Liza Schulz, Meramu Jamu Tradisi Indonesia di Jerman
30 Januari 2021Tinggal di Jerman tak jarang membuatnya Liza Schulz, WNI di Frankfurt, kian rindu kampung halaman. Hal ini lantas diisinya dengan memperkenalkan budaya Indonesia ke khalayak Jerman lewat pakaian adat nusantara, minuman nusantara, peganan nusantara, bahkan ragam sambal nusantara. Ia pun kerap berkolaborasi dengan Konsulat Jendral Indonesia di Frankfurt menggelar acara kebudayaan Indonesia.
Sayangnya, pandemi menghentikan ragam acara temu komunitas Indonesia di sana. Liza pun menghabiskan waktu luang sembari membuat jamu. Jamu selalu membawa ingatan Liza Schulz saat tinggal di Jakarta, di mana setiap minggu mbok jamu gendong rutin berkunjung ke rumahnya membawa jamu kunir asam segar kesukaannya dalam botol kaca.
"Awalnya saya iseng, buat untuk keluarga dan teman, eh mereka bilang enak dan terus pesan," jelas Liza. Dari sana, Liza pun kian belajar tentang jamu bahkan serius mengambil edukasi khusus untuk menjadi seorang acaraki atau peramu jamu.
Pelatihan menjadi acaraki ini digelar sebuah perusahaan jamu di Indonesia. “Kami belajar karakteristik tiap rempah dan bagaimana mengolahnya dengan benar, misalnya… mengolah jahe tidak direbus tapi dicuci dulu, ditumbuk atau diparut, ditambahi air sedikit demi sedikit baru diperas. Ini agar khasiatnya tidak hilang ya,” jelas Liza.
Bergerilya, cari rempah bahan baku jamu
Jamu berasal dari kata Jawa kuno, yakni jampi dan oesodo. Jampi bisa berarti penyembuhan atau doa sedang oesodo berarti kesehatan. Tradisi pengobatan berbahan dasar rempah sudah dikenal zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Mengenal proses pembuatan jamu, diakui Liza membawanya mengenal tradisi Indonesia lebih jauh lagi. "Sebagai acaraki, mereka tak sekadar menakar zutaten-nya (red. bahan-bahan), tapi juga berpuasa mendoakan ramuan agar berkhasiat bagi peminumnya," ujar Liza Schulz.
Lantas bagaimana Liza mendapatkan rempah-rempah Indonesia di Jerman? "Bergerilya dong cari rempah, saya akan cari di seluruh toko Indonesia atau toko asia di seluruh Jerman. Jika tidak ada, saya cari bahan pengganti yang punya karakter sama. Kalau tidak ada juga saya akan pesan lewat distributor ekspor impor," jawab Liza bersemangat. Ia selalu mengusahakan mengolah jamu dari bahan segar bukan bubuk rempah olahan.
Bagi Liza tantangan tersulit adalah untuk menyakinkan orang untuk mau minum jamu, terutama jika rasanya kurang enak seperti jamu pahitan. "Jamu memang tidak bisa gantikan obat tapi jamu bisa bantu mencegah sakit. Kalau rasa kurang enak memang sulit buat orang untuk minum, tapi kita kenalkan efeknya yang baik bagi tubuh. Jika mereka masih belum yakin kita bisa kenalkan dengan jamu-jamu dengan rasa segar dulu," jelas Liza.
Niat kembangkan usaha jamu di Jerman
Miriam Fischer, salah satu WNI di Frankfurt bahkan sudah berlangganan jamu buatan Liza. "Aku pecinta jamu kunyit asam, rasanya segar, dan meningkatkan daya tahan tubuh. Sebelas tahun di Jerman tidak pernah menemukan jamu tradisional Indonesia – setelah coba jamu Liza, rasanya autentik dan pas! Aku kasih coba suami (orang Jerman) dan teman lain (orang Filipina) mereka bilang jamu itu segar dan beri efek (daya tahan tubuh) lebih," jelas Miriam.
Nanti jika pandemi mereda, Liza punya keinginan untuk perlahan mengembangkan sayap usaha jamunya di Jerman. Ia berencana segera mengecek nutrisi jamu buatannya ke laboratorium, sebagai langkah awal untuk izin produksi massal.
Ia pun aktif memberi lokakarya cara membuat jamu bagi masyarakat di Jerman dan kini tengah menulis buku tentang Jamu. Liza senang berbagi ilmu, karena menurutnya penting untuk meneruskan tradisi membuat dan meminum jamu. (ae)