1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mahalnya Rasa Nasionalisme Turki

22 September 2006

Penulis Orhan Pamuk sudah pernah menjalaninya, jurnalis Hrant Dink dan puluhan kaum intelektual Turki juga sudah: mereka harus berada di depan pengadilan karena dituduh melukai rasa nasionalisme Turki.

https://p.dw.com/p/CPBu
Bendera Turki dan Patung Kemal Atatturk
Bendera Turki dan Patung Kemal AtatturkFoto: AP

Kini giliran penulis Elif Safak. Dan kali ini kasusnya sedikit berbeda. Safak tidak dituntut karena pernyataannya, melainkan karena tokoh asal Armenia di novel barunya dan karangannya mengenai pembantaian bangsa Armenia.

Perempuan berusia 35 tahun ini terancam 3 tahun penjara berdasarkan pasal 301 undang-undang hukum pidana yang mengatur tentang penghinaan terhadap nasionalisme Turki. Tahun lalu, artikel yang diperdebatkan telah terbukti sebagai pembuka jalan lawan reformasi demokratisasi di Turki. Pengikut arah reformasi dengan orientasi Eropa sangat terkejut. Termasuk Bahadir Kaleagasi dari perhimpunan industri Tüsiad.

"Kita tidak usah berpura-pura. Dengan pasal 301, Turki mundur ke pola pikir seorang diktator, yang takut akan pendapat orang lain. Turki menampilkan diri sebagai negara yang takut akan pendapat orang lain, yang takut akan warga mereka sendiri.“

Tidak semua warga Turki menganggap pasal tersebut sebagai hal yang tidak adil. Dengan menuntut diadakannya proses hukum terhadap Elif Safak, nasionalis kanan ingin menghambat proses masuknya Turki sebagai anggota Uni Eropa dengan segala cara. Namun tanpa memiliki dukungan di pengadilan, dengan pasal 301 pun mereka tidak memiliki kekuatan, demikian pernyataan Can Baydarol dari yayasan Turki Eropa.

"Pada pasal 301 ini tergantung cara pengadilan menafsirkannya. Dan sayangnya, penafsiran selama ini sangat buruk. Jika kemudian penulis Elif Safak harus diadili karena pernyataan tokoh fiktif di novelnya, maka ini sudah keterlaluan. Kasus ini menunjukkan bahwa jiwa reformasi perubahan hukum masih belum menghasilkan reformasi berpikir dalam penafsiran hukum.“

Apakah ada pernyataan pendapat tertentu yang menunjukkan penghinaan terhadap nasionalisme atau tidak, bukanlah hal yang penting lagi. Selalu saja ada pihak kejaksaan yang menafsirkan pasal 301 sedemikian rupa sehingga cukup untuk mengajukan tuntutan.

Juga pada kasus Elif Safak, dimana suatu kejaksaan Istanbul tidak meneruskan tuduhan terhadap penulis itu. Kemudian kelompok nasionalis meneruskan tuntutan mereka ke instansi berikutnya. Pengadilan bahkan menolak penundaan proses, walau pun Safak pada saat itu tengah hamil tua dan Sabtu (16/09) lalu baru saja melahirkan seorang bayi perempuan.

Uni Eropa menuntut Ankara untuk menghapus pasal 301. Namun kelompok Nasionalis tengah naik pamor di Turki, dan pemerintahan tidak ingin mengambil tindakan apa pun setahun menjelang pemilihan parlemen, karena takut akan kehilangan suara. Namun menurut Burhan Kuzu, ketua komisi konstitusi parlemen, masalah perbaikan juga tengah dipikirkan. Ia merujuk kepada paragraf penghasutan rakyat di Jerman.

"Ada pasal yang sangat mirip di undang-undang hukum pidana Jerman. Setidaknya maksudnya mirip. Disana dikatakan, pendapat tertentu baru dapat dihukum jika menganggu kedamaian di masyarakat. Mungkin kita juga bisa menambahkan kalimat semacam itu pada pasal 301, untuk membatasi pendapat yang bisa dihukum.“

Namun pemerintah Turki tidak tertarik untuk melakukannya. Minggu ini mereka menyatakan kepada kalangan pers Turki, pasal 301 saat ini tidak perlu diperdebatkan. Ini berarti hilang sudah harapan terakhir Elif Safak agar prosesnya dihentikan.

Lima hari sesudah menjalani operasi Cesar ia harus berada di ruang pengadilan. Walau pun demikian, vonis hukuman terhadap ibu muda ini sepertinya tidak akan terjadi. Dari 80 terdakwa, hanya satu orang yang terkena vonis. Jurnalis keturunan Armenia-Turki, Hrant Dink.

Namun, tuntutan saja sudah cukup untuk menakuti mereka yang tertuduh dan membuat mereka bungkam. Elif Safak juga melihatnya seperti itu. Jika pasal 301 ditafsirkan sedemikian rupa seperti yang dituntut kejaksaan pada kasusnya, tidak ada lagi orang di Turki yang akan menulis buku tanpa takut masuk penjara.