Menanti Jenuhnya Pasar Media Online
2 Mei 2016Saya ingin memulai catatan ini dengan sebuah pertanyaan dasar: Apakah media massa masih punya masa depan?
Saya masih ingat, sekitar lima belas tahun lalu kami berlangganan media cetak cukup lengkap. Ada majalah berita mingguan plus koran nasional. Yang baca ya.. saya dan istri. Lantas majalah anak-anak, tentu saja untuk konsumsi bacaan anak-anak kami.
Tapi sekitar lima tahun lalu, jumlah yang kami langgani sudah berkurang. Majalah hanya beli kalau saya atau istri tertarik pada isu tertentu saja. Koran pagi masih, Senin sampai Minggu. Majalah anak-anak? Sudah tidak lagi. Mereka lebih suka bermain dengan laptop atau gadgetnya.
Media cetak di ujung senja
Hari ini? Yang tersisa hanya koran pagi. Itu pun cuma untuk hari Sabtu dan Minggu. Dan, yang baca pun sering hanya istri saya saja.
Tapi juga ada tambahan baru: paket TV kabel plus internet. Memasang wifi di rumah, memang sudah menjadi kebutuhan. Kanal TV? Karena saya lebih banyak di liar rumah, setahu saya, ketika malam tiba atau saat sedang libur, yang paling sering kami tonton adalah kanal film. Jarang, istri dan anak-anak saya menyetel kanal berita. Hanya kalau sedang ramai isu tertentu saja, mereka nonton kanal berita.
Selebihnya? Kebutuhan informasi kita tampaknya sudah terpenuhi melalui gadget yang kita pegang. Juga media sosial seperti twitter atau Facebook. Belum puas? Grup-grup whatsapp juga menyediakan sukarelawan yang tak pernah lelah menyodorkan tautan berita. Tentang apa saja. Mulai dari kuliner, berita politik, ekonomi, hingga filsafat, dan foto-foto perempuan caantik atau laki-laki dan tampan, hingga meme lucu yang bikin kita tertawa.
Orang bilang, media massa (khususnya media cetak) sedang berada di ujung senja. Indikasinya banyak. Banyak perusahaan media cetak yang dulu perkasa, satu per satu gugur. Di dalam, juga di luar negeri. Yang bertahan pun, sirkulasinya terus menurun. Orang-orang usia 40 tahun ke bawah, tampaknya sudah mulai enggan memegang kertas. Apalagi anak-anak muda yang dikenal sebagai digital native.
Bagaimana dengan TV?
Saya termasuk golongan yang skeptis dengan televisi nasional kita. Hanya ada satu dua program menarik dan cerdas. Selebihnya kalau bukan sinetron dan reality show (yang diminati kelas menengah-bawah), ya program-program berita yang penuh political framing sesuai dengan kepentingan pemiliknya.
Kelas menengah yang lebih berkemampuan, preferensinya pasti program berita dari beberapa (tak semua) saluran TV luar negeri yang lebih berkualitas.
Apakah dengan begitu media online langsung berjaya? Jawabnya bisa ya, bisa tidak. Produksi berita dan informasi memang jauh lebih banyak, karena kapasitas ruang yang tak terbatas di media online.
Tapi dari sisi kualitas, nanti dulu. Masih banyak media online yang gampang terjebak pada isu-isu sensasional, hanya demi mengejar jumlah pengunjung. Maka, jangan heran, judul-judul berita pun dibuat dengan kalimat yang sembrono, bahkan mengecoh.
Maka saya punya kiat agar tak terkecoh. Saya justru menghindari membaca berita dengan judul yang dibikin heboh. Saya juga tak berminat, seberapa pun menarik judulnya, kalau berita itu datang dari media yang tak jelas siapa pengelolanya. Orang menyebutnya media abal-abal.
Media online harus berkualitas
Kredibilitas berita memang acap datang dari media yang sudah sejak awal menaruh hormat pada reputasi yang mereka bangun. Sayangnya, reputasi dan kredibilitas ini tak dengan sendirinya bakal membuahkan keuntungan finansial bagi perusahaan. Media online, tak seperti media cetak atau televisi, masih belum menemukan model bisnis yang bisa memberi arah bagi keberlanjutan usaha mereka.
Tapi saya percaya, gempuran informasi yang datang dari berbagai arah ini akan berhenti pada satu titik: kejenuhan pasar. Pada titik inilah, mereka yang setia dengan kualitas, sembari terus memupuk integritas dan kredibilitas, akan bertahan. Bahkan keluar sebagai pemenang.
Penulis: Heru Hendratmoko, pensiunan wartawan, penikmat media.
@h3ru_h
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.