Mengenal Sufi Syiah Tarekat Bektashi di Albania
22 Agustus 2024Para penganut Bektashi ini sama sekali tidak sesuai dengan gambaran klise Barat tentang muslim. Ini adalah aliran sufi Syiah yang telah turut membentuk kehidupan dan budaya Albania di Eropa Tenggara selama berabad-abad.
Di Albania yang multiagama saat ini, lebih dari separuh penduduknya adalah penganut agama Islam, selain itu ada juga Kristen Ortodoks dan Katolik.
Umat muslim di negara ini terbagi menjadi mayoritas muslim Sunni dan Bektashi, yang secara ideologis terkait dengan aliran Alevi di Turki.
Tarekat sufi menonjol dalam kepercayaan ini karena beberapa hal unik yang membuat pengikutnya tampak heterodoks di mata sebagian umat Islam. Sebagai gerakan sufi, Bektashi menekankan kesatuan seluruh keberadaan dan spiritualitas batin umat beriman.
Bentuk-bentuk eksternal dan kewajiban keagamaan bukanlah hal yang esensial bagi mereka. Sebab menurut penganutnya, siapapun yang dekat dengan Tuhan tidak bisa lepas dari-Nya, meski tidak mematuhi aturan agama, termasuk soal larangan minuman beralkohol.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Sikap ini menyebabkan praktik keagamaan Bektashi berbeda dengan praktik keagamaan kebanyakan umat Islam lainnya. Alih-alih salat lima waktu, mereka salat dua kali sehari, saat matahari terbit dan terbenam. Pria dan perempuan berdoa bersama di tekke, yakni rumah doa mereka yang dipimpin oleh pemimpin spiritual yang disebut darwis.
Ada juga pertemuan doa di rumah-rumah pribadi. Para perempuan umumnya tidak memakai hijab. Musik dan tari memainkan peran penting.
Setiap tahun umat Bektashi bertemu untuk berziarah di Gunung Tomorr di selatan Albania, di mana mereka merayakannya bersama dalam berbagai festival rakyat dan pertemuan keluarga.
Mereka secara khusus telah jadi bagian dari ‘wajah' Albania. Namun, minoritas kecil Bektashi juga bisa ditemui di Makedonia Utara, Montenegro, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Kosovo, dan Yunani.
Pendirinya seorang nonkonformis?
Asal usul tarekat ini terletak pada pendirinya, guru sufi Bektash Veli dari Provinsi Khorasan di timur laut Iran. Dia beremigrasi ke Anatolia pada abad ke-13, di mana dia masih dihormati oleh kaum Alevi hingga saat ini.
Namun, rincian tentang kehidupan dan pekerjaannya tidak jelas. Apakah Haji Bektash Veli sebenarnya nonkonformis atau apakah dia hidup lebih seperti orang suci Ortodoks -- masih jadi bahan perdebatan di kalangan peneliti, ujar pakar agama dan etnolog Leyla Jagiella, yang banyak membahas pertanyaan-pertanyaan ortodoksi dan heterodoksi dalam Islam.
Pada abad ke-15, ordo yang didirikan oleh Hajji Bektash Veli memperoleh pengaruh melalui kedekatannya dengan Janissari, pengawal Sultan di Istanbul, Turki.
Dengan perluasan Kekaisaran Ottoman ke Balkan, Bektashi pertama datang ke Albania dan Yunani sebagai pendeta Janissari Sunni. Tekke mereka di Albania selatan didokumentasikan dengan baik dalam catatan pengelana Turki, Evliya Celebi (1611-1685).
Cermin keberagaman Islam?
"Bektashi-isme berbeda dari apa yang kita pahami sebagai ortodoksi muslim saat ini,” kata Jagiella, "tetapi selalu ada keragaman besar dalam sejarah Islam.”
Ordo Bektashi menggabungkan sumber dan konten yang sangat berbeda, seperti pengaruh gerakan radikal Syiah pada masa awal Islam, ketika sunniisme, "arus utama ortodoks", ingin menentukan apa yang masih termasuk Islam dan apa yang tidak.
Sufisme, juga mempunyai pengaruh yang besar. Semua elemen berbeda ini mengalir ke dalam gerakan Bektashi pada abad ke-13 hingga ke-15.
Seperti halnya kaum Syiah lainnya, mereka menghormati menantu Nabi Muhammad, Imam Ali, istrinya Fatima, serta putra mereka Hassan dan Hussein, yang dianggap memainkan peran utama dalam tarekat ini. Namun, terkait dengan Bektashi, ada hal lain yang mungkin tidak disukai oleh sebagian penganut Sunni.
"Bektashi sering kali menggantung gambar Imam Ali di rumah mereka, yang bertentangan dengan larangan Islam terhadap gambar tersebut,” tulis pakar Albania asal Kanada, Robert Elsie, yang meninggal pada tahun 2017, dalam karya standarnya "The Albanian Bektashi Balkan.”
Larangan alkohol tidak dipatuhi, setidaknya oleh beberapa kaum Bektashi. Termos darwis bahkan dipajang di etalase di ruang resepsi pemimpin mereka, Baba Mondi, di Tirana.
Batasan dengan agama lain juga tidak jelas. Banyak Bektashi yang mengarahkan hati mereka tidak hanya kepada Nabi Muhammad, tetapi juga pada Yesus, karena bagi mereka kebenaran ilahi jauh lebih besar daripada denominasi dan agama yang ditulis oleh manusia. Hingga saat ini, masyarakat Bektashi juga menjunjung tinggi toleransi.
Namun, pandangan Barat terhadap Bektashi sebagian dipengaruhi oleh pandangan orientalis, papar sarjana agama Jagiella, dan antusiasme terhadap "aturan minuman muslim" dianggap menyesatkan karena Bektashi mengidentifikasi diri mereka dengan Islam. "Larangan alkohol dan gambar telah dibahas berulang kali sepanjang sejarah Islam, dan terdapat sikap berbeda terhadap hal tersebut,” tambahnya.
Model gambar Imam Ali atau Imam Hussein di Tekke dan rumah pribadi berasal dari tempat ziarah Syiah di Iran atau dari Najaf dan Karbala di Irak. Ada juga perdebatan dan posisi berbeda mengenai pertanyaan pelarangan gambar di kalangan mayoritas Islam Sunni.
"Dalam Islam Syiah, larangan terhadap gambar tidak pernah dipatuhi secara ketat,” kata Jagiella. Oleh karena itu, gambar-gambar ini tersebar luas di kalangan Islam Syiah.
Elemen sentral identitas nasional
Hubungan erat dengan nasionalisme Albania juga merupakan ciri khas Bektashi. Hal ini juga karena, tidak seperti muslim Sunni di Albania, mereka menggunakan bahasa Albania dan bukan bahasa Arab untuk pengajaran agama mereka, kecuali teks-teks utama dari Alquran.
Mereka berada di garis depan perjuangan kemerdekaan nasional dan merupakan elemen sentral identitas nasional Albania. Dengan dimulainya periode komunis, Bektashi, seperti semua komunitas agama lainnya di Albania, mendapat tekanan besar. Diktator Enver Hoxha (1908-1985) melarang semua praktik keagamaan pada tahun 1967 dan menyatakan Albania sebagai "negara ateis pertama" di dunia.
Dalam revolusi kebudayaan radikal, pemerintah mendorong serangan terhadap gereja, biara, dan masjid serta merusak tekke. Ketika undang-undang tersebut dicabut pada bulan November 1990, tak lama sebelum berakhirnya pemerintahan komunis, hanya enam tekke yang tersisa di seluruh Albania dan hanya ada satu darwis. Sangat sulit bagi Bektashi untuk pulih dari penganiayaan ini, tulis Robert Elsie.
Berbeda dengan kelompok muslim Sunni yang menerima dukungan dari Turki, dan gereja-gereja Kristen, jauh lebih sulit bagi mereka untuk mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk rekonstruksi dari luar negeri.
Saat ini ada minat baru terhadap spiritualitas dan budaya Bektashi. Meskipun mereka hanya berjumlah empat hingga lima persen dari masyarakat, mereka merupakan elemen penentu budaya rakyat Albania.
(ap/hp)