Peringatan ”Reformasi Mei 1998” tahun ini terasa berbeda, karena dua tokoh yang biasa dijadikan bahan diskusi terkait momen tersebut, kini telah berganti posisi. Pertama adalah Wiranto, mantan Panglima TNI (d/h Pangab) saat peristiwa terjadi. Kedua adalah Prabowo, saat itu sebagai Pangkostrad, namun yang lebih penting dicatat adalah, soal statusnya sebagai menantu Soeharto (saat itu).
Wiranto tentu kini lebih ringan, selepas meninggalkan panggung politik. Beban sudah banyak berkurang, bisa menikmati hari tua bersama keluarga, memasuki tahapan lengser keprabon yang dulu diajarkan Soeharto. Tentu kita semua masih ingat, bagaimana Wiranto tiba-tiba meraih pelantang (mik) sesaat setelah Soeharto meninggalkan ruang credential room di Istana Merdeka, sekadar menyampaikan pernyataan, bahwa dirinya masih setia pada Soeharto. Dalam posisi seperti itu, tentu sebuah privilese bagi Wiranto, bahwa dia masih bisa bertahan hingga dua dekade pasca-Mei 1998.
Sementara Prabowo dalam posisi yang sedikit berbeda. Prabowo saat ini justru sedang mengalami, apa yang disebut sebagai “arus balik” dalam karier politiknya. Bila pada tahun-tahun sebelumnya, selalu ada serangan berkala terhadap Prabowo, utamanya ketika memasuki bulan Mei. Kini situasinya telah berputar 180 derajat, Prabowo seolah menjadi bintang yang dilahirkan kembali. Segala umpatan atau sumpah serapah terhadap Prabowo, seolah sirna, berganti dengan puja-puji tiada habisnya.
Dengan melihat Prabowo hari ini, kita bisa menyaksikan, bahwa yang namanya kekuasaan dan rivalitas adalah sesuatu yang fana. Pihak-pihak yang dulu seolah begitu memusuhi Prabowo, sebut saja entitas PDIP atau para relawan, kini sudah berbalik arah sesuai arah angin. Tentu saja kita paham maknanya, karena Megawati akan memasangkan putrinya (Puan Maharani) dengan Prabowo pada Pilpres 2024 yang akan datang.
Pilihan rakyat terbatas
Bisa jadi sudah menjadi jalan Prabowo untuk selalu menjadi pusat berita, bahkan sejak masih remaja dan taruna di Akmil Magelang. Latar belakang keluarganya, khususnya dari pihak ayah, tampaknya ikut berpengaruh pada pembawaan Prabowo yang berani menentang badai. Terpaan badai rasanya baru akan berakhir, bila Prabowo sudah benar-benar menarik diri dari panggung politik.
Prabowo adalah salah satu kasus, bahwa memang ada segelintir orang yang begitu dimanjakan sejarah. Dengan segala kompleksitas masalahnya di masa lalu, sejarah masih terus memberi kesempatan pada Prabowo, untuk terus menyusuri lorong waktu yang seakan tiada batas. Sementara di sisi lain, arus bawah masyarakat kita terbiasa permisif menghadapi perilaku orang-orang besar. Benar, pilihan rakyat memang serba terbatas.
Kehadiran Prabowo juga memberi warna tersendiri pada Kabinet Indonesia Maju (KIM). Selain ada Nadiem Makarim sebagai tokoh generasi baru yang fenomenal, ada pula Prabowo yang perjalanan politiknya ibarat roller coaster. Baru kemarin dicaci-maki oleh pendukung Jokowi, kini sudah bergabung di Istana. Tanpa kehadiran sosok Prabowo dan Nadiem, kabinet sekarang (KIM) memang terkesan monoton.
Begitulah kalau tokoh berkharisma, selalu menarik perhatian publik. Bahkan kini poster yang bergambar wajah Prabowo mulai diperdagangkan para pengasong, khususnya di Jakarta dan Bandung. Bila poster bergambar Presiden atau Wapres diedarkan pengasong, adalah hal yang jamak, namun ini poster seorang menteri. Seperti penulis lihat di lapangan, untuk level menteri baru poster Prabowo yang dijajakan.
Seperti saat RDP (rapat dengar pendapat) pertama kali selaku Menhan, karakter asli Prabowo mulai terlihat. Kita melihat debat sengit antara Prabowo dengan Effedi Simbolon (Fraksi PDIP), soal transparansi anggaran. Dan Prabowo secara tegas menyatakan: “saya tidak mau ditekan.”
Ikhtiar Prabowo menuju kekuasaan berikutnya tampaknya semakin lempang. Itu sudah dimulai sejak hari-hari pertama menjadi Menhan, ketika Prabowo menggunakan mobil pribadinya sebagai kendaraan dinas. Ini adalah gaya khas Prabowo sejak aktif di pasukan dulu, yakni kecenderungan berperilaku sebagai filantropis. Berbeda dengan pejabat pada umumnya, yang menjadi pejabat untuk menggapai kesejahteraan, sementara Prabowo memang sudah sejahtera sejak masa kanak-kanak.
Mungkinkah Prabowo sedang bermetamorfosis dari seorang politisi menjadi negarawan, sebagaimana pernah ditunjukkan ayahnya (Sumitro Djojohadikusumo, Pak Cum) dan kakeknya (RM Margono Djojohadikusumo) di masa lalu. Salah satunya sudah ditunjukkan Prabowo secara gamblang, ketika dia tidak mau ditekan anggota DPR RI, dan dia juga tidak mau ambil gaji selaku Menhan.
Merapat ke Prabowo
Mungkin sebagian dari kita masih ingat, pada pertengahan tahun 2018, ketika tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar memberikan penghargaan kepada sejumlah pembela HAM, seperti Cak Munir, Romo Mangun, Gunawan Wiradi, Mulyana W Kusumah, dan seterusnya. Kontan saja penghargaan ini menjadi kontroversial, di tengah isu niat Muhaimin (saat itu) yang sangat berambisi menjadi cawapres.
Hadangan terhadap Prabowo seolah tiada habisnya. Apa yang dilakukan PKB tersebut mirip kejadian tahun 2009, ketika sejumlah CSO (civil society organization) tiba-tiba saja menyelenggarakan “Wiji Thukul Awards” di Taman Ismail Marzuki (Jakarta). Penghargaan seperti itu biasanya rutin dilakukan setiap tahun seperti Yap Thiam Hien Awards, namun Wiji Thukul Awards hanya ada di tahun 2009 itu. Benar, niatnya memang sudah terbaca, sebagai cara untuk citra Prabowo, yang pada tahun itu tengah maju sebagai cawapres (berpasangan dengan Megawati).
Namun kini situasi telah berubah. Seperti disebut sekilas di atas, pada Pilpres 2024 nanti Prabowo akan maju lagi sebagai Capres, berpasangan dengan Puan Maharani. Publik paham sudah, betapa pragmatisnya Megawati. Prabowo, tokoh yang sejak lima tahun terakhir seolah dimusuhinya habis-habis, bila perlu dengan mengerahkan segenap pendukungnya (influencer), kini dijadikan sandaran anaknya untuk meraih kekuasaan.
Politik adalah seni, bagaimana menggerakkan sesuatu yang mustahil menjadi mungkin. Dalam interaksi sosial memang ada kiat yang mengatakan, kalau kita ingin terlihat kuat dan menjadi terkenal, kita harus berani melawan orang kuat dan terkenal, meskipun perlawanan itu sekadar basa-basi. Seperti pada pada saat Prabowo hadir pada sidang di Komisi I,
para anggota Komisi seperti Effendi Simbolon atau Adian Napitupulu, seolah melakukan serangan terhadap Prabowo, namun itu hanya sekadar cara untuk mengerek namanya. Singkatnya, mereka ingin terkenal dengan cara “melawan” Prabowo.
Model serangan tipu-tipu seperti itu juga pernah dilakukan Andi Arief (fungsionaris Partai Demokrat), saat Andi Arief menyebut Prabowo sebagai “Jenderal Kardus”. Prabowo tetap tenang saat menghadapi serangan itu, yang kebetulan pelakunya adalah salah seorang korban penculikkan Tim Mawar Kopassus. Bagi Prabowo, sekeras apa pun statemen Andi Arief (AA), sama sekali tidak bermakna. Sebagai politisi, AA bukanlah lawan setara bagi Prabowo.
Ujaran AA tidak berdampak signifikan pada figur Prabowo. Kharisma Prabowo tidak berkurang sejengkal pun di mata pendukungnya. Argumentasi ini berdasarkan kenyataan, posisi AA yang ambigu terhadap Prabowo. Sebagai salah seorang mantan korban penculikan, AA tidak pernah mempermasalahkan Prabowo. Artinya, dalam kasus ini posisi tawar AA demikian lemahnya.
Musim semi politik bagi Prabowo telah tiba. Manusia memang tempatnya lupa. Kini sudah mulai muncul antrean panjang dari para relawan, yang ingin “sowan” Prabowo. Segala manuver dilakukan, termasuk pura-pura menyerang Prabowo di media sosial, yang ujung-ujungnya ingin dipanggil Prabowo, seolah Prabowo sudah pasti menang dalam Pilpres 2024.
Terlalu banyak king maker
Sejarah seperti berulang. Bila di masa Orde Baru kita sulit meramalkan kapan kekuasaan Soeharto akan berakhir. Hari ini kita terantuk pada pertanyaan yang sama: kapan figur-figur super senior seperti Luhut Panjaitan, Hendro Priyono (HP), Megawati, dan seterusnya, akan surut dari panggung kekuasaan. Bila tidak segera pamit, kita akan melihat fenomena unik politik Indonesia mutakhir, yakni melawan semangat zaman, yang sejatinya memberi ruang bagi generasi milenial.
Salah satu beban terberat rezim Jokowi adalah terlalu banyak king maker, seolah kekuasaan Jokowi selaku presiden tidak bulat. Itu sebabnya, Jokowi mencari penyeimbang, dengan memasukkan Prabowo ke lingkaran
terdalam Istana, agar “king maker” seperti Luhut, Megawati, atau HP tidak seleluasa dulu lagi.
Saya sendiri juga heran dengan kekuasaan Luhut yang demikian besar, seakan dia seorang “presiden bayangan”. Kalau Luhut memang ingin berkuasa terus, mengapa pula tidak jadi presiden sekalian saja, jadi tidak perlu menumpang pada kendaraan politik orang lain, dalam hal ini Jokowi. Pada titik ini, kehadiran Prabowo menjadi penting, setidaknya untuk mengurangi peran king maker terdahulu.
Kini kita sudah mulai melihat hasilnya (dengan masuknya Prabowo), ketika peran HP secara perlahan mulai berkurang. HP memang layak menepi, karena partai yang dipimpin anaknya (Diaz), yakni PKPI, hasilnya benar-benar drop dalam pemilu tahun lalu. Itu semacam konfirmasi, bahwa HP sebagai figur publik ternyata tidak memiliki basis massa yang meyakinkan.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.