Menyiapkan Kritik Untuk Jokowi-Ma’ruf Amin
18 Agustus 2018Jokowi telah memilih KH Ma'ruf Amin. Tim sukses Jokowi-Ma'ruf membuat jargon Nasionalis-Relijius atau Umara-Ulama dengan visualisasi seorang Jokowi yang berjalan dengan menggandeng tangan ulama keturunan Syaikh Nawawi Banten itu.
Konon, strategi ini dirancang untuk membendung kampanye hitam yang menuduh Jokowi anti-Islam dan menguatnya arus populisme Islam yang kian mengkhawatirkan. Sudah segenting itukah kondisi bangsa sehingga Jokowi fokus berkepentingan membendung politik identitas yang mengatasnamakan agama dibanding merespons isu lain yang dapat membangun sentimen positif akan dirinya?
Bagaimana pun, keputusan telah diambil. Mau tak mau, kita hanya dapat mengusahakan untuk mengawal kedua pasangan capres-cawapres. Satu-satunya hal yang dapat dilakukan sebagai warga negara, tentu saja dengan memberi masukan-masukan.
Jokowi sebagai petahana, selain diapresiasi akan prestasi sepanjang lima tahun memimpin negeri, tentu sekaligus objek evaluasi yang menarik akan visi nawacita yang ia janjikan sejak periode lalu.
Pada tahun 2014, pasangan Jokowi-JK unggul dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa karena dianggap mewakili aspirasi pro-rakyat, demokratis hingga harapan wajah baru sejarah Indonesia. Prabowo, selain berangkat dari kalangan militer juga erat dengan sejarah kelam Orde Baru yang membungkam kemerdekaan berpendapat.
Ketika itu, kalangan yang mendambakan Indonesia lebih pluralis yang berasal dari para aktivis, akademisi, jurnalis, seniman hingga artis, ramai-ramai mendukung Jokowi dengan mengampanyekannya sebagai "orang baik”.
Dikemanakan hak minoritas?
Berpasangan dengan KH Ma'ruf Amin, dukungan tersebut jadi surut mengingat rekam jejak KH Ma'ruf Amin dengan kiprahnya di MUI yang tidak begitu sejalan dengan perlindungan hak-hak minoritas. Selama menjadi Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin adalah aktor yang mengeluarkan fatwa sesat, satu yang paling provokatif adalah kepada Ahmadiyah, yang mendorong meningkatnya kekerasan kepada jamaah Ahmadiyah selama 15 tahun terakhir.
Yang paling mutakhir,KH Ma'ruf Amin memberi kesaksian dalam persidangan kasus Ahok yang mengakibatkan vonis bersalah atas kasus penistaan agama kepada mantan Gubernur DKI tersebut.
KH Ma'ruf Amin boleh mendapat kesempatan menyampaikan visi dan misi kebangsaan yang lebih demokratis sekali lagi.
Akan tetapi, hal tersebut hanya mungkin terjadi jika sosoknya dilepaskan dari PBNU, MUI atau persona sakralitas ulama yang seakan tak boleh digugat. Integritas dan komitmen demokrasi kalangan NU dan komunitas santri sedang diuji.
Toh, salah satu tradisi luhur Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar Indonesia, adalah terbuka dengan kritik, bahkan dari dan oleh kalangan internalnya sendiri. Jika tak percaya, bacalah potongan surat berikut.
"…Belum lagi masalah umat itu sendiri yang sudah sekian lama ditelantarkan dan seolah hanya mempunyai fungsi sebagai alat pengukuh kedudukan belaka. Sekarang semua itu Bapaklah pemimpin puncaknya. Bapak "dipaksa” ndandani atau paling sedikit harus setiap saat menghadapi secara langsung kenyataan-kenyataan yang memprihatinkan itu.”
Potongan paragraf tersebut adalah surat terbuka Gus Mus kepada KH Ali Maksum tahun 1981 di Majalah Bangkit. Setelah Gus Dur wafat, banyak dari kita, utamanya di Jawa yang mencari peran pengganti Gus Dur pada sosok Gus Mus.
Siapa sangka Gus Mus yang bijak itu, pada tahun 1981 ternyata menulis surat terbuka yang begitu tegas kepada KH Ali Maksum Krapyak. Ketika itu, KH Ali Maksum adalah mahaguru yang paling ia cintai, yang ketika itu menjabat sebagai Rais Aam PBNU.
Gus Mus sendiri, akhirnya juga menjadi Rais Aam pada 2010-an sepeninggal KH Sahal Mahfudh, sekaligus menolak untuk mengambil jabatan itu kembali pada Muktamar NU ke 33 di Jombang pada tahun 2015.
Maka, ketika KH Ma'ruf Amin dipilih Presiden Jokowi untuk mendampinginya sebagai calon wakil presiden pada helatan pemilihan umum 2019, kritik kepada tokoh ulama NU sekaligus Ketua Majelis Ulama Indonesia itu seharusnya adalah hal yang biasa-biasa saja. Mereka yang merasa NU tidak perlu marah ketika Ma'ruf Amin diperbincangkan di mana-mana.
Siapa yang membesarkan NU?
Kritik pertama tentu saja kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Berulangkali, PBNU menegaskan identitas Ma'ruf Amin adalah NU yang sebenarnya. PBNU seperti berhasrat memberi jawaban mengapa Ma'ruf Amin dan bukan Mahfud MD, yang sebelumnya disebut tidak mewakili NU.
Sebuah pernyataan yang mengecewakan, mengingat NU selama ini bukan saja berbentuk jam'iyyah, tetapi NU ada sebab orang-orang biasa yang selama ini diklaim sebagai statistik yang membesarkan eksistensi NU.
Cuplikan pidato Ma'ruf Amin setelah deklarasi cawapres perihal arruju, warruju, tsumma ruju juga cukup mengejutkan. Ia menegaskan bahwa PKB adalah kendaraan warga NU alias sudah seharusnya warga NU mendukung gerak PKB.
Padahal, tepat sehari sebelum deklarasi, KH Ahmad Mustofa Bisri telah mengingatkan lewat akun twitternya,”Para pengurus/pemimpin NU yang harus bersikap hati-hati dalam menyampaikan pernyataan-pernyataan; terutama bila berkaitan dengan politik praktis. Dan sebaiknya tak usah bicara politik praktis di kantor NU. Bukan tempatnya.” Khittah NU, menurut Gus Mus adalah Nahdlatul Ulama, yakni kebangkitan cendekiawan Islam, bukan partai. Pernyataan itu sejalan dengan seruan Gus Dur di masa lalu untuk kembali ke Khittah 1926.
Namun, narasi baru tetap dapat dikembangkan jika Jokowi-Ma'ruf Amin melihat kontestasi elektoral ini sebagai pesta demokrasi rakyat, bukan sekadar tarik ulur kepentingan segelintir orang di sekeliling mereka.
Kaidah Fikh yang dipakai KH Ma'ruf Amin mungkin sulit mencari jalan tengah perihal perkara teologis, sehingga, pada kaidah percabangan yang lain ia justru patut dikawal. Bagaimana Fikh kebangsaannya berbicara tentang strategi ekonomi, pembangunan humanis dan institusi pemerintahan yang efektif dan bersih.
Percakapan tak patut di media perihal mahar politik harus segera digantikan dengan narasi yang terkait hajat hidup rakyat. Juru bicara yang konon banyak jumlahnya seharusnya adalah penyambung lidah rakyat, bukan dagelan politik di layar televisi nasional.
Jokowi-Ma'ruf bisa memulai pendekatan kepada mereka yang marjinal dan minor, namun tentu saja bukan dengan cara tiba-tiba blusukan masuk ke bawah jembatan atau gorong-gorong.
Di seberang Istana, setiap Kamis, masih berdiri para penyintas kasus HAM berat dengan baju dan payung hitam yang setia menanti komitmen negara. Kasus-kasus korupsi raksasa yang perlu mendapat pengawalan juga hendaknya tidak tebang pilih, entah itu kasus yang melibatkan partai koalisi atau tidak.
Jokowi-Ma'ruf juga boleh berdialog dengan para perempuan yang beberapa tahun terakhir menjadi simbol perjuangan rakyat.
Sudah sejak lama, media kita penuh sesak dengan wajah laki-laki yang membicarakan kekuasaan dan saling membongkar aib masing-masing dengan amat melukai hati rakyat. Sementara wajah perempuan di media ialah wajah kemiskinan, wajah anak-anak dengan gizi buruk, hingga wajah kasus pornografi dan desas-desus perselingkuhan.
Faktanya, para petani perempuan yang memperjuangkan hak atas tanah bukan hanya mewakili pertarungan pemodal dan wong cilik, namun juga menyoal cara pemimpin melihat negara. Perjuangan kaum tani adalah narasi pembangunan Indonesia seutuhnya. Perjuangan perempuan adalah narasi keberlanjutan generasi dan masa depan bangsa.
Soal keberagaman bangsa ini, sama-sama sulit berharap narasi dari dua belah kubu yang sama-sama mempertontonkan diskriminasi kepada minoritas pada titik ekstrem yang berbeda. Sementara, satu-satunya hal yang bisa diupayakan oleh rakyat adalah memperkuat simpul-simpul sosial agar tidak ter(di)cerai berai oleh gelombang kebencian apapun.
Kalis Mardiasih adalah penulis opini lepas dan penerjemah. Bergiat sebagai riset dan tim media Jaringan nasional Gusdurian Indonesia.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.
Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Anda bisa sampaikan dalam kolom komentar di bawah ini.