Mengatasi Kehilangan Orang yang Dikasihi di Negeri Orang
13 Januari 2023Windy Molin lahir di Sukabumi dan besar di Jakarta. Sekarang ia bekerja sebagai executive assistant, atau asisten eksekutif pada sebuah perusahaan di Swiss. Jalan yang membawa dia ke negara di pegunungan Alpen itu berliku-liku.
Windy mengaku dari dulu memang tidak terlalu ambisius. "Yang penting senang dengan pekerjaan, gitu aja," katanya. "Dari keluargaku, bisa dibilang aku yang paling rendah pendidikannya," katanya lagi sambil tertawa. Setelah menuntut pendidikan di LPK Tarakanita, dia pernah bekerja di Indonesia di Jakarta, di Jakarta Setiabudi Property. Setelah itu dia bekerja pada perusahaan ABB dan ditempatkan di Sulawesi. Di sana dia bekerja sebagai office manager, atau manajer kantor. Tapi ketika itu, tahun 1997, krisis ekonomi mulai menerpa Indonesia, dan tak lama kemudian kantor ABB di Jakarta ditutup.
Untungnya saat itu Windy ditawarkan untuk melakukan magang di kantor ABB di kota Baden di Swiss. "Ya mau lah, kan mau ditutup aku ga ada masa depan lagi di situ. Dan di sana, alhamdulillah diangkat menjadi tenaga permanen." Begitu cerita Windy. Di perusahaan itulah dia berkenalan dengan pria Swiss yang kemudian jadi suaminya. Ketika itu, Windy masih bekerja di Baden, sementara calon suaminya ditempatkan di Taiwan.
Ia kemudian dipindahkan ke Meksiko, dan Windy ikut ke sana, tetapi sebagai pegawai ABB pula. "Aku terus kerja. Aku ga bisa ga kerja," kata Windy. Di Meksiko mereka menikah, dan karena mereka kerap berpindah kota, kedua putra mereka yang kembar lahir di San Diego, Amerika Serikat. Setelah punya anak, mereka memutuskan untuk menetap, sehingga akhirnya kembali ke Swiss, dan tinggal di kota Zürich.
Pekerjaan elemen penting dalam hidupnya
Setelah ABB akhirnya mundur dan dibeli oleh perusahaan lain, Windy akhirnya pindah ke perusahaan Lonza yang bekerja di bidang farmasi. Di sana dia bekerja sampai sekarang. Tapi menanggapi komentar bahwa untuk mencapai posisinya sekarang pasti orang butuh kepercayaan diri yang besar, Windy tetap rendah hati dan mengatakan, awalnya karena kebetulan ada tawaran magang ke Baden itu. "Kalo ga, mungkin aku juga ga PD [percaya diri]." Selain itu, perusahaan tempat dia bekerja selama ini sifatnya multi nasional. Sehingga orang tidak harus bisa berbahasa Jerman.
Dia bercerita, kerap ditawarkan untuk ikut traning tambahan di bidang lain, misalnya di bidang human resources atau sumber daya manusia. Tetapi dia mengatakan senang sekali dengan pekerjaannya ini, dan dia hanya ingin jadi yang terbaik di bidangnya dan pekerjaan yang sedang dia tekuni sekarang.
Dia menjelaskan, untuk bisa melaksanakan pekerjaannya, dia harus mampu menggunakan komputer dan program, terutama Power Point, karena dia harus membuat banyak presentasi. "Tanpa presentasi yang baik, bos kita ga bisa jalan." Karena bosnya harus menunjukkan apa yang sudah dilaksanakan bagian yang dipimpinnya, sehingga semua infomasi harus disatukan, dan dibuat wrap up atau rangkumannya. Windy bertugas menyatukan dan membuat rangkumannya.
Selain itu, bosnya juga harus bisa mengandalkan dia dalam hal waktu. Dialah yang harus mengatur jadwal bosnya. Dia juga yang harus menentukan mana yang lebih penting, karena jadwalnya sangat padat. Oleh sebab itu, dia harus ikut hampir semua rapat yang dihadiri bosnya, agar tahu kemajuan, dan menetapkan prioritas bagi bos.
Jika bos sedang perjalanan ke luar negeri, dia juga harus siap untuk memberikan informasi jika terjadi sesuatu, atau juga untuk mengganti jadwal. Bagusnya, jika bos sedang berada di luar negeri, dia bisa bekerja dari rumah, sehingga sebetulnya waktu kerjanya sangat fleksibel.
Dia menambahkan lagi, orang yang berada dalam posisinya di perusahaan, menjadi tangan ke dua dari pimpinan. "Orang harus bisa jadi the first impression [kesan pertama yang baik]," begitu dijelaskan Windy lagi. Di samping itu, harus hafal jadwal bos di luar kepala, jika tiba-tiba bos menelfon dan menanyakan jadwalnya di hari tertentu.
Dia menerangkan pula, orang-orang yang baru terjun ke dunia pekerjaan, akan mulai dengan melakukan pekerjaan sekretaris biasa. "Jika bos kita eksekutif, setelah berpengalaman sedikitnya sepuluh tahun, orang bisa menjadi asisten eksekutif." Setelah jenjang itu ada jenjang selanjutnya, di mana orang juga bertugas mengorganisir event besar, misalnya pertemuan besar.
Dia menekankan, dalam banyak segi, seorang asisten eksekutif harus cocok dengan bos. Di sepanjang kariernya, Windy juga telah berganti bos berkali-kali. Tapi dia mengatakan, semakin sering orang mengalami pergantian, semakin mudah pula orang menyesuaikan diri.
Di lain pihak dia sudah pernah pula mengalami tidak cocok dengan bos. Dia bercerita letak ketidak-cocokannya terutama dalam hal komunikasi, yang sangat penting dengan bos. Selain itu, yang bisa jadi masalah adalah penyesuaian waktu kerja antara bos dan asisten. Ketika mengalami tidak cocok dengan bos, dia akhirnya meminta pergantian intern, dan bosnya kemudian mencari asisten baru. "Itu biasa kok," kata Windy.
Dari negara tempat dia tinggal sekarang, dia jelas mendapat pelajaran besar sehingga bisa berdiri sendiri. Selain itu, yang sangat jelas pula, "Malu bertanya sesat di jalan," kata Windy. Dia menambahkan, "Jangan melakukan sesuatu yang based on assumption [berdasar pada asumsi] saja." Selain itu, dia juga belajar untuk mengungkapkan sesuatu dengan cara langsung, "Straight to the point [langsung ke pokoknya], ga banyak basa-basi, nanti basi beneran," kata Windy.
Kehilangan suami di negeri orang
Suatu hari ketika suaminya pergi untuk berolah raga di luar rumah, dia tidak kembali lagi karena tiba-tiba menderita serangan jantung. Tahun itu, segalanya berubah total dalam hidup Windy dan kedua putranya. Awalnya mereka tinggal di rumah, setelah suaminya meninggal, mereka pindah tinggal di sebuah apartemen. Ia juga harus mengganti asuransi dan mengurus berbagai hal lainnya yang berkaitan dengan keluarga dan tempat tinggal, yang sebelumnya diurus seratus persen oleh suaminya. Karena tidak biasa mengurus hal-hal itu, semuanya jadi tantangan besar yang bertumpuk dalam waktu singkat, dan tiba-tiba harus diatasi Windy.
Oleh sebab itu, dia menjadi sangat sibuk, karena hanya bisa memikirkan kedua anaknya yang waktu itu baru berusia 12 tahun. "Jadi aku ga ada waktu untuk berkabung," kata Windy, karena dia harus bertanggungjawab untuk semuanya. Tahun itu adalah tahun yang sangat kelam baginya. Masalah yang datang juga bertubi-tubi. Dia bercerita, tahun itu, entah mengapa, mobilnya tiba-tiba tidak berfungsi, padahal bukan mobil tua.
Selama beberapa tahun setelah kepergian suaminya, ia terus menggebu-gebu bekerja dengan pikiran bahwa dia dan keluarganya harus bisa bertahan. Ketika orang tuanya datang berkunjung, ia bahkan menghindar duduk di satu meja dengan orang tuanya. Karena ibunya biasa membelai-belai dia, dan membujuk dia untuk bersabar dalam menghadapi situasi sulit. Sementara ketika itu, dia tidak bisa menerima perhatian dari orang tuanya yang diberikan dalam bentuk seperti itu. "Bukan karena aku ga mau, tapi karena kalau aku udah down [merasa sedih] dan nangis, aku ga akan bisa berhenti."
Karena tidak ada kesempatan untuk berkabung, dan beberapa tahun bekerja keras dalam kondisi mental yang sangat terbebani, dia akhirnya mengalami burn out dan terpaksa dirawat beberapa bulan di sebuah klinik, sampai sembuh. Di klinik dia menyadari bahwa ia dulu perlu melewati masa berkabung.
Mungkin ketika itu cuti beberapa bulan, seperti disarankan dokter. "Cuman aku ga mau. Ketakutan aku. Karena kalau aku di rumah. Jadinya aku jatuh, nangis. Aku ga mau itu." Tapi akibatnya tidak bagus, begitu kesimpulan Windy. Karena psikisnya sebetulnya tidak bisa menahan itu semua.
Di samping itu, dia selalu mengatakan, dia tidak berhenti bekerja demi anak-anaknya. Tapi kemungkinan dia hanya memakai anak-anaknya sebagai alasan saja. "Sekarang kalau aku pikir, oh, ya iya juga sih," kata Windy lirih.
Setelah sembuh, jika menengok kembali ke masa itu, dia berkata "Pelajarannya, kalau kamu ingin menyelamatkan orang lain, selamatkan dulu diri sendiri." Begitu ditekankan Windy. Ia menambahkan, sebetulnya semua orang tahu itu, tetapi orang tidak memperhatikan itu lagi, jika tiba-tiba terdampar pada situasi yang sulit, melainkan hanya mengikuti dorongan dari hati sendiri.
Dia bercerita pula, kehilangan suaminya adalah kehilangan besar, karena suaminya sudah lebih dari suami, melainkan juga seperti saudara dan teman baik pula.
Dari pengalaman berat itu, hal positif yang dia petik adalah, dia sekarang merasa, banyak masalah yang dulu rasanya berat sekarang tidak mengganggu lagi, dan dia kadang merasa orang lain terlalu banyak mengeluh.
Dia mengatakan sangat tertolong dengan terapi yang dia peroleh. "Mungkin aku sekarang jadi lebih dewasa lagi, lebih bijaksana, lebih dankbar [berterima kasih], lebih bersyukur." (ml/hp)