Mesir di Ambang Kebangkrutan
11 April 2014Di sebuah gedung pengadilan dekat Kairo, sebuah pesan menggantung di atas hakim yang memimpin pengadilan atas kelompok yang sempat berkuasa singkat dan kini dihabisi: Ikhwanul Muslimin.
“Atas nama Tuhan masa pengasih,“ begitu pesan itu terbaca, “Allah memerintahkanmu untuk memberikan kepercayaan kepada orang yang berhak menerimanya, dan ketika kamu menilai orang-orang, nilailah dengan adil“.
Sebuah kurungan metal dipakai menahan 33 anggota Ikhwanul Muslimin – organisasi yang dinyatakan sebagai teroris setelah Juli lalu militer menjatuhkan Mohamed Mursi, presiden terpilih yang didukung Ikhwanul Muslimin, yang hanya berkuasa selama satu tahun yang penuh gejolak.
Diantara mereka adalah Mohamed Badie, pembimbing spiritual. Ikhwanul Muslimin adalah organisasi Islamis arus utama yang paling berpengaruh di dunia dan konfrontasi mereka dengan pemerintahan Mesir yang didukung militer telah menyebabkan Negara itu mengalami perpecahan paling buruk dalam sejarah.
Mengenakan jubah putih dan menghadapi sejumlah dakwaan, yang beberapa diantaranya bisa berujung ancaman hukuman mati, para Ikhwan terus meneriakkan, mulai dari Allahu Akbar hingga ”Turunkan kekuasaan militer”.
Badie kemudian bangkit dan menyatakan bahwa ”rakyat tidak akan bisa menerima tirani militer“, merujuk kepada Abdel Fattah al-Sisi, jenderal yang kini mencalonkan diri sebagai presiden dan pada Juli lalu melakukan kudeta setelah jutaan orang turun ke jalan menuntut pengunduran diri Mursi.
Meningkatnya perlawanan
Sisi, kata para politisi, menyadari betapa berbahayanya situasi ini namun ia mengandalkan para jenderal dan intelijen militer dalam urusan informasi mengenai keadaan negara.
Boikot kaum muda tahun ini, dalam referendum atas konstitusi baru yang disusun oleh panel yang ditunjuk oleh pemerintahan sementara yang didukung militer, telah menyebabkan kekagetan di kalangan penguasa.
Ada kekhawatiran naiknya Sisi ke kekuasaan akan memancing lebih banyak protes dari para Islamis dan menggoda dia untuk menggunakan kekerasan untuk membungkam semua perbedaan pendapat.
”Jika Sisi menjadi presiden, maka Ikhwanul Muslimin tidak akan berhenti memprotes, kita tidak akan melihat adanya jeda kekerasan, dan selama ada ketidakstabilan maka ekonomi kami tak akan pulih,” kata Khaled Dawoud, aktivis dan juru bicara kelompok liberal dari Partai Dostour.
Bekas Perdana Menteri Ziad Bahaeddine, seorang moderat di pemerintahan yang didukung militer, mengatakan masa depan Mesir kini tergantung pada upaya membangun kembali konsensus nasional atas sejumlah isu seperti subsidi BBM yang memakan seperempat anggaran, defisit yang nilainya mencapai 11 persen Produk Domestik Bruto, serta menangani kemiskinan akut sambil mempertahankan pertumbuhan.
“Mesir benar-benar bangkrut. Jika tidak ada pendekatan nasional, maka (siapapun yang berkuasa) tidak akan bisa melakukan apa-apa,” kata dia.
ab/rn (afp,ap,rtr)