Mesir: Ketika Hukum Jadi Hamba Kekuasaan
24 Februari 2015Vonis terhadap Alaa Abdel Fatah hendak menyebar ketakutan. Pesannya tegas: lima tahun penjara bagi peserta sebuah demonstrasi ilegal. Vonis ini akan membuat para demonstran penentang rezim berpikir dua kali sebelum mereka turun ke jalan memprotes sebuah keputusan pengadilan.
Rezim di Mesir unjuk gigi, bahwa seorang pembela hak warga sepopuler Alaa Abdel Fatah sekalipun, bisa dijatuhi hukuman berat. Hal ini dapat ditafsirkan, makin tidak terkenal seseorang, akan semakin berat hukuman yang dijatuhkan. Buktinya tidak perlu menanti lama. Para pendukung Abdel Fatah yang tidak seterkenal tokoh itu, kini diancam hukuman hingga15 tahun penjara .
Bagi Mesir, vonis hakim semacam itu sudah menjadi hal yang lazim. Lihat saja vonis terhadap ratusan pengikut Ikhwanul Muslim yang sebagian dijatúhi hukuman mati. Hingga 40.000 orang dilaporkan Amnesty International meringkuk di penjara sebagai tahanan politik tanpa melewati proses pengadilan.
Perkembangan hukum di Mesir itu sesuai dengan perkembangan politiknya. Media swasta maupun pemerintah, menerapkan otosensor dan menegaskan sikap "patriotik" membela insutitusi negara. Pemerintah juga mengontrol internet. Alasannya: untuk mencegah penyebaran ide yang merusak. Antara lain, seruan untuk berdemonstrasi, penghinaan agama, olok-olok. fitnahan dan pornografi. Pasal-pasal karet kini marak di mana-mana.
Pemerintah Mesir mengajukan argumen, haluan politiknya itu terkait kekhawatiran menyangkut stabilitas serta kewajiban mereke memerangi terorisme. Tapi kini semakin kuat kesan bahwa pemerintah ingin kembali ke masa sebelum revolusi di tahun 2011, ketika pemerintah bisa memaksakan politiknya tanpa banyak perlawanan dan kecaman.
Tapi semua tahu, sikap tenang di masa lalu tidak ada kaitannya dengan persetujuan publik atas politik yang dijalankan pemerintah. Melainkan lebih banyak terkait ketakutan dijebloskan ke penjara, dan apa yang dilakukan elit politik samasekali tidak berkaitan dengan kepentingan publik.
Apakah masa lalu dapat dihidupkan kembali? Orang meragukannya. Lihat saja aksi teror di Sinai, yang menunjukkan adanya kelompok yang tidak takut tangan besi dari rezim di Kairo. Terutama harus dipertanyakan, apakah perang melawan terorisma hanya berlaku bagi simpatisan Islamic State di Sinai? Atau secara pukul rata, semua yang menentang politik dari Presiden Abdel Fattah al Sisi akan digolongkan sebagai teroris?
Vonis pengadilan terhadap Alaa Abdel Fatah menegaskan, bahwa kehakiman Mesir memberi tafsiran sangat luas terkait definisi aktifitas yang membahayakan negara. Juga jangan dilupakan, Eropa atau Barat secara umum, empat tahun silam masih memandang rezim Mubarak yang digulingkan revolusi rakyat, sebagai jangkar stabilitas di Timur Tengah.
Namun terbukti, kemarahan rakyat terhadap diktator memicu perlawanan yang menewaskan ratusan bahkan ribuan orang. Kematian ribuan orang berikutnya bisa dicegah, jika di kawasan Timur Tengah dikukuhkan rezim dan institusi hukum yang demokratis. Jika tidak, setelah usai sebuah revolusi, rezim akan menghadapi sebuah revolusi baru.