Mimpi Besar Perempuan Desa di Malaysia
29 November 2012Di sebuah desa pesisir di Terengganu, Malaysia, sekelompok ibu rumah tangga dan anak-anak mereka tengah sibuk menanam 400 pohon bakau di dekat rumah. Mereka merupakan anggota kelompok yang dikenal sebagai PEWANIS atau juga dikenal sebagai Asosiasi Perempuan Kampung Mangkok Setiu. Didirikan pada tahun 2007, PEWANIS merupakan bagian dari proyek konservasi dan peningkatan kapasitas milik Nestlé di Malaysia dan World Wildlife Fund.
Proyek ini memilih ibu rumah tangga karena mereka dianggap sebagai salah satu unsur terpenting di masyarakat. Daria Matthew dari WWF Malaysia mengatakan kepada DW bahwa perempuan memiliki peran penting dalam upaya konservasi jangka pangjang. “Mereka merupakan warga yang paling banyak berinteraksi dengan anak-anak. Sehingga mereka dapat memberikan banyak pengetahuan dan tips kepada masyarakat.”
Nadi Kehidupan
Lahan basah Setiu di Trengganu merupakan kumpulan hutan, rawa-rawa, rawa gambut, laguna dan pantai seluas 23.000 hektar, membentang di sepanjang pantai timur Malaysia. Sejak beberapa generasi, menangkap ikan di laguna dan laut telah menjadi sumber utama pendapatan bagi penduduk desa. Sedangkan tanaman yang terdapat di wilayah ini digunakan sebagai bahan baku bangunan dan kerajinan.
Namun selama bertahun-tahun, kurangnya kesadaran lingkungan di kalangan penduduk setempat serta ditambah dengan berkembangnya sektor industri yang tidak diawasi telah memberi dampak negatif pada daerah ini. Menanam pohon hanyalah salah satu dari banyak kegiatan konservasi yang dilakukan para perempuan dari PEWANIS.
Rusnita Ngah, ketua kelompok ini, mengatakan pada awalnya warga di sini memandang skeptis proyek ini. “Warga mengatakan: hey, lihat para perempuan melakukan hal-hal gila, menanam pohon bakau. Tapi kami tidak peduli dan terus melanjutkan,“ dikatakan Rusnita Ngah kepada DW.
Berbagai Proyek
Selain menanam pohon, para perempuan dari PEWANIS juga berusaha untuk melindungi satwa liar. Malaysia merupakan salah satu tempat terakhir di Asia Tenggara di mana masih terdapat dua jenis dari kura-kura Batagur borneoensis yang terancam punah. Untuk melindungi hewan ini PEWANIS berkampanye menentang konsumsi telur mereka.
Industri lain yang digagas kelompok ini adalah ekowisata, Mereka menawarkan satu paket di mana wisatawan dapat belajar untuk membuat layang-layang tradisional Melayu, mencicipi makanan lokal, belajar tentang kehidupan di desa dan mengunjungi lahan basah Setiu. Para wisatawan juga dapat ikut menanam bakau dan nipah.
Rusnita Ngah mengatakan bahwa uang yang diperoleh diperuntukan bagi kepentingan masyarakat setempat. “Dana tersebut merupakan cara kami untuk berkontribusi kembali kepada masyarakat, untuk hal-hal penting seperti bagi upacara pemakaman dan memberikan penghargaan bagi siswa berprestasi.“
Keprihatinan Berkelanjutan
Tapi, sejalan dengan datangnya wisatawan dari luar negeri seperti dari Singapura dan Hong Kong, timbul pertanyaan tentang polusi yang dihasilkan oleh inisiatif ekowisata ini. Organisasi-organisasi di negara lain sudah menyadari hal ini.
“Secara teori, ekowisata merupakan satu konsep yang sangat bagus. Tapi dalam prakteknya terdapat kontras yang besar,“ dikatakan Sumesh Mangalassery dari Kabani, sebuah organisasi di India yang meneliti parawista berkelanjutan. “Saat ini, kami sedang mencari alternatif untuk ekowisata, karena ini adalah satu bentuk dari ekspansi ke gaya hidup konsumen.“
Namun demikian, menurut Muhammad Allim dari WWF Malaysia, aspek-aspek lain dari proyek PEWANIS telah menunjukkan dampak positif pada masyarakat. Misalnya dalam masalah perlindungan kura-kura dan telurnya. “Sebelumnya, setiap kali saya bertanya kepada masyarakat sekitar tentang hewan ini, jawabannya adalah “oh ya, lezat“. Sekarang jika saya bertanya kepada anak-anak di Kampung Mangkok mereka selalu katakan:Tidak! Anda tidak dapat memakannya!“ Dan ditambahkan Muhammad Allim, “Mendengar hal semacam ini, meyakinkan saya bahwa proyek ini layak dilakukan.“