Mengembalikan Palestina ke dalam Peta
21 Mei 2014Di subdistrik Hebron dekat Beit Semesh terdapat petunjuk-petunjuk tersembunyi - bagian dari dinding batu, makam pemuka agama Islam, rumpun pepohonan dan pagar kuno. Ini semua terungkap melalui aplikasi iPhone baru yang membawa penggunanya menelusuri jejak bekas desa-desa Palestina.
Awal Mei 2014 sebuah organisasi nirlaba yang dikelola warga Israel dan Palestina bernama Zochrot, yang berarti mengingat dalam bahasa Ibrani, menggabungkan narasi mengenai Nakba dengan app teknologi tinggi untuk mengembalikan Palestina ke dalam peta.
App interaktif yang disebut 'iNakba' ini memetakan lebih dari 400 desa Palestina yang hancur pada tahun 1948 dan setelah itu dengan menggunakan pin-pin virtual.
Sekilas peta yang dijejali pin virtual ini tidak enak dipandang, namun foto-foto dan kesaksian memberi pengakuan bagi banyak pengungsi yang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat Nakba.
"Orang-orang mulai mengunduh lebih banyak foto desa mereka yang hancur dan menambahkan serta mengubah informasi, berbagi pengetahuan sejarah mereka," jelas pembuat app, Raneen Jeries, kepada DW.
Jeries mengatakan banyak pengungsi yang telah mengontak Zochrot dan bertanya apakah mereka dapat dipandu untuk mencapai desa-desa tertentu.
"Tidak mudah untuk menemukan lokasi yang telah hancur, karena sekarang sudah 66 tahun setelah Nakba dan banyak lokasi yang hancur telah menjadi permukiman Yahudi dan ada juga yang menjadi taman di bawah Dana Nasional Yahudi (KKL), sehingga harus masuk ke dalam taman nasional dan mencari reruntuhan."
Zochrot berusaha mempromosikan pengakuan serta mendorong tanggung jawab warga Israel atas ketidakadilan yang masih terus berlanjut dari Nakba.
Ikatan kuat pada desa yang hilang
Hanya ada sedikit sisa-sisa Beit Natif dekat Beit Shemesh, hanya 21 kilometer dari Hebron. Kini lahan itu telah diambil alih warga Yahudi Israel yang membangun kibbutz atau permukiman kolektif, yang kemudian dikenal sebagai kota Yahudi.
Dulunya wilayah ini merupakan sebuah kampung Arab yang megah dengan populasi 2.150 orang dan pernah menjadi salah satu desa terkaya di wilayah tersebut.
"Saya rasa sebentar lagi saya tutup usia, tapi saya masih ingin kembali, karena lahan yang sekarang saya tinggali bukan tanah kelahiran saya," ujar Mustafa Ibrahim Abu Srur, yang berusia 81 tahun, kepada DW.
Kisah Abu Srur dan desa yang hilang berlanjut pada halaman kedua
Abu Srur baru berusia 14 tahun ketika tentara Israel menyerang desanya pada suatu malam. Ia mengingat masa sebelum tahun 1948 ketika populasi Arab dan Yahudi hidup berdampingan secara damai di Beit Natif. "Hubungan terjalin baik. Yahudi, Kristen dan Muslim hidup bersama dengan damai."
Ia ingat betul tanggal 21 Oktober 1948 saat para tentara mendobrak rumah-rumah di desanya, menembaki warga dan mengebom bangunan. Tiga dari empat temannya tewas dalam serangan awal, namun keluarganya berhasil kabur ke wilayah perbukitan tak jauh dari desa hanya berbekal pakaian yang mereka kenakan.
Keluarganya menjadi salah satu penghuni pertama kamp pengungsi Aida, di bagian utara Bethlehem. Lahan yang ditempati kamp ini dulunya adalah kebun jeruk nipis, buah zaitun dan pohon jeruk hingga disewakan kepada pengungsi Nakba.
Sebuah badan PBB dibentuk untuk menanggulangi krisis pengungsi Palestina dan menyuplai setiap keluarga dengan sebuah tenda berwarna hijau, tak peduli berapapun jumlah anggota keluarganya.
"Tendanya tidak begitu kuat - langsung rusak dengan terjangan angin dan saat itu musim dingin. Sebuah bencana. Kehidupan begitu berat, semuanya sulit. Kami tidak punya pekerjaan, tak punya uang. Satu-satunya makanan yang kami dapat adalah susu untuk bayi dari Palang Merah," kisah Abu Srur.
Dua tahun kemudian sebuah struktur permanen dibangun, dan butuh 20 tahun hingga jalan beraspal masuk ke kamp, sehingga selama itu juga para pengungsi harus berhadapan dengan lumpur yang tingginya bisa mencapai lutut.
Masa depan yang cerah?
Kini Aida sudah ramai dengan jalan beraspal, perumahan dan toko. Taksi-taksi berwarna kuning berlomba-lomba mencari penumpang, pakaian bergelantungan di luar rumah dan anak-anak berjalan dengan riang membawa tas sekolah yang lebih besar dari tubuh mungil mereka.
Kehidupan Abu Srur bisa dibilang terletak di Aida, bersama enam anak lelaki dan lima anak perempuannya, namun ia masih mendambakan rumah tempat ia dilahirkan. Tiga anak lelakinya masuk penjara ketika Intifadhah Pertama. Seorang cucu lelakinya, Mohammed, mengatakan "Aida adalah tempat bagi ayam, bukan manusia."
Telah muncul banyak kesalahpahaman mengenai Nakba seraya topik ini dilarang untuk diajarkan di sekolah-sekolah di Israel. Pada akhir 80-an para pakar sejarah Israel akhirnya dapat mengakses arsip negara yang lama disimpan dan menapak tilas periode ini.
Teks resmi sebagian besar mengkonfirmasi apa yang selama ini selalu diklaim warga Palestina bahwa mereka dipaksa meninggalkan rumah.
Menurut Hanin Zoabi, seorang anggota parlemen Israel, mengatakan bahwa Nakba bukan sekedar sebuah peristiwa: "Ini adalah sebuah proses. Israel mengklaim sekitar 500.000 hektar lahan yang dimiliki pengungsi dan seluruh aset mereka, dan ini saja belum cukup."
Zoabi adalah perempuan Arab Israel pertama yang terpilih masuk Knesset dari sebuah partai Arab. "Yang terus dilakukan Israel pasca tahun 1948 adalah meng-Yahudi-kan wilayah ini. Saya tidak bisa mempelajari identitas saya di sekolah, jadi bukan hanya sekedar mencaplok lahan tapi juga mengambil identitas saya dan menciptakan identitas baru untuk saya," ujarnya.
App 'iNakba' bisa menjadi langkah pertama untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai penderitaan mereka yang terjerat Nakba.