Riwayat Pekerja Asing di Indonesia
16 September 2018"Satu sifat bangsa Cina yang selalu mengagumkan saya, ialah sifat optimistis dalam marabahaya dan tak malu-malu mengerjakan pekerjaan halal buat mendapatkan penghidupan. Sifat baik itu nyata buat saya di Tiongkok sendiri dan nyata pula di dalam kegentingan hidup bangsa Cina di Malaya,” tulis Tan Malaka dalam autobiografinya, Dari Penjara ke Penjara.
Kata-kata tokoh komunis Indonesia yang paling tersohor itu merujuk pada seorang koleganya yang ia beri nama inisial L.Y., seorang Cina berpendidikan tinggi asal Singapura yang menemani dirinya mengungsi lewat laut ke Penang, lalu Medan, ketika tentara Jepang menyerbu Singapura pada tahun 1942. Tan Malaka kagum, karena L.Y. yang dikatakannya memiliki modal ijazah untuk mengajar di universitas-universitas Inggris di Malaya itu tidak segan-segan untuk membuka perusahaan tao-hu (tahu) kecil-kecilan dan menjualnya di pinggir jalan untuk menyambung hidup, di negeri yang asing.
"Banyak intelektual Cina lainnya yang berbuat semacam itu pula. "Singsingkan lengan baju” demikianlah slogan mereka. Baik juga sifat ini diperhatikan pula oleh "intelektual” kita,” tambah Tan Malaka dengan kata-kata bernada agak menyentil orang-orang Indonesia yang kerap pasrah kala berada dalam masa-masa sulit.
Laporan pandangan mata Tan Malaka itu hanyalah sebuah kisah kecil namun menegaskan, yang diperkuat dengan fakta sejarah, bahwa setiap orang dapat mencari penghidupan di tanah Indonesia yang asing dengan keuletannya; sebuah insting ekonomi-humanis yang bagi saya sulit untuk benar-benar diadili dengan label-label benar atau salah.
Lantas, dengan semakin besarnya fenomena tenaga kerja asing di Indonesia kontemporer ini, rasanya pemahaman historis mengenai topik tersebut perlu diangkat kembali.
Era Kolonial Sampai Merdeka
Belakangan ini kubu oposisi gencar menggunakan isu serbuan tenaga kerja asing dari Cina untuk menekan pemerintah. Angkanya pun fantastis, kabarnya 10 juta orang sudah masuk ke Indonesia dan mayoritas datang sebagai pekerja-pekerja kasar di pabrik-pabrik. Sontak, inspeksi mendadak dan sweeping pun dilakukan aparat dan para pekerja lokal di berbagai wilayah, seperti misalnya yang terakhir terjadi di Sulawesi Tenggara.
Memberdayakan jasa asing adalah kebijakan pragmatis. Di satu sisi, pemerintah membutuhkan sumber daya manusia berkualitas tinggi secepatnya, yang harus diakui lebih banyak tersedia dari luar negeri, namun hal itu juga harus menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Lantas, apakah fenomena tenaga kerja asing adalah hal baru di Indonesia?
Sejarah memperlihatkan bagaimana orang-orang asing dan keahliannya membentuk Indonesia di masa lalu, setidaknya sejak kedatangan bangsa-bangsa Barat. Perusahaan Dagang Hindia Timur (VOC) adalah perusahaan multinasional pertama yang mempekerjakan begitu banyak orang-orang asing non-Belanda, selain orang-orang Belanda, dalam struktur kepegawaiannya. Sebagian dari mereka datang dari Jerman untuk bekerja sebagai pedagang atau tentara VOC, seawal-awalnya pada paruh pertama abad ke-17. Banyak dari mereka sukses dan kembali ke Eropa dengan pundi-pundi kekayaan.
Jika sesama bangsa Eropa ditempatkan dalam struktur yang bergengsi, maka untuk sektor pekerjaan kasar VOC lebih memilih untuk mendatangkan buruh-buruh dari China. Gubernur Jenderal VOC ke-4, Jan Pieterzoon Coen, lebih mempercayakan orang-orang Cina untuk membangun perekonomian Batavia karena mereka dianggap ulet dan rajin, daripada orang-orang pribumi yang pemalas, sulit diatur, dan cenderung memusuhi pedagang asing.
Maka, lahirlah gelombang besar kedatangan orang-orang Cina dengan dorongan ekonomi, setelah sebelumnya mereka datang untuk misi militer (invasi Mongol-Cina ke Jawa, 1293) dan diplomatik (ekspedisi Cheng Ho, 1405-1430). Tidak hanya menjadi kelompok dagang perantara bagi Belanda dan masyarakat pribumi, orang-orang Cina juga mulai dipekerjakan sebagai kuli.
Geger Pecinan 1740 yang menyebabkan terbunuhnya 10.000 Cina Batavia, dengan kecemburuan sosial ekonomi Cina-Belanda sebagai salah satu faktornya, rupanya tidak menyurutkan para pembesar lokal di Nusantara untuk menggunakan jasa pekerja Cina. Pertambangan emas Sambas dan timah Bangka Belitung diserbu oleh kuli-kuli kontrak Cina selama abad ke-18 dan 19. Di Jawa, kantong-kantong pecinan di kota-kota besar pun ikut meramaikan perekonomian.
Ketika tanam paksa berakhir dan modal asing membuat lahan-lahan perkebunan baru dibuka di Sumatra pada paruh akhir abad ke-19, kuli-kuli Cina kembali menyerbu. Salah satunya perkebunan tembakau Deli, Sumatra Timur. Pada akhirnya, ratusan ribu kuli Cina datang ke Sumatra selama periode 1888 hingga 1931, sebelum digantikan oleh kuli-kuli dari Jawa akibat ongkos kuli-kuli Cina yang kian mahal.
Masa awal kemerdekaan meninggalkan lubang besar dalam dunia kerja di Indonesia. Ahli-ahli Belanda seperti, insinyur, teknisi, administrator, dan lain-lain, berangsur-angsur meninggalkan Indonesia akibat sentimen anti-Belanda yang menggelora. Perekrutan tenaga kerja asing spesialis menjadi solusi, seperti yang dilakukan Pusat Urusan Tenaga Ahli Bangsa Asing (PUTABA), lembaga pemerintah yang berhasil merekrut beberapa ratus ahli asing dari Eropa pada 1952.
Sebagian pekerja asing ini juga bekerja pada pemerintah. Seperti Herbert Feith, Indonesianis ternama asal Australia, yang sempat mengecap pengalaman sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Penerangan selama kurun 1951-1952. K'Tut Tantri alias Muriel Stuart Walker, perempuan Skotlandia-Amerika yang sempat membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan siaran-siaran radionya selama masa Perang Surabaya, juga sempat bekerja di departemen yang sama.
Sukarno juga menyerukan proses transfer keahlian dan teknologi dari bangsa-bangsa asing kepada bangsa Indonesia sebagai elemen penting pembangunan. Proyek-proyek infrastruktur besar pun mulai dikerjakan oleh ahli-ahli asing, seperti pembangunan bendungan Jatiluhur di Purwakarta pada medio 1950-an oleh kontraktor Prancis dan renovasi bandara Tuban (kini Ngurah Rai) di Bali pada medio 1960-an yang dikerjakan oleh insinyur-insinyur Jerman.
Sedangkan di masa Suharto, seiring dengan perluasan perizinan modal asing, pekerja-pekerja asing berkerah putih pun menyerbu Indonesia dengan investasi-investasinya dan menyokong politik ekonomi pembangunan Orde Baru.
Kuota dan Kontrol
Sesungguhnya tidak ada yang salah jika pemerintah Indonesia ingin menggunakan jasa tenaga kerja asing, asalkan keberadaan mereka berada dalam koridor hukum yang sesuai dan terkontrol. Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing yang terlihat memudahkan orang asing untuk bekerja di Indonesia perlu dikawal dengan seksama. Aturan-aturan seperti pelarangan pekerja kasar asing, kewajiban berbahasa Indonesia bagi pekerja-pekerja asing, dan efeknya akan terbukanya kuota lapangan kerja bagi pekerja-pekerja lokal harus terwujud.
Tidak hanya itu, para pekerja Indonesia juga harus menyadari bahwa di masa global ini, ketika batas-batas negara pudar dan kualitas keahlian kerja seseorang cenderung diutamakan di mata para pemberi kerja daripada sentimen-sentimen kebangsaan, maka mereka juga perlu mengasah keahlian agar dapat bersaing dengan siapapun dan dimanapun.
Menariknya, meskipun sejak dahulu orang-orang Indonesia menggerutui kehadiran tenaga kerja asing, hal itu nampaknya tidak mendorong mental bersaing kita menggelora. Buktinya, sebagian kelompok politik dapat dengan mudahnya menggunakan isu ini untuk meluapkan kekesalan massa yang pada dasarnya cenderung malas bersaing. Agaknya, himbauan Tan Malaka berpuluh-puluh tahun lampau itu masih relevan.
@RahadianRundjan
Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.