerahkan kekuasaannya," kata Joshua Kurlantzick, peneliti senior untuk Asia Tenggara di Dewan Hubungan Luar Negeri.
Lese majeste tetap hidup
Keputusan ini sejalan dengan putusan yang dikeluarkan enam bulan lalu, ketika pengadilan yang sama memerintahkan Move Forward untuk membatalkan semua kegiatannya yang bertujuan untuk mengubah undang-undang pencemaran nama baik kerajaan, yang dikenal sebagai Pasal 112.
"Putusan pada 31 Januari menarik garis yang jelas bahwa pihak-pihak tidak boleh melangkah terlalu jauh. Hari ini, Move Forward telah menjadi contoh karena telah melewati batas tersebut," kata Napon.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Monarki Thailand diabadikan dalam konstitusi, dengan raja berada dalam posisi yang "dipuja dan dihormati". Setiap kritik yang dianggap ditujukan pada keluarga kerajaan dapat dihukum hingga 15 tahun penjara.
Move Forward berkampanye dengan janji untuk mengurangi hukum lese majeste, dengan mengurangi hukuman penjara dan persyaratan bahwa pengaduan harus diajukan oleh Biro Rumah Tangga Kerajaan.
"Mendorong amandemen lese majeste bukan hal yang terlarang, tetapi mulai sekarang upaya-upaya ini akan diperketat di parlemen dan dilakukan dengan tidak terlalu agresif," kata Siripan Nogsuan Sawasdee, seorang profesor ilmu politik di Universitas Chulalongkorn, kepada DW.
Sejarah pembubaran partai politik
Partai politik yang dibubarkan dan bereinkarnasi di bawah bendera baru bukanlah hal yang jarang terjadi di Thailand.
"Sistem peradilan telah dijadikan senjata untuk mendukung para elit dan telah berlangsung selama beberapa waktu," kata Kurlantzick.
Pheu Thai yang berkuasa, misalnya, adalah penerus Partai People's Power, yang berevolusi dari Thai Rak Thai, sebuah partai yang didirikan oleh mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang digulingkan dalam kudeta pada 2006.
Sejak saat itu, 34 partai telah dibubarkan, termasuk Move Forward, yang diperkirakan akan muncul kembali sebagai faksi baru dalam beberapa hari mendatang.
"Pembubaran partai politik seharusnya tidak menjadi sesuatu yang normal," kata Punchada.
Apakah akan ada gelombang protes lagi?
Pada 2020, Mahkamah Konstitusi membubarkan partai pendahulu Move Forward, Future Forward, karena pelanggaran pendanaan kampanye dan melarang para pemimpinnya berpolitik selama 10 tahun.
Pembubaran ini memicu protes nasional yang dipimpin oleh para pemuda yang menyerukan pengunduran diri jenderal yang kini menjadi perdana menteri, Prayuth Chan-ocha, dan reformasi monarki.
Namun para analis mengatakan bahwa demonstrasi berskala besar seperti itu sepertinya tidak akan terjadi kali ini, setelah pihak berwenang melancarkan tindakan keras secara hukum terhadap para pemimpin protes.
"Bahkan mereka yang terkena dampak negatif dari hasil hari ini mungkin enggan untuk turun ke jalan untuk menyampaikan keluhan mereka," kata Napon, karena banyak peserta protes di masa lalu yang akhirnya "menjadi sasaran tuntutan hukum dan dipenjara."
Setidaknya 1.954 orang telah dituntut karena berpartisipasi dalam pertemuan politik sejak dimulainya protes pada Juli 2020, dengan setidaknya 272 orang didakwa dengan tuduhan lese majeste, menurut Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand.
Pengacara Arnon Nampa, misalnya, salah satu pemimpin protes yang dipimpin oleh kaum muda tahun 2020-2021, saat ini sedang menjalani hukuman 14 tahun penjara.
"Perbedaan pendapat akan diekspresikan selama pemilihan umum berikutnya dan bukan di jalanan," kata Napon.
Siripan Nogsuan Sawasdee mengatakan bahwa ia berharap untuk hasil seperti itu karena "itu akan lebih bermanfaat bagi Move Forward dan Thailand dalam jangka panjang."
Bagaimana wajah demokrasi Thailand selanjutnya?
Para analis percaya bahwa gerakan reformasi di Thailand akan terus bermunculan dalam beragam bentuk.
"Keputusan ini merupakan langkah pencegahan untuk mengakhiri reformasi monarki dan saya pikir gerakan ini akan menghilang untuk beberapa waktu tetapi tidak akan mati, hanya dibius untuk saat ini," kata Siripan.
Tetapi Punchada mengatakan bahwa kasus yang menimpa 44 anggota parlemen Move Forward yang menandatangani proposal untuk mengamandemen UU Pencemaran Nama Baik Kerajaan dapat mengubah hal itu.
Jika dinyatakan bersalah oleh badan anti-korupsi, kelompok legislator ini, termasuk mantan pemimpin Move Forward, Pita, dapat menghadapi larangan berpolitik seumur hidup.
"Meskipun sudah ada dua kali pemilihan umum sejak 2019, Thailand masih jauh dari kata demokratis. Jika ada, itu tetap otoriter," kata Napon.
(fr/rs)