Ikut Rasakan Nestapa PMI, Perdalam Migrasi di Negeri Orang
10 Oktober 2023Retno Widyastuti lahir di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara. "Saya anak seribu pulau, pindah-pindah," katanya sambil tersenyum. Dia bercerita, awalnya dia berrencana untuk studi S3 di Turki. Waktu itu ia juga sudah mendapat beasiswa dan sudah akan mengikuti wawancara. Namun ia bertemu dengan pria yang kemudian menjadi suaminya.
Kebetulan, suaminya pernah magang di kota Stuttgart dan Berlin di Jerman, sehingga lebih ingin melanjutkan pendidikan ke Jerman. Mereka menikah tahun 2015, dan tak lama kemudian, Retno mendapat beasiswa LPDP. Seharusnya dia mulai berkuliah di Jerman tahun 2016, tetapi ditunda ke tahun berikutnya, karena Retno hamil dengan anak pertama mereka.
Walaupun sudah mendapat beasiswa, jalan ke Jerman belum tampak cerah, karena Retno belum tahu akan kuliah di mana. Dia sempat melamar ke banyak kampus, bahkan mendapat penolakan tiga kali. Akhirnya ia diterima di Universitas Bonn, Southeast Asian Studies. Kebetulan di Universitas Bonn dia juga mendapatkan profesor yang cocok. Dia mengutarakan, "Back ground [latar belakang] saya sebenarnya studi Asia dan Asia Timur."
Retno menceritakan, pendidikan S1 ditempuhnya di Universitas Gajah Mada, jurusan Hubungan Internasional. Untuk mendapat gelar S2, dia pindah ke Universitas Indonesia, dan berkuliah di bidang Japanese Studies. Setelah itu, ia sempat bekerja sebentar, tetapi karena senang sekali berkuliah, dia mengambil S2 lagi di Taiwan, tepatnya di Asia Pacific Studies. Waktu berkuliah di Taiwan, dia mendapat beasiswa dari Kementerian Pendidikan Taiwan.
Risetnya ketika itu adalah tentang Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang waktu itu jumlahnya hampir 200.000 di Taiwan. Dari situ dia tertarik melakukan riset lebih jauh tentang PMI, yang dulu dikenal dengan sebutan TKI atau Tenaga Kerja Indonesia. Setelah menyelesaikan tesis tentang PMI di Taiwan, dia sempat bekerja di bidang pemberdayaan TKI perempuan.
Memulai perjalanan panjang studi tentang migrasi
Menurut Retno, dulu waktu SMA dia masih lugu. Ketika itu dia ikut summer school yang diadakan UGM untuk siswa SMA yang ada di Yogyakarta. Salah seorang dosen di sana membuat dia terinspirasi. "Hubungan Internasional, dari nama aja udah keren," katanya sambil tertawa, "sering ke luar negeri, ke sana-sini," katanya lagi. Jadi dia memilih jurusan itu untuk kuliah S1. Kebetulan pula, dia senang berbagai bahasa. Ketika itu ia sama sekali tidak menyangka bahwa Hubungan Internasional sebenarnya rumit.
Semakin dia tekuni, semakin dia menyadari bahwa dia tertarik pada kajian wilayah. Berhubung dia memang suka dengan Jepang, Korea dan Cina, setelah selesai, Retno akhirnya mengambil studi Jepang, studi Cina khususnya Taiwan dan Korea. "Kalau mau alasan non akademiknya, ya karena saya suka drama Korea," katanya sambil tertawa terbahak-bahak, dan menambahkan, "Saya suka anime juga sejak SMP, kartun film, Jepang dan lagu-lagu Jepang. Apalagi Doraemon, lah."
Jadi tidak heran, sejak SMP dia sudah belajar bahasa Jepang. Ketika berkuliah, dia menambah pelajaran bahasa dengan bahasa Mandarin serta Korea. Ketika S2 di Taiwan dia juga belajar bahasa Mandarin lagi. "Tapi sekarang banyak lupanya," katanya sambil tertawa lagi, "tapi masih inget, nempel-nempel dikit untuk tiga bahasa Asia Timur ini." Namun sekarang karena ditambah bahasa Jerman, jadi pusing, kata Retno.
S3 yang sekarang ia tempuh di Jerman masih ada hubungannya dengan pekerja migran. Isu besarnya adalah migration studies. "Spesifikasinya: pemberdayaan pekerja migran yang sudah pulang habis," tutur Retno. Istilah yang digunakan bagi mereka adalah PMI purna. Untuk disertainya, dia mengadakan penelitian di tiga daerah di Indonesia.
Menurut Retno, mencari data dari Indonesia sulit karena kendala birokrasinya. Apalagi bagi peneliti seperti dia, yang mengadakan studi di daerah. Berarti dia harus melewati birokrasi di tingkat provinsi, kemudian kabupaten, lalu desa. Untungnya Retno sebelumnya sudah meneliti di bidang pemberdayaan pekerja migran. Jadi dia sudah punya jaringan dan akses.
Dari organisasi non pemerintah yang ia kenal itulah, ia juga mendapat bantuan, terutama untuk mendapat data primer. Misalnya untuk berhubungan langsung dengan pekerja migranyang bermukim di daerah. Retno mengungkap, kini urusan perizinan tidak sesulit seperti dulu. Sekarang sudah ada surat-surat yang bisa diurus secaraonline, sedangkan dulu orang selalu harus datang sendiri. "Tergantung berapa sensitif datanya, dan ke mananya." dijelaskan Retno.
Berkuliah di Jerman fleksibel tapi tidak bebas tantangan
Retno bercerita, di institut tempat ia berkuliah S3, tidak ada proses kuliah lagi, hanya ada kursus untuk pengayaan kemampuan menulis secara akademik. Dia wajib mengikuti delapan kursus itu, ditambah juga dengan lima kursus lainnya. "Itu bisa dalam bentuk ikut konferensi internasional, publikasi atau mengajar atau ikut workshop di luar institut," kata Retno lebih lanjut.
Di institutnya bahkan tidak ada kewajiban untuk menulis publikasi. Melainkan hanya menulis monograf, atau disertasi saja. Jika ingin membuat publikasi tentu diperbolehkan tetapi tidak diharuskan, dan tidak di jurnal yang sudah ditentukan.
"Dengan kebebasan ini malah jadi lebih fleksibel. Terutama untuk saya pribadi. Saya tipe orang yang suka menclok sana-sini," katanya sambil tertawa. "Saya jadi pernah ikut konferensi di Swiss, Prancis dan Korea Selatan." Publikasi baru bisa dilakukan setelah disertasi dan sidangnya selesai. Jika ingin publiksasi selama masih studi, maka topiknya tidak boleh berkaitan atau mirip dengan tema disertasi, karena bisa dianggap plagiarisme.
Walaupun bagus, fleksibilitas dalam studinya juga punya sisi yang negatif. "Karena dibebaskan, kalau tidak punya disiplin, bisa ngaret atau tidak selesai-selesai." Jadi harusnya memang ada support system, atau sistem pendukung, kata Retno. Misalnya sesama mahasiswa S3, atau sesama orang Indonesia yang ada di Jerman, sehingga bisa saling berbagi cerita.
Karena melihat pentingnya sistem penyokong, Retno bersama temannya mendirikan semacam kolokium bagi mahasiswa Indonesia yang sedang menulis S3. Awalnya hanya untuk kota Bonn. Tapi kemudian meluas ke bagian lain Jerman.
Di tempat dia berkuliah di Universitas Bonn sebenarnya ada kolokium bersama supervisor dan kolega satu departemen, tetapi waktunya terbatas. Selain itu, ada hal yang sulit diungkapkan dalam kelompok itu, tutur Retno. "Kalo saya pribadi, tuh, malu untuk nanyain hal-hal bodoh," kata Retno sambil tertawa, "Masa udah PhD masih ga tau sih?"
Tapi di kalangan teman-teman dalam support system mereka bisa saling bertanya berbagai hal tanpa harus merasa malu, selain bisa sekaligus curhat. Ternyata setelah saling curhat mereka jadi tahu, mereka tidak sendirian dalam masalah yang sedang dihadapi. Mahasiswa lain juga mengalami masalah sama, walaupun memang tantangannya beda-beda.
Dia bercerita, untuk menyelesaikan S3 ia butuh waktu agak lama. Sekarang sudah masuk tahun ke enam. Yang membuat prosesnya menjadi lama adalah pandemi COVID, kata Retno. Di samping masalah yang timbul akibat pandemi, dia juga mengalami pukulan berat di masa itu, karena kedua orang tuanya meninggal dunia berturut-turut. Tahun ini, kakak kandung satu-satunya juga meninggal. "Jadi secara mental itu berat," kata Retno lirih.
Di lain pihak, ada temannya yang mengalami banyak tantangan dalam menyelesaikan studi akibat pembimbingnya. "Entah supervisor-nya [pembimbingnya] sangat idealis, jadi susah gitu, ga lulus-lulus, karena revisi terus. Ada yang mengalami tindak semacam rasisme juga, jadi dipersulit untuk lulus. Ada juga yang masalahnya kesehatan."
Jadi dengan perkumpulan ini, mereka bisa saling membesarkan semangat pula, karena seperti digambarkan Retno, "Nulis disertasi PhD itu seperti maraton tapi sendirian". Ia menekankan, "Karena PhD yang sukses adalah PhD yang selesai." Sekarang, Retno sudah menyelesaikan disertasinya, dan tinggal menunggu sidang saja, yang akan diadakan akhir tahun ini atau awal tahun depan.
Meningkatkan kesadaran Pekerja Migran Indonesia
Untuk studi S3-nya, isu awalnya memang pekerja migran, tapi yang bagi dia menarik adalah migration studies atau studi migrasi. Untuk itu, sejak tahun lalu, dia juga mengambil magang di badan Perserikatan Bangsa-Bangsa UN Migration, yang dikenal juga sebagai International Organization for Migration (IOM). Namun mengingat markas organisasi itu di Jenewa, dia bekerja secara remote atau dari jarak jauh. Jadi di satu sisi dia belajar teorinya, tetapi juga praktek tentang migration governance atau tata kelola migrasi di PBB. Ini juga sangat membantu menyelesaikan studinya, kata Retno. Setelah membaca banyak bahan yang diperoleh lewat magang di PBB, dia merombak beberapa bagian disertasinya.
Ketika ditanya mengapa dia memilih studi migrasi, Retno mengatakan, ketika di Taiwan, dia banyak berinteraksi dengan pekerja migran. Ketika itu dia sempat pula menjadi tutor Kejar Paket C dan Universitas Terbuka. Siswa dan mahasiswa pada kedua program pendidikan ini adalah pekerja migran. Dari situ dia banyak mendengar cerita-cerita dari para pekerja migran, tutur Retno.
Memang banyak cerita sedihnya, tetapi ada juga cerita suksesnya. "Karena itu saya concern [prihatin] dengan labor migration [migrasi pekerja]. Kenapa sih, mengapa begitu? Saya coba relate [hubungan] dengan diri sendiri," tutur Retno. Kebetulan, beberapa saudaranya juga ada yang menjadi pekerja migran di Malaysia dan Taiwan.
Di Indonesia pekerja migran disebut "pahlawan devisa", tapi Retno mengemukakan, pekerja migran biasanya tertarik untuk bekerja di luar negeri karena iming-imingan orang, sehingga bahkan bersedia melalui jalur yang ilegal. Itu tentu yang kerap berdampak pada terjadinya kekerasan bahkan kematian si pekerja migran. Jika itu terjadi, tentu dampaknya juga diderita keluarga si pekerja, dan dampak yang lebih luas lagi adalah bagi Indonesia, demikian dipaparkan Retno.
Ia menjelaskan, "Saya concern [prihatin] bagaimana caranya para pekerja migran ini bisa lebih aware [sadar], bisa lebih 'naik status' dan gimana agar paham aturan, gimana bekerja secara legal, terus perencanaan mereka lebih baik lagi."
Risetnya terutama pada pekerja migran yang telah kembali ke tanah air, tetapi tidak bisa berintegrasi kembali, dan setelah uangnya habis, kembali pergi ke luar negeri, padahal risikonya tinggi. "Biasanya pekerja migran punya uang jika kembali ke tanah air. Tetapi mengingat mereka tidak tahu cara mengelola uang, mereka atau keluarganya konsumtif. Begitu kan, gaya hidupnya, beli ini, beli itu," kata Retno.
Jadi intinya, jangan sampai apa yang disebut circular migration [migrasi sirkuler] itu terus terjadi. Demikian dijelaskan Retno. Jadi bagaimana caranya, agar si pekerja migran sendiri lebih melek finansial, dan keluarganya juga lebih berdaya, sehingga tidak terlalu konsumtif. "Oleh sebab itu harus ada program reintegrasi", demikian ditekankan Retno. Itulah yang diangkat Retno dalam disertasinya.
Selain itu, walaupun tidak termasuk risetnya, Retno juga berusaha mengamati situasi di Jerman. Apalagi pemerintah Jerman sekarang juga berusaha mendatangkan pekerja dari Indonesia untuk bidang kesehatan. Di sektor ini Jerman memang sangat kekurangan tenaga perawat.
Ia mengemukakan lebih jauh, pekerja migran, seperti halnya orang Indonesia lainnya yang pernah hidup di Jerman dan kembali ke tanah air, tentu mengalami reverse culture shock, yaitu kesulitan bahkan kesedihan yang dialami seseorang ketika kembali ke negara asalnya, setelah bermukim di negara lain selama beberapa tahun.
Ini terutama jadi masalah bagi perempuan, yang pada intinya harus bisa kembali bergabung dengan anak-anaknya. "Dan karena ditinggal lama oleh ibunya, anak-anak ada yang mengalami salah asuh, ada pula yang suaminya berselingkuh," ungkap Retno.
Ia menambahkan, bedanya pekerja migran dengan misalnya orang Indonesia yang datang ke Jerman untuk bersekolah atau bekerja dan bisa sekali-sekali pulang, para pekerja migran hanya pulang ke Indonesia setelah kontraknya selesai seratus persen, jadi setelah dua atau tiga tahun. Di samping itu, para PMI purna kadang tidak punya perencanaan matang bagaimana uang yang diperoleh akan digunakan.
Retno menjelaskan, "Memang ada pula yang menggunakan penghasilannya untuk wirausaha, dan ada pula yang menggunakannya untuk studi sehingga bisa mendapat pendidikan tambahan, dan akhirnya mendapat pekerjaan yang lebih baik." Bahkan ada pula yang membuka semacam lembaga pendidikan, kata Retno. Ada juga yang membantu anak-anak dari keluarga broken home [keluarga tidak utuh] atau yang ditinggal karena orang tuanya mencari nafkah di negara lain dengan mendirikan kelompok belajar, juga perpustakaan, atau kursus serta pelatihan.
"Memang jika orang tetap ingin mencari nafkah dengan menjadi pekerja migran di luar negeri, tentu itu tidak dilarang", papar Retno. Namun tentu lebih baik jika mereka mendapat pengetahuan tentang berwirausaha, ditambah juga dengan pengetahuan dan kesadaran mengenai migrasi aman.
Jika studinya sudah selesai nanti, dia ingin berusaha mensosialisasikan hal ini bagi masyarakat Indonesia. "Jadi mereka tahu, jika ingin bekerja di Jerman, bukan hanya karena gaji tinggi, melainkan karena jaminan yang lebih jelas, UU yang lebih jelas, hak-kewajiban yang lebih jelas, dan penting juga: life-work balance-nya."
Memberdayakan perempuan di negeri orang dan Indonesia
Retno juga pernah bekerja di sebuah NGO yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan. Dia mengatakan, bagi dia penting, bahwa perempuan tidak hanya berdaya dari segi skills melainkan juga bisa lebih vokal dalam mengungkapkan pendapatnya, juga tahu hak-hak dan kewajibannya. "Kalau saya, ya, tipenya, bukan yang ketika kita jadi perempuan berdaya, berarti tidak butuh laki-laki. Tidak seperti itu," ditekankan Retno, "tetapi penting bahwa dia tahu hak dan kewajibannya, dan bisa vokal dalam menyampaikan apa yang diinginkan."
Dia bercerita sebagai contoh, ketika mengadakan penelitian di desa, dia bertemu dengan ibu-ibu yang malu untuk pergi ke kantor berwenang untuk mengurus surat-surat seperti KTP. Jadi harus suami mereka yang mengurus. Padahal untuk mengurus dan mendapatkan banyak bantuan, orang memerlukan kartu identitas diri. Jika mereka bisa lebih vokal, tentu lebih baik, juga bagi keluarganya
Jika ini dikaitkan dengan topik pekerja migran, walaupun perempuan yang jadi tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah, seharusnya bisa bahu-membahu bersama suami dan keluarga intinya untuk menjaga keutuhan keluarga, kata Retno. Dia mengemukakan juga, "Kasus perceraian sangat tinggi karena masalah itu."
Ketika mengajar di Universitas Terbuka dan Kejar Paket C di Taiwan dia mengajar pekerja migran dan sebagian besar perempuan. "Mereka semangat belajarnya tinggi," tutur Retno dan menambahkan bahwa lewat belajar mereka jadi tahu, bahwa ada hal-hal yang mereka kira tabu atau pemali, sebenarnya itu hak-hak mereka, sehingga layak dituntut.
Dia juga mengemukakan, ada perbandingan antara PMI dan pekerja migran asal Filipina. Ternyata PMI lebih disukai majikan. "Karena apa? Manut," ujar Retno, dan menambahkan, sifat "manut" tentu ada kebaikan dan kerugiannya. Karena manut, para pekerja migran Indonesia tidak menuntut hak-hak mereka. "Misalnya mereka sebenarnya punya hak libur, mereka jadinya ga punya libur." Sebaliknya, pekerja dari Filipina lebih berani, dan kemampuan bahasa Inggris mereka biasanya lebih baik daripada pekerja Indonesia.
"Karena manutan, ga enakan, akhirnya diinjek-injek." Begitu ditegaskan Retno. Masalah lain lagi yang terkait dalam hal ini, orang Indonesia kerap menandatangani kontrak tanpa membacanya terlebih dahulu, sehignga tidak tahu hak-haknya.
Birokrasi Jerman rumit tapi adil
Saat ini Retno masih memperdalam pengetahuan bahasa Jermannya. Walaupun punya sertifikat bahasa Jerman sampai B1, tetapi karena kuliah dalam bahasa Inggris dan magang dalam bahasa Inggris, dia kurang mempraktekkan pengetahuan bahasa Jermannya. Sekarang memang banyak aplikasi yang bisa membantu untuk pemahaman bahasa. "Tetapi ketika harus berinteraksi langsung, terutama dengan masyarakat di luar kampus, kalau ga bisa bahasa Jerman kan agak gimana, gitu," kata Retno sambil tertawa.
Dia juga punya pengalaman buruk yang berkaitan dengan bahasa Jerman. Dia pernah mengalami kecelakaan di tangga, sehingga kakinya retak dan harus dioperasi. Dokter yang menangani Retno bukan orang Jerman, tetapi berbicara dengan dia dalam bahasa Jerman dan tidak bisa berbahasa Inggris. Kepada Retno dikatakan, bahwa Retno seharusnya bisa berbahasa Jerman karena berada di Jerman.
"Ada kondisi di mana saya pingin banget bisa belajar bahasa Jerman, tapi waktu ga cukup," kata Retno. Tapi dalam kondisi stres seperti itu, ia tidak bisa mengatakan apa-apa, dan merasa tidak berdaya. Apalagi itu operasi pertama yang harus ia jalani. Akhirnya ia dialihkan ke dokter lain yang bisa berbahasa Inggris. "Jadi saya sadar, bahwa bahasa Jerman itu penting banget. Tapi untuk bisa sampai level yang advance perlu waktu banget juga."
"Harus hati-hati dan mengikuti proses yang ada." Itu juga salah satu pelajaran penting dalam hal birokrasi, yang didapat Retno selama di Jerman. Dia menekankan, memang proses birokrasi di Jerman sangat rumit. "Cuman, saya melihat positifnya dari birokrasi di Jerman. Walaupun panjang dan ribet, tapi lebih pasti dan adil," katanya dengan yakin.
"Selama kita memenuhi semua persyaratan, memenuhi semua dokumen yang diminta, itu pasti dikabulkan," kata Retno. "Beda dengan di Indonesia," katanya lagi sambil tertawa, "kalo ga punya orang dalem, kalo ga ada pelicin, susah. Jadi ga adil, kalo menurut saya." (ml/as)