Mengapa Korban Perdagangan Manusia di Afrika Terus Ada
31 Juli 2024Mereka pergi ke kota asing sebagai au pair atau mempercayakan diri mereka kepada para penyelundup dalam perjalanan mereka menuju ”masa depan”. Seringkali para korban baru menyadari seiring berjalannya waktu bahwa mereka telah jatuh ke dalam cengkeraman para penyelundup manusia.
Banyak orang-orang dari Nigeria, Mali, Niger atau Senegal yang harus melewati Gurun Sahara dan kemudian Mediterania untuk menggapai hidup baru di Eropa.
Rute-rute ini mengancam jiwa - karena selain bahaya perjalanan juga ada risiko diculik dan dieksploitasi. Inilah yang terjadi pada Joyce Vincent asal Nigeria, yang selamat dari perjalanan migrasinya.
Dia melaporkan kepada DW pada tahun 2023: "Jika para pemuda Asma menangkapmu, para penjahat yang disebut pemuda Asma di gurun pasir ini, maka mereka akan menjualmu ke prostitusi atau mengambil organ tubuhmu."
Faktor pendorong perdagangan manusia di Afrika adalah situasi politik dan sosial yang sulit di negara-negara Afrika Barat, papar Elvis Adjetey Sowah, seorang peneliti migrasi di Universitas Ghana.
"Kita harus melihat keseluruhan situasi mereka untuk mengatasi masalah ini,” kata Sowah kepada DW. Kurangnya pangan, perumahan dan lapangan kerja serta memburuknya situasi keamanan di wilayah krisis merupakan faktor utama yang mendorong mereka pergi. Banyak orang yang dieksploitasi oleh penipu dan penyelundup dalam perjalanannya.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Para pelaku perdagangan manusia bisa melakukannya dengan mudah
Para migran sering kali kehabisan uang dalam perjalanan dan kemudian menghadapi ancaman penculikan dan kerja paksa. Sementara anak perempuan dan juga perempuan dewasa terancam dijerat dalam prostitusi dan kawin paksa.
Menurut perkiraan kelompok hak asasi manusia internasional "Walk Free", ada sekitar tujuh juta orang dengan dan tanpa pengalaman migrasi hidup dalam perbudakan modern di Afrika pada tahun 2021. Lebih dari 3,1 juta orang dipaksa menikah dan 3,8 juta orang dipaksa bekerja, sering kali di industri pertambangan, di bidang pertanian atau di rumah tangga pribadi.
Korban perbudakan paling banyak berasal dari Eritrea, Mauritania, dan Sudan Selatan. Kurangnya penegakan hukum juga mendorong banyak pelaku perdagangan manusia untuk memikat orang-orang dengan janji kehidupan yang lebih baik di Eropa. Kenyataannya, banyak di antara mereka yang menemui ajalnya.
Menurut laporan Organisasi Internasional untuk Migrasi IOM, setidaknya 8.565 orang meninggal di jalur migrasi internasional tahun lalu – lebih dari 3.100 di antaranya di Mediterania dan 1.900 lainnya di Afrika. Hal ini menjadikan tahun 2023 sebagai tahun paling mematikan dalam perdagangan manusia, sejak kasus-kasus ini mulai terdokumentasi.
Konflik meningkatkan penderitaan
"Orang-orang yang menjadi korban perdagangan manusia seringkali melarikan diri ke negara lain untuk menghindari pelakunya dan mereka yang melakukan kekerasan,” ujar Leonie Jantzer dari organisasi bantuan dan hak asasi manusia Medico International kepada DW. Yang terakhir, para migran yang berangkat juga terkadang menjadi korban perdagangan manusia.
Perempuan dan anak perempuan sangat terkena dampaknya: "Mereka dijanjikan di negara asal mereka bahwa mereka akan diangkut ke Eropa atau negara-negara Magreb, namun mereka mendapati diri mereka berada dalam cengkeraman penyelundup manusia, harus menjual tubuh mereka dan jadi pekerja seks,” kata Jantzer. Tampaknya sangat sulit untuk keluar dari situasi ini.
Migrasi "dikriminalisasi”
"Jika migrasi dilegalkan, maka bisnis para penyelundup tidak akan berjalan,” tegas Jantzer. Migrasi di benua Afrika semakin dikriminalisasi, yang mendorong perdagangan manusia, demikian kritik konsultan pengungsi dan migrasi.
Karena tekanan dari Uni Eropa (UE), maka gelombang deportasi saat ini semakin banyak, misalnya dari Aljazair ke Niger. Mayoritas migran tidak mempunyai cukup uang untuk pergi ke Uni Eropa.
Namun sejak pertengahan tahun 2000-an, terlihat jelas bahwa UE memperluas batas pengawasannya ke benua Afrika. UE bekerja sama dengan pasukan keamanan Afrika, tidak hanya mengendalikan wilayah pesisir, namun juga penyeberangan perbatasan dan rute intra-Afrika, ujar Jantzer.
Negara-negara anggota Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat ECOWAS, serta banyak negara Afrika lainnya, bekerja sama untuk mengekang perdagangan manusia dan penyelundupan migran – dengan bantuan Interpol dan Afripol.
Polisi dari 54 negara Afrika menjalin kerja sama dalam operasi gabungan pertama "Flash-Weka" setahun yang lalu – di mana lebih dari 1.000 penangkapan dilakukan dan ribuan korban jaringan kriminal terungkap.
Konflik meningkatkan penderitaan
"Orang-orang yang menjadi korban perdagangan manusia seringkali melarikan diri ke negara lain untuk menghindari mereka yang melakukan kekerasan,” ujar Leonie Zantzer dari organisasi bantuan dan hak asasi manusia Medico International kepada DW. Yang terakhir, para migran yang berangkat juga terkadang menjadi korban perdagangan manusia.
Mereka yang bekerja dalam jaringan perdagangan manusia ini memperhatikan peningkatan perekrutan online melalui platform internet. Pelaku perdagangan manusia menggunakan teknologi komunikasi yang semakin modern untuk mengeksploitasi korbannya dengan berbagai cara: Mulai dari merekrut calon korban hingga memeras mereka dengan foto dan video. Jaringan serupa telah ditemukan di Burkina Faso, Kamerun, Pantai Gading, Ghana, Guinea dan Mali.
Meskipun terdapat keberhasilan yang tidak signifikan, menurut organisasi "Walk Free”, upaya-upaya melawan perdagangan manusia masih belum mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena menurut hukum internasional, perdagangan manusia dan perbudakan dilarang.
Pengacara hak asasi manusia dari organisasi tersebut menuntut pemerintah untuk bekerja sama lebih erat, dalam menerapkan undang-undang yang ada secara lebih konsisten, dan membawa pelakunya ke pengadilan. Mereka juga menyerukan boikot terhadap pembelian barang dan jasa yang diproduksi dengan menggunakan tenaga kerja paksa. (ap/hp)
Isaac Khaledzi, dari Ghana berkontribusi dalam artikel ini.