Mengejar Peruntungan di Malaysia
16 Agustus 2013Setiap pagi selalu sama. Kala Robert Adesina dari stasiun pusat Kuala Lumpur berangkat kerja, semua mata di dalam gerbong kereta tertuju padanya. Para penumpang itu langsung saja diam seribu bahasa.
Kurang Pengetahuan Mengenai Afrika
"Mungkin mereka pikir saya dari angkasa luar ", cerita Adesina. Lelaki Nigeria ini duduk di sebelah seorang perempuan, yang langsung menutupi hidung dan mulut dengan tangannya, seakan menghindari bau asing yang dikira akan menyerangnya.
"Bisa dimengerti bila itu dilakukan oleh anak-anak yang kaget menemui hal tak dikenal“, tutur Adesina. "Tapi di sini, itu kerap dilakukan oleh orang dewasa." Adesina tidak bisa mengerti, kenapa sedikit sekali orang Malaysia, yang memiliki pengetahuan tentang Afrika.
Angka resmi menunjukkan, sekitar 80.000 orang Afrika datang ke Malaysia pada tahun 2012. Hampir sepertiganya menggunakan visa studi. Namun baik yang bekerja maupun yang belajar, semua pendatang dari Afrika mengharapkan kehidupan yang lebih baik di Malaysia daripada di negaranya. Seringnya, impian ini tidak terwujud.
Migrasi Suatu Opsi?
Michael Oni secara kebetulan bisa ditemui di sebuah pasar di pinggiran kota. Ia rajin menceritakan bahwa ia lulusan jurusan ekonomi dari sebuah universitas Malaysia.
Orangtuanya di Nigeria mengira, ia masih di Malaysia untuk bekerja. „Saya sih rasanya seperti angka statistik tentang Afrika“, jelas Oni. „Saya diperlakukan seperti orang, yang patut dikasihani, seperti salah seorang warga Afrika yang mau melakukan apa saja agar bisa bertahan hidup.“ Oni tidak melihat adanya peluang untuk maju di negaranya sendiri: „Saya ingin bisa berhasil di sini, bekerja dan berkarya, mengembangkan diri.“
Oni bercerita bahwa sejumlah anggota gang kriminal Nigeria di Kuala Lumpur telah menawarinya pekerjaan, sebagai pedagang narkoba, mucikari dan penipu. Sebagian besar warga Afrika di Malaysia hidup biasa dan menjaga nama baiknya. Namun di Kuala Lumpur memang ada kriminal Afrika yang menguasai kehidupan gelap.
Seorang pemimpin gang yang aktif di berbagai kawasan Kuala Lumpur menceritakan pengalamannya.
"Apa kamu kira, saya tidak pernah berusaha menghasilkan uang secara terhormat di Kuala Lumpur?" tanya lelaki yang tak mau disebut namanya itu, karena terhitung sebagai pendatang ilegal. "Bagi orang Asia, saya hanyalah seorang monyet hitam. Mereka bahkan tidak pernah menatapku secara langsung." Rencananyapun gagal. „Sangat sulit bagi seorang seperti saya untuk melanjutkan studi di sini.“
Membantu keluarga di rumah
Dengan berdagang narkoba pemimpin gang itu bisa menabung dan mengirimkan uang ke keluarganya di Nigeria. "Kalau saya hanya bisa mencari nafkah dengan cara ini, yakh apa boleh buat“.
Kofi Addo, seorang karyawan di Kedutaan Besar Ghana mengeluhkan bahwa di Malaysia, semua orang Afrika dianggap sama. Tidak ada sedikitpun pembedaan.
„Ini juga kesalahan media lokal, Dalam laporan-laporan mengenai kejahatan atau masalah migrasi, kerap disebutkan bahwa pelakunya seorang Afrika. Negara asalnya, tidak pernah disebutkan.
Tanyanya, mungkinkah para jurnalis pintar itu tidak menyadari bahwa ada sedikitnya 55 negara di Afrika? "Seharusnya mereka mulai menulis tentang sumbangan yang diberikan oleh para pendatang bagi negaranya, khususnya dari kami bangsa-bangsa Afrika", tegas Kofi Addo.
Rasisme dan Booming Ekonomi
Menurut dosen psikologi Tony Epstein, sikap masyarakat Asia Tenggara terhadap orang Afrika lebih disebabkan oleh kurangnya pengetahuan daripada rasisme. "Mereka memiliki pengalaman dengan jaman kolonial Eropa, tapi tidak punya pengalaman dengan masyarakat dan kebudayaan lain, kecuali yang Asia“.
Steven Njordge, dosen ekonomi di University of Malaya, melihat krisis Eropa sebagai salah satu alasan semakin banyaknya orang Afrika yang datang ke Malaysia. "Asia yang mengalami pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan yang enarik bagi banyak orangm yang ingin membantu keluarganya keluar dari kemiskinan.“
Sementara juga di Malaysia, banyak tenaga ahli dari Afrika yang mengharapkan suatu masa, dimana rakyat di masing-masing negara tidak perlu lagi ke luar negeri untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Robert Adesina optimistis: "Saya percaya, bahwa suatu saat benua Afrika akan memberi kesempatan hidup yang lebih baik kepada penduduknya, bahkan juga kepada orang dari belahan dunia lain."