Mengapa sulit sekali menulis tentang Jerman
11 Desember 2020Teman saya yang baru punya blog pernah bertanya lewat layanan pesan singkat, "Blogmu isinya cerita tentang Jerman, ya?” Pesan yang diketik dalam sepersekian detik itu membuat saya berpikir cukup lama, pernah nulis tentang Jerman gak ya?
Sebagai penulis serabutan (re: tidak konsisten dan tidak jelas karena ada dimana-mana), rasanya paling mentok saya membahas keinginan ingin pulang dan adulting (yang kebetulan terjadi di Jerman) secara general. Tiga tahun saya tinggal di sini dan tidak ada satu pun tulisan saya yang secara eksplisit membahas tentang kehidupan saya di Jerman.
Pengaruh genre?
Bisa jadi. Saya masih lebih sering menulis fiksi atau non fiksi yang difiksi-fiksikan. Intinya, yang banyak emosinya. Kalau menulis tentang pengalaman, entah mengapa rasanya saya harus menulis sesuatu dengan seobjektif mungkin. Sekedar 5W+1H. Padahal pengalaman itu subjektif ya? Sepertinya itu masalah diri saya saja sendiri, terkungkung dalam formula "how to write a good experience.”
Seandainya saya benar-benar ingin membahas tentang per-Jerman-an, saya juga bingung harus menulis apa. Kehidupan di Jerman itu kompleks sekaligus sederhana. All these feelings and its only become words, begitu tulisan di salah satu buku puisi yang pernah saya baca. Ketika menulis non fiksi terkadang saya merasa harus mengangkat tema tersebut secara komprehensiv dan objektif, tidak cuma dari satu perspektif.
Rasanya tidak etis untuk mengindah-indahkan Jerman dan jualan mimpi, padahal saya tahu sendiri jungkir balik selama hidup disini. Tidak mungkin juga saya mengolok-olok negara ini-terlepas dari segala sambatan di media sosial dan saat jam makan siang, karena kalau dipikirkan lagi, tidak seburuk itu, kok. Saya tidak mau terlalu dramatis, padahal untuk menjadi realistis melalui bidang ini juga sulit.
Karena kompleksitasnya itu, saya bingung bila harus memilih satu tema untuk benar-benar dibahas secara mendalam. Another TMI, sepertinya memang saya ini tipe generalis yang pikirannya keburu merambah kemana-mana. Jadi susah sekali untuk fokus hanya pada, misal pengalaman sekolah. Gatel. Jadi mau menulis tentang yang lain juga, tapi tidak tahu apa bisa (atau lebih tepatnya, mau) untuk membahas semuanya satu-satu secara mendalam lewat artikel yang berbeda. Harap maklum, memang pada dasarnya serabutan dan anaknya all over the place.
Selain alasan yang sebetulnya salah saya itu, kalau saya harus cerita tentang pengalaman entah mengapa rasanya saya seolah sedang menunjukan hidup saya yang sebetulnya biasa-biasa ini. Iya, memang hidup saya di Jerman ini biasa-biasa saja. Gak menarik. Gak bisa menarik pasar kalau dijadikan film (padahal dilirik untuk jadi bahan script film pun, enggak).
Tanpa berusaha mendiskreditkan orang-orang yang merasa hidupnya serupa dengan saya dan cukup merasakan naik turunnya, rasanya mau hidup di manapun juga akan begini-begini saja. Mungkin terdengar seperti sebuah inkonsistensi, tadi katanya jungkir balik, kok sekarang biasa saja? Lebih tepatnya adalah di mana saja memang harus jungkir balik. Cuma kebetulan saja sedang di Jerman, jauh dari rumah dan bahasanya susah, jadi jungkirnya agak seret untuk balik.
Masih sangat Indonesia
Bisa saja saya menganggap hidup saya biasa juga karena saya, ehem, belum terlalu fasih dalam berbahasa Jerman. Fasih yang saya maksud disini, bukan cuma dalam situasi formal, tapi juga kehidupan sehari-hari. Saya masih sangat Indonesia.
Meskipun saya tinggalnya jauh sekali di pelosok Jerman, lingkungan pergaulan saya mayoritas orang Indonesia, masih sering berkumpul juga dengan teman Indonesia. Pokoknya kalau tidak pergi kuliah, rasanya saya tidak akan pernah bicara dengan native disini. Agak ironis ya, jauh-jauh sekolah kesini tapi malah kembali mencari sepersekiannya dari rumah. Tapi bagaimana lagi, melebarkan zona nyaman itu lebih mudah teori daripada prakteknya.
Sepertinya yang saya rasakan ini, juga banyak dialami oleh para pengguna multi bahasa seperti saya. Setiap kali saya masuk kelas rasanya otak saya dipaksa untuk mengucapkan basa-basi yang tidak pernah diajarkan atau terpikirkan dalam bahasa Jerman seperti, "Weekend kemarin ke mana?” atau sekedar gosip tentang profesor tertentu.
Hei, gosip kan, masih pemegang rangking satu dalam masalah merekatkan hubungan antar manusia!
Tentang ngobrol Jerman
Kadang saya juga ingin sekali bilang sama kolega-kolega saya yang berasal dari Jerman (masih susah menyebut mereka sebagai teman, karena… ya memang bukan betulan teman?) kalau bagi saya ini lebih menyenangkan pakai bahasa Indonesia atau mungkin, bahasa Inggris. "Hallo Leute, ich bin mehr interessant, wenn ich auf Indonesisch sprechen!”
Ujung-ujungnya saya cuma cuma bisa ngobrol haha hihi bersama teman dari Indonesia dan kadang, sesama pelajar asing pakai bahasa Jerman seadaanya. Pengakuan, terkadang saya tidak begitu mengerti dengan apa yang mereka bilang. Antara betulan tidak jelas atau memang betulan tidak lucu saja. Asal ketawa saja, biar tidak kaku.
Masalah saya dan perbahasaan ini, sepertinya tidak akan pernah selesai. Begitu juga dengan masalah-masalah lain yang terkait dengan ‘per-Jerman-an'. Nanti kalau saya pindah ke tempat lain, pasti juga akan ganti masalah. Tapi semoga ketika saya punya masalah lagi (atau kalau disebut dengan lebih positif, pengalaman) saya sudah bisa menuliskannya dengan lebih baik. Tidak kebanyakan alasan hanya untuk menjawab, "Ya gak tertarik aja nulis tentang ini.”
Oh iya, pesan dari teman saya itu pada akhirnya saya jawab dengan, "Belum nih. Doain aja ya.” Lengkap dengan emoji mengedipkan mata. Sangat diplomatis.
*Rizqi Maytasari adalah seorang mahasiswa Betriebswirtschaftslehre di Zittau, Jerman.
**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: [email protected]. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)