1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan HukumIndia

Mengapa Hukum Perdata Baru Picu Kontroversi di India

14 Februari 2024

Uniform Civil Code (UCC) telah menjadi isu kontroversial di India selama beberapa dekade, karena menyangkut pertanyaan sensitif mengenai hubungan agama dan negara. Satu negara bagian di utara resmi mengesahkan hukum itu.

https://p.dw.com/p/4cNFj
Foto ilustrasi pernikahan di India
Di India, peraturan mengenai pernikahan dan perceraian sebagian besar masih berdasarkan hukum agama.Foto: Divyakant Solanki/dpa/picture alliance

Pekan lalu, negara bagian Uttarakhand di India utara mengesahkan sebuah hukum perdata baru bernama "Uniform Civil Code” (UCC), yang akan berlaku bagi semua warga negara tanpa pandang bulu.

UCC itu disahkan untuk menggantikan hukum privat berbasis agama yang sebelumnya mengatur tentang beberapa hal seperti pernikahan, perceraian, dan kohabitasi.

Perdebatan mengenai pembentukan hukum perdata umum di India telah berlangsung selama beberapa dekade. Dan Partai Bhartiya Janata (BJP), partai yang berkuasa di India, kini memiliki prioritas untuk mewujudkan UCC menjadi kenyataan.

Namun, hal ini masih menjadi isu yang kontroversial dan rumit secara politik. Banyak kritikus menilai UCC sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan pelanggaran terhadap identitas komunitas minoritas, khususnya Muslim.

Para kritikus juga berpendapat bahwa hukum itu nantinya akan dipakai memperkuat kebijakan yang menguntungkan mayoritas Hindu di India.

Di negara-negara Asia Selatan, hukum privat lah yang mengatur pernikahan, perceraian, dan warisan. Dan hukum ini biasanya berakar pada kitab suci dan tradisi agama. Komunitas agama besar seperti Hindu, Muslim, Kristen, dan Sikh, tunduk pada hukum privatnya masing-masing.

UCC bagian dari agenda BJP yang lebih besar?

Cynthia Stephen, seorang ahli terkait gender dan pembangunan, telah mempelajari UCC dengan cermat.

Menurutnya, secara keseluruhan, beberapa versi UCC juga akan diterapkan di negara bagian lain yang diperintah oleh BJP.

Jadi selain Uttarakhand, dua negara bagian lain yang dikuasai BJP, yaitu Gujarat dan Assam, juga mendorong penerapan UCC.

Hal ini dapat berdampak pada minoritas Muslim dan Kristen yang kadang-kadang menjadi target kekerasan, kata Stephen.

"UCC yang sepenuhnya inkonstitusional itu akan mencabut kebebasan beribadah dan berkeyakinan kelompok rentan termasuk perempuan, Muslim, dan Kristen,” tambahnya.

Pakar konstitusi Shireen Tabassum yang diwawancara DW tahun lalu punya pandangan berbeda.

"[UCC] akan bermanfaat bagi perempuan Muslim jika ada keseragaman, pasti ada keadilan gender dengan Uniform Civil Code,” ujarnya.

Meski begitu, ia mengatakan bahwa UCC adalah bagian dari manifesto pemilu BJP, dan mengingatkan bahwa perlu ada pendekatan kolaboratif yang melibatkan semua komunitas.

"Hal itu tidak boleh menjadi tindakan baru dalam melawan kelompok minoritas,” tambahnya.

Menurut para kritikus, pemberlakuan UCC adalah bagian dari agenda BJP yang berkuasa, terutama setelah dua kejadian kontroversial di India, yaitu pencabutan status konstitusional khusus Kashmir pada tahun 2019, dan peresmian kuil besar Ram di Ayodhya bulan lalu.

"Semua ini adalah bagian dari serangkaian tindakan komunal yang diperkenalkan oleh partai yang berkuasa,” kata Kavita Krishnan, seorang aktivis hak-hak perempuan, kepada DW.

"Mengatur gender dan hubungan seksual serta menerapkan moralitas patriarki, kasta, dan komunal merupakan inti dari tujuan sosial dan politik BJP. Saya sama sekali tidak ada keraguan kalau hukum semacam itu akan menjadi yang utama di negara yang sepenuhnya beragama Hindu, jika BJP diberi kesempatan untuk membangunnya,” tambahnya.

Kohabitasi alias ‘kumpul kebo' harus didaftarkan

Berdasarkan aturan yang dimuat dalam UCC yang disahkan di Uttarakhand itu, warga yang melakukan ‘hubungan tinggal serumah' harus mendaftarkan diri atau akan dikenakan hukuman penjara hingga tiga bulan dan denda sebesar 10.000 rupee (setara dengan Rp1,8 juta).

Mereka yang melakukan ‘hubungan tinggal serumah' itu diwajibkan oleh UCC untuk memberikan notifikasi kepada pihak berwenang dalam waktu satu bulan setelah menjalin hubungan dan setelah mengakhirinya.

"Ada pengikisan hak-hak individu di UCC. Perempuan menentang ketentuan pencatatan hubungan serumah ini, karena hukum yang seharusnya melindungi perempuan, justru ternyata menyerang hubungan pribadi dan memungkinkan pengawasan antar-pasangan beragama,” kata Stephen, pakar gender dan pembangunan.

"Bukannya melindungi perempuan, hal ini malah membahayakan mereka dengan membuat mereka tentan terhadap penyelidikan yang mengganggu terkait hubungan pribadi mereka oleh pejabat atau kelompok komunal mana pun,” tambahnya.

Dalam kesempatan terpisah, Flavia Agnes, seorang pengacara hak-hak perempuan, mengatakan kepada DW bahwa aturan kohabitasi itu "mengubah seluruh hubungan dari hubungan informal menjadi hubungan yang diatur oleh hukum pidana yang kejam dan kaku.”

"Tujuannya tampaknya untuk menghalangi pasangan muda ada di hubungan semacam itu dan mengendalikan seksualitas mereka, serta menimbulkan pertanyaan tentang privasi dan kebebasan individu,” tambahnya.

Ia juga memperingatkan bahwa aturan pendaftaran kohabitasi semacam itu dapat disalahgunakan oleh pihak berwenang.

gtp/rs