Libanon Dalam Deraan Perang Suriah
3 Januari 2014Libanon tidak pernah benar-benar mengecap damai. Terutama sejak perang saudara merobek Suriah, negara kecil di tepi laut Tengah itu makin terkoyak antara dua fraksi yang paling getol berseteru di jazirah Arab, kaum Syiah yang diwakili Iran dan kaum Sunni sokongan Arab Saudi.
Usai pergantian tahun, Libanon mengumumkan berhasil menangkap Majid bin Muhammad al-Majid, gembong teroris yang mengebom kedutaan besar Iran di Beirut. Penangkapan tersebut segera disambut reaksi Teheran. Perwira Dewan Keamanan Nasional, Aleddin Boroujerdi mendesak agar Beirut ikut mempertimbangkan fakta bahwa, "elemen utama operasi teror di Libanon berasal dari Arab Saudi," katanya kepada kantor berita Fars.
Tidak lama setelah pengumuman, sebuah bom meledak di kawasan yang dikuasai Hizbullah di Beirut dan menewaskan enam orang dan melukai 66 penduduk. Ini adalah rangkaian serangan bom kesekian kalinya mulai penghujung tahun hingga awal tahun baru. Serangan bom di pusat kota Beirut 27 Desember 2013, menewaskan mantan menteri keuangan Mohammed Shattah.
Sumbangan dari Teluk
Al-Majid adalah pemimpin Brigade Abdullah Azzam yang berkiblat kepada Al-Qaida. Menurut informasi Amerika Serikat dan Uni Eropa, kelompok tersebut aktif mencari sumbangan dana di kawasan Teluk. Arab Saudi adalah negara yang disebut paling sering membiayai operasi Brigade pimpinan Al-Majid.
"Di bawah kepimpinan Majid, kelompok ini mengekspor perang sektarian ke Suriah dan Libanon dengan membidik kepentingan Iran dan Hizbullah," kata seorang perwira AS yang menolak disebut namanya. "Penangkapannya adalah sebuah pukulan telak, tapi tidak mematikan," katanya seperti dikutip kantor berita Reuters.
Sejak lama Washington mencurigai campur tangan keluarga kaya Arab Saudi di dalam perang Suriah. Riad diyakini berusaha mengintervensi konflik di Suriah melalui tetangganya Libanon.
Serupa dengan kelompok pemberontak penentang Bashar al Assad, Arab Saudi juga berkepentingan agar kekuasaan Assad berakhir. Baru-baru ini, negara kaya minyak itu menghibahkan dana tiga miliar US Dollar kepada Libanon, agar bisa membeli persenjataan baru dari Perancis buat menghadapi ancaman dari timur.
Hizbullah Terkepung
Presiden Surah Bashar Assad sendiri bermazhab Syiah Alawiyah, sebuah sekte yang bermarkas di Iran dan menyimpang dari ajaran Syiah pada umumnya. Sementara kelompok pemberontak mewakili mayoritas penduduk Suriah yang bermazhab Sunni, didompleng oleh beberapa kelompok teroris yang merajalela di utara.
Kucuran dana tersebut juga berarti Beirut terdesak untuk mempreteli Hizbullah yang merupakan salah satu kekuatan politik terbesar di Beirut. Libanon diharapkan menghentikan aliran penyeludupan senjata dari Iran yang ditujukan bagi Hizbullah dan militer Suriah.
Melihat gelagat yang tidak baik itu, Hizbullah Rabu (1/1) dikabarkan menarik pulang sejumlah persenjataan berat yang mereka tempatkan di Suriah ke Libanon. "Termasuk diantaranya adalah rudal jarak pendek tipe Scud B dan C, rudal Fath dan Fajar buatan Iran", tutur analis keamanan Israel Ronen Bergman.
"Libanon berada dalam jalur kehancuran. Kita tidak akan selamat tanpa kesatuan nasional," kata salah seorang punggawa Hizbullah, Syeikh Naim Qassim. Sejak pertengahan tahun lalu Hizbullah dengan bantuan Iran mengirimkan milisinya untuk bertempur bersama serdadu Suriah melawan tentara pemberontak. Teheran bahkan tidak menutupi dukungannya terhadap rejim Assad. Negara itu sering dilaporkan mengirimkan senjata.
Suriah dan Libanon dalam Tautan Sejarah
Bahwa dua negara bertetangga itu sering terlibat friksi adalah fakta sejarah. Tahun 2005 silam misalnya, sebuah bom membunuh Perdana Menteri Libanon kala itu, Rafik Hariri. Damaskus dicurigai berada di balik pembunuhan terhadap politisi yang mengimpikan penarikan mundur militer Suriah dari negaranya.
Sebagian mengira, peristiwa tersebut akan menandai berakhirnya 16 tahun pendudukan Suriah terhadap Libanon. Tapi kenyataan berbicara lain. Negeri jiran memang lantas menarik mundur pasukannya, tapi tetap aktif membayangi perkembangan politik di Beirut melalui kepanjangan tangannya, kelompok Hizbullah dan sejumlah partai lain yang berafiliasi dengan Damaskus.
Hubungan unik ini terbukti fatal ketika konflik Suriah berkecamuk. Libanon yang terhimpit tiga kekuatan besar di kawasan, perlahan terseret dalam arus kekerasan bersenjata di Suriah yang tidak diketahui kapan akan berakhir.
rzn/as (afp,rtr,dpa,aljazeera, nytimes,haaretz)