Mengapa “Poros Baru Asia” Vladimir Putin Berpotensi Gagal?
20 September 2022Saat berbicara di Forum Ekonomi Timur pada awal September lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin berkomitmen untuk memisahkan ekonomi negaranya dari negara-negara Uni Eropa yang telah menjatuhkan sanksi besar-besaran
"Peran dari ... negara-negara di kawasan Asia Pasifik telah meningkat secara signifikan," ungkap Putin pada forum yang diadakan di kota pelabuhan Pasifik Rusia, Vladivostok, seraya menambahkan bahwa Asia memiliki "peluang baru kolosal bagi rakyat kita."
Doktrin angkatan laut Rusia yang baru diperbarui, yang diterbitkan pada 31 Agustus, juga bertujuan untuk meningkatkan eksistensi militernya di Timur.
Sanksi yang menusuk
Ekonomi Rusia telah sangat terpukul oleh sanksi internasional yang dijatuhkan awal tahun ini, meskipun pemerintah menganggap bahwa mereka hanya akan berkontraksi sebesar 3% pada tahun 2022.
"Ini adalah kebutuhan geopolitik dan keinginan tulus untuk memposisikan Rusia sebagai sumber energi, sumber daya, peralatan pertahanan, dan dalam beberapa kasus, teknologi nuklir untuk ekonomi Asia yang sedang berkembang," kata Philipp Ivanov, CEO dari sebuah kelompok cendekiawan, Asia Society Australia.
Poros lain yang gagal?
Para analis telah menyarankan bahwa poros terbaru Putin akan sama tidak berhasilnya dengan kecenderungannya ke arah Asia pada 2012 lalu, yang dijuluki kebijakan "Turn to the East” Moskow.
"Saya menyebut kegagalan lainnya, karena sekali lagi, Rusia tidak memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada kawasan ini secara strategis atau ekonomi," kata Joshua Kurlantzick, peneliti senior untuk Asia Tenggara di Council on Foreign Relations.
Perdana Menteri India Narendra Modi mengatakan Rusia perlu "bergerak ke jalur perdamaian" setelah menghadiri KTT regional di Uzbekistan pekan lalu. Putin telah secara terbuka mengakui bahwa Presiden Cina Xi Jinping memiliki "pertanyaan dan kekhawatiran" tentang perang.
Analis menganggap bahwa Moskow telah menjadikan dirinya lebih seperti "mitra junior" Beijing sejak invasinya ke Kyiv.
Sikap netral terkait Ukraina
Singapura menjadi satu-satunya negara Asia yang menjatuhkan sanksi sepihak mereka terhadap Rusia karena invasi Ukraina.
Di bawah poros pertama, ASEAN meningkatkan hubungannya dengan Rusia menjadi "kemitraan strategis" pada tahun 2018, empat tahun setelah Rusia "mencaplok" Krimea, bagian dari Ukraina. Namun, perdagangan ASEAN-Rusia hanya tumbuh menjadi sekitar $20 miliar pada tahun 2021 — naik dari $18,2 miliar pada tahun 2012.
Angka itu tidak ada artinya dibandingkan dengan perdagangan ASEAN dengan Cina senilai $878 miliar dan Amerika Serikat senilai $441,7 miliar pada tahun 2021. Perdagangan ASEAN dengan Taiwan bernilai hampir empat kali lipat dibandingkan dengan Rusia.
Sebagian besar negara Asia Tenggara telah berusaha untuk tetap netral terkait Perang Ukraina. Menurut data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Rusia telah menjadi penyedia utama peralatan militer ke wilayah tersebut sejak tahun 1990.
Energi yang berkembang pesat
Menurut Frederick Kliem, seorang peneliti dan dosen di S Rajaratnam School of International Studies di Singapura, tidak ada anggota ASEAN yang "melihat masa depan ekonomi mereka dengan Rusia" kecuali Myanmar di bawah kuasa junta militer.
Namun, satu bidang di mana Rusia bisa merangkul beberapa teman adalah dalam kerja sama energi, tambahnya. Banyak negara Asia memperdebatkan apakah akan mengejar pembangkit listrik tenaga nuklir, pada saat yang sama ketika investasi di sektor energi terbarukan mereka sedang besar-besarnya.
Pada Juli lalu, pemerintah Indonesia mengatakan sedang mempertimbangkan tawaran Rusia untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir. Pada bulan yang sama, NovaWind — anak perusahaan raksasa energi Rusia Rosatom — menandatangani kesepakatan dengan Vietnam untuk mengembangkan ladang angin 128MW, proyek luar negeri pertama mereka.
(yas/ha)