''Kita Kalah dalam Perjuangan Jurnalisme Berbasis Fakta''
21 Juni 2022"Jika Anda tidak memiliki fakta, Anda tidak memiliki kebenaran; jika Anda tidak memiliki kebenaran, Anda tidak memiliki kepercayaan," kata peraih Nobel Perdamaian 2021, jurnalis perempuan Filipina Maria Ressa pada hari Senin (20/06), saat menyampaikan pidato utama di DW Global Media Forum di Bonn, Jerman.
Pakar media dari seluruh dunia ambil bagian dalam acara dua hari tersebut untuk membahas masa depan jurnalisme di masa perang, krisis, dan bencana.
Selama pidatonya, Ressa menunjukkan bagaimana teknologi besar berkontribusi pada masalah berita palsu dan disinformasi, serta mencatat bahwa kebohongan yang dipenuhi dengan amarah dan kebencian menyebar lebih cepat daripada fakta.
"Jangan menjadi organisasi berita yang tunduk pada pengawasan kapitalisme pecundang. Kita harus menggunakan teknologi untuk mengendalikan nasib kita sendiri," dia menggarisbawahi, dan menambahkan: "Jika Anda tidak memiliki supremasi hukum di dunia maya, Anda tidak akan memiliki supremasi hukum di dunia nyata."
"Jika Anda tidak memiliki integritas fakta, bagaimana Anda bisa memiliki integritas pemilu?" dia bertanya, seraya menekankan bagaimana situasi tersebut mengancam demokrasi.
Jurnalis terkenal itu menyerukan undang-undang untuk mengatur perusahaan teknologi, meningkatkan dukungan keuangan untuk media, dan mendesak pemerintah demokratis untuk mengalokasikan lebih dari 0,3% dari bantuan pembangunan luar negeri untuk mempromosikan jurnalisme.
Ancaman terhadap kebebasan berbicara dan media
Pernyataan Ressa muncul di saat jurnalis dan aktivis hak asasi manusia di Filipina semakin mengkhawatirkan perkembangan di negara itu, di mana Ferdinand Marcos Jr., putra mantan diktator Filipina, akan dilantik menjadi presiden pada 30 Juni mendatang setelah memenangkan pemilu belum lama ini.
Sementara pendamping Marcos Jr, Sara Duterte, putri Presiden Rodrigo Duterte, sudah terlebih dahulu dilantik sebagai Wakil Presiden Filipina pada hari Minggu (19/06). Keduanya sejauh ini gagal untuk mengakui kekejaman terhadap hak asasi manusia yang terjadi di bawah kepemimpinan ayah mereka.
Para kritikus mengatakan baik keluarga Marcos maupun Duterte unggul dalam mengeksploitasi dan memanipulasi media sosial untuk menciptakan ekosistem informasi alternatif dengan jangkauan luas.
Rappler, organisasi berita yang didirikan oleh Ressa pada 2012, telah berada di garis depan melawan berita palsu dan disinformasi di Filipina, serta mengumpulkan sumber daya di antara berbagai peran, termasuk reporter, pengacara, dan aktivis untuk memeriksa fakta dan mengungkap disinformasi.
Situs tersebut telah muncul sebagai platform utama untuk memerangi informasi yang salah dan mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia, terutama selama enam tahun terakhir pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, termasuk yang berkaitan dengan perang mematikan terhadap narkotika.
Wartawan Rappler melaporkan ekses kampanye anti-narkoba, yang menyebabkan ribuan tersangka dengan pengaruh kecil ditembak mati oleh polisi atau warga. Pembunuhan terkait kasus narkoba tersebut saat ini sedang diselidiki oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) sebagai kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selain Rappler, Ressa juga ikut mendirikan Real Facebook Oversight Board, sekelompok pakar global yang bertujuan meminta pertanggungjawaban Facebook, sebuah gerakan yang tidak terkait dengan dewan pengawas raksasa media sosial itu sendiri.
"Kami kalah perang secara global"
Di GMF, Ressa mengatakan Facebook "mengganti jurnalis dengan influencer" dan media sosial itu menghentikan demokrasi di sejumlah negara, dan juga menyerukan peraturan pemerintah yang lebih ketat.
Berbicara kepada DW, Ressa mengatakan: "Algoritma media sosial, yang sekarang merupakan platform distribusi terbesar untuk berita secara global, benar-benar memisahkan kami, membuat kami terpolarisasi dan meradikalisasi kami."
"Konsekuensinya adalah bahwa Anda mendapatkan berita yang manipulatif secara emosional dan pemikiran yang lambat, sementara jurnalisme yang berbasis fakta, penalaran berbasis bukti, menjadi semakin lemah, dan juga memungkinkan munculnya demokrasi tidak liberal di seluruh dunia."
Dia juga menekankan bahwa "kita kalah dalam perang secara global" dalam perjuangan untuk jurnalisme berbasis fakta. Dengan mengandalkan media sosial untuk distribusi konten, kata Ressa, organisasi berita "berjalan ke model pengawasan kapitalisme yang pada dasarnya memanipulasi pengguna online untuk mendapatkan keuntungan."
Itu sebabnya, "Saya pikir mereka harus terpisah," katanya.
"Masalah terbesar kami saat ini adalah bagaimana kami mendapatkan kembali komunitas kami. Bagaimana kami membangun teknologi yang lebih baik sehingga distribusi (berita) kembali kepada kami dan semua itu dimulai dengan meminta pertanggungjawaban teknologi atas kerugian yang ditimbulkannya," tambahnya.
Upaya untuk mematikan Rappler
Pada Oktober 2021, Ressa bersama jurnalis Rusia Dmitry Muratov, menerima Hadiah Nobel Perdamaian atas upaya mereka melindungi kebebasan berekspresi.
Namun, menanggapi laporan kritis Rappler, pemerintah Filipina telah mengambil beberapa langkah untuk menutup situs tersebut dengan menuduh Ressa dan publikasi itu dengan berbagai tuduhan penggelapan pajak serta kejahatan dunia maya.
Wartawan Rappler dan Ressa, khususnya, menjadi sasaran kampanye kebencian dan menghadapi banjir penghinaan dan ancaman online. Pada tahun 2020, dia dihukum karena pencemaran nama baik yang dilakukan secara online di bawah undang-undang anti-kejahatan siber Filipina, yang menurut para kritikus digunakan sebagai sarana untuk meredam perbedaan pendapat.
Berbicara pada hari Senin (20/06) tentang serangan dan penganiayaan yang dideritanya, Ressa mengatakan bahwa dia tidak akan menyerah dan akan terus berjuang untuk keyakinannya. "Saya akan berjuang karena saya harus percaya pada aturan hukum," katanya.
(ha/pkp)