Limbah Elektronik, Berkah Sekaligus Bencana bagi Buruh Anak
11 Februari 2023Seelampur di pinggiran New Delhi adalah pusat penampungan limbah elektronik terbesar di India, di mana hampir 50.000 orang mencari nafkah dengan mengekstraksi logam-logam berharga dari laptop dan ponsel tua dan barang-barang elektronik lain yang dibuang. Banyak dari mereka adalah anak-anak yang mencari nafkah untuk diri sendiri atau keluarga.
Arbaz Ahmad, 13 tahun, dan temannya, Salman, menyisir hamparan limbah elektronik dengan membawa kantong plastik besar dan membongkar papan sirkuit serta bagian perangkat lainnya dengan tangan telanjang. Mereka membakar material itu di pinggir jalan untuk dapat mengekstraksi logamnya. Anak-anak ini bekerja tanpa alat pelindung apapun. Logam yang berhasil mereka ekstrasi hari itu kemudian dijual dengan harga sekitar 80 ribu rupiah.
"Ada hari-hari kami kerja lebih dari 10 jam, dan dapat lebih banyak uang. Semuanya tergantung dari seberapa cepat saya bisa sampai di tempat pembuangan, dan apa yang ada di sana. Ada hari-hari saya menemukan banyak logam berharga,” kata Ahmad.
Lima tahun lalu, dia dan keluarganya pindah ke New Delhi dari negara bagian Uttar Pradesh untuk mencari nafkah. Untuk menghidupi dan memberi makan keluarga dengan empat anak itu, ayahnya bekerja sebagai buruh kasar di pasar limbah elektronik. Ayahnya yang kemudian mengajak Ahmad bekerja di sini.
Dia termasuk di antara ribuan anak-anak yang punya pekerjaan serupa, membakar bahan-bahan yang bercampur racun untuk mendapatkan logam berharganya. Zat-zat beracun itu itu antara lain merkuri, timah, dan arsen. Selampur adalah sebuah pasar informal yang sudah menjadi industri. Semua di sini berjalan tanpa aturan seperti di industri-industri formal.
Masalah limbah elektronik di India
Menurut Global E-waste Monitor, pada tahun 2019 dunia membuang 53,6 juta metrik ton limbah elektronik. India menghasilkan 3,2 juta metrik ton limbah elektronik, sebagian besar didaur ulang di Seelampur.
Setiap hari, truk yang sarat dengan komputer bekas, monitor, ponsel, dan AC membawa muatannya ke sini di pagi hari. Lalu para pekerja mulai menyortir papan sirkuit, baterai, dan semua yang masih bisa dijual. Beberapa bagian bisa direndam dalam larutan kimia atau dibakar untuk menghasilkan sejumlah kecil emas, tembaga, dan logam berharga lainnya.
Pemerintah India telah mencoba mengatur industri informal ini dengan serangkaian undang-undang pada tahun 2011 dan 2016, yang menuntut pendaftaran semua fasilitas daur ulang limbah elektronik dan berbagai arahan bagi pekerja untuk menggunakan pelindung saat membongkar limbah elektronik.
Tapi para aktivis mengatakan, undang-undang itu tidak diterapkan dan ditegakkan dengan kuat, sehingga situasi di pasar limbah elektronik masih seperti dulu. LSM lingkungan Toxics Link telah menghabiskan waktu bertahun-tahun mencoba menekan pemerintah untuk mengambil tindakan lebih tegas dan memperkenalkan penegakan hukum yang lebih efektif. Mereka prihatin dengan kondisi anak-anak yang bekerja dalam lingkungan berbahaya ini.
Satish Sinha, direktur Toxics Link, secara rutin mengunjungi Seelampur. LSM ini terutama mengamati bagaimana kemiskinan telah mendorong keluarga mengirim anaknya untuk mengekstraksi limbah elektronik agar bisa bertahan hidup.
"Untuk menghentikan pekerja anak dan mencegah anak-anak dari paparan bahan kimia limbah elektronik yang berbahaya, pemerintah harus memastikan implementasi yang efektif dari undang-undang yang ada... Tapi hal ini dapat dicapai jika ada lembaga-lembaga dan departemen lain yang mau terlibat dan bekerja sama, sampai misalnya di tingkat distrik,” kata Sinha kepada DW.
Risiko kesehatan apa yang dihadapi anak-anak?
Parvez Mian, seorang dokter yang merawat pasien dari daerah Seelampur, prihatin dengan risiko kesehatan bagi anak-anak pemulung sampah elektronik.
Kliniknya terletak di sebuah gang padat di Seelampur. Setiap hari dia dan stafnya menerima dan merawat banyak anak yang menderita penyakit kulit serius dan infeksi paru-paru kronis karena paparan terus menerus terhadap bahan kimia beracun.
"Setiap tahun situasi kesehatan semakin memburuk karena jumlah pasien meningkat. Jelas kurangnya kesadaran di antara orang-orang yang bekerja dengan bahan kimia berbahaya, yang menjadi alasan meningkatnya jumlah anak yang sakit kronis,” kata Parvez Mian kepada DW.
(hp/as)