Lampedusa Kewalahan Hadapi Pengungsi Afrika
31 Maret 2011Lampedusa lebih dekat ke pantai Tunisia daripada ke Italia. Pulau seluas 20 km persegi ini menjadi gerbang masuk bagi imigran ilegal ke Eropa. Tambahan pengungsi baru hanya menambah beban yang telah dialami pengungsi, relawan, dan pemerintah Italia. Banyak relawan yang harus bekerja tanpa berhenti selama 24 jam karena kurang adanya personal.
Menurut perkiraan komisi urusan pengungsi PBB UNHCR, sebelum kedatangan pengungsi dari Libya, ada sekitar 5000 migran ilegal yang berada di Lampedusa. Situasinya mengkhawatirkan. Juru bicara UNHCR Laura Boldrini, yang biasa berusaha bersikap tenang tampak terkejut, "Mereka menggunakan kardus sebagai selimut, tidur di bawah truk atau di dalam kapal tua. Di bukit di atas pelabuhan mereka menyalakan api untuk menghangatkan tubuh. Ini tidak bisa terjadi. Harus dicari jalan keluarnya. Jika tidak dilakukan sesuatu, suasananya akan meledak."
Pemerintah Silvio Berlusconi telah menuntut bantuan dari negara-negara anggota Uni Eropa lainnya dan mengajukan permohonan bantuan dana 200 juta Euro. Namun, kurang adanya aksi nyata membuat pihak berwenang di Lampedusa bertanya-tanya kapan pemerintah pusat akan melakukan langkah yang kongkret.
Salvatore Martello, mantan walikota Lampedusa, mengatakan, situasinya sangat dramatis karena tidak ada informasi yang jelas dari pemerintah pusat. Menurut Martello, pemerintah di Roma telah mengabaikan Lampedusa yang populasin aslinya kini telah dilebihi oleh para migran.
Walikota Lampedusa Bernardino de Rubeis berusaha menggambarkan situasi di pulaunya, "Kami memiliki penjara di bawah langit bebas. Seperti Guantanamo. Akhirnya datang kapal militer San Marco. Saya tiga kali berbicara dengan Presiden Napolitano dan ia menjamin bahwa kapal tersebut akan benar-benar berangkat. Kapal ini bisa mengangkut 650 orang ke Sisilia atau Apulia. Menurut menteri pertahanan kami, di sana akan didirikan tenda-tenda di lapangan militer."
Sekitar 1000 orang direncanakan dipindahkan per harinya dari Lampedusa. Namun, beban ini masih diemban oleh Italia. Langkah berikutnya adalah menghubungi langsung negara yang bersangkutan, yakni Tunisia.
Menteri Dalam Negeri Italia Roberto Maroni mengusulkan, "Saya ingin meminta ijin menteri luar negeri Tunisia agar boleh mengirimkan kesatuan polisi Italia ke Tunisia. Ini satu-satunya cara untuk menghentikan transport pengungsi. Saat ini tidak ada pengawasan dalam bentuk apa pun. Semua runtuh sehingga pelarian massal dimungkinkan."
Juru bicara pemerintah di Tunis segera menampik usul itu sambil menuding Maroni rasis eksrim kanan. Pekan lalu menurut laporan kantor berita, pada akhirnya kesepakatan yang dicapai dengan Tunisia adalah bantuan dana dari Italia untuk negara itu. Italia akan memberikan kredit sebesar 150 juta Euro untuk memulihkan kembali perekonomian Tunisia. Selain itu, Italia juga akan memberikan peralatan dan materi bagi angkatan laut dan penjaga perbatasan garis pantai Tunisia untuk membantu mereka berpatroli di pesisir.
Namun, Menteri Dalam Negeri Maroni juga mengumumkan akan melakukan pemulangan paksa terhadap pengungsi dari Tunisia jika pemerintah negara itu tetap tidak terlibat dalam pencegahan arus pengungsi. Tetapi setidaknya langkah bantuan ini mungkin kebangkitan kesadaran Italia dan Eropa, bahwa perkembangan ekonomi dan stabilitas politik di kawasan selatan Laut Tengah juga menjadi kepentingan Eropa sendiri. Sebab, revolusi di kawasan Maghribi kini juga berdampak langsung terhadap Eropa. Buktinya, adalah gelombang para pengungsi dengan perahu yang penuh sesak di kawasan Laut Tengah.
Ini pun diyakini oleh Christopher Hein dari Dewan Pengungsi Italia, "Dalam 20 tahun terakhir, Uni Eropa berusaha membangun tembok di sekeliling Eropa. Sekarang ada lubang di tembok tersebut dan tentu saja orang akan berusaha masuk ke Eropa melalui lubang tersebut. Dan ini tidak hanya menyangkut Tunisia, tetapi juga pengungsi dan imigran dari subsahara Afrika, yang di negara-negara Afrika Utara tidak memiliki perlindungan hukum dan kemungkinan untuk bertahan hidup."
Vidi Athena Legowo
Editor: Yuniman Farid